Peningkatan Kapasitas / Workshop

Published: 14/06/2006

Executive Summary

Anggaran berkeadilan gender selalu mulai dengan mengajukan pertanyaan yang sederhana: Apakah kebutuhan dan kepentingan perempuan sudah dimasukkan dalam proses penganggaran? Women Research Institute (WRI) menggunakan istilah Anggaran Berkeadilan Gender karena beberapa pertimbangan. Salah satu alasannya adalah untuk selalu mengingatkan kita semua, termasuk para perencana dan pembuat anggaran agar selalu mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan berdasarkan pola hubungan yang tidak diskriminatif, baik menurut kelas sosial, agama, kelompok budaya, suku bangsa dan jenis kelamin.

Kurang lebih lima tahun belakangan ini, analisa anggaran dengan menggunakan perspektif gender, yang merupakan dasar kerja anggaran berkeadilan gender, telah menarik perhatian banyak pihak. Berbagai upaya telah dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia, dalam rangka meningkatkan peranan pemerintah daerah (inclusive local governance) serta keterlibatan warga (citizen engagement), untuk mendorong peningkatan kesejahteraan kalangan marjinal, terutama perempuan. Dengan tujuan mengurangi dan menyelesaikan berbagai masalah ketidakadilan sosial di Indonesia. Salah satu upaya yang dipandang strategis adalah pilihan untuk melakukan advokasi anggaran berkeadilan gender guna mendorong penerapan anggaran berkeadilan gender baik di tingkat nasional maupun lokal.

WRI dengan dukungan dana dari European Union (EU) melalui The Partnership for Governance Reform in Indonesia (Partnership) telah melakukan kegiatan penelitian dan focus group discussion mengenai “Penilaian Dampak dan Kapasitas Program Advokasi Gender” sepanjang bulan Februari hingga Mei 2006. Kegiatan tersebut telah diselenggarakan pada enam wilayah penelitian, yaitu Surakarta (Jawa Tengah), Yogyakarta termasuk Gunung Kidul (Daerah Istimewa Yogyakarta), Jawa Timur (Surabaya dan Lamongan), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Makassar (Sulawesi Selatan) dan Kupang (Nusa Tenggara Timur). Tentu saja, informasi yang dipaparkan sangat berkait dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada wilayah penelitian tersebut. Sehingga, data dan informasi yang diperoleh menggambarkan pada seputar kagiatan atau peristiwa yang terjadi pada enam wilayah penelitian WRI saja. Sekalipun, advokasi Anggaran Berkeadilan Gender juga dilaksanakan pada wilayah-wilayah lain di Indonesia. Dan, mungkin saja akan memberikan gambaran yang berbeda dengan gambaran yang diperoleh WRI. Data dan informasi yang dipaparkan dalam pelaporan WRI, hanya dapat mewakili situasi ke enam wilayah penelitian tersebut.

Lokakarya Nasional ini diselenggarakan di Sanur-Bali, tanggal 5 sampai 8 Juni 2006, dengan harapan dapat menjadi wadah pertemuan pihak eksekutif dan legislatif serta LSM dari 6 wilayah. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi ajang berbagi pengalaman dan mendatangkan proses pembelajaran antar daerah dalam menerapkan anggaran berkeadilan gender. Lokakarya ini juga diharapkan akan menghasilkan komitmen dari berbagai pihak yang telibat. WRI berharap paparan hasil studi WRI dapat memberikan kontribusi serta menggulirkan diskusi bagi para pihak yang giat melakukan advokasi Anggaran Berkeadilan Gender, bukan saja pada tataran substansial, namun juga pada tataran kelembagaan dan kebijakan. Sehingga, kesejahteraan bagi kalangan marjinal, terutama perempuan dapat terwujud.

Wilayah penyelenggaraan lokakarya pada awalnya direncanakan di Yogyakarta. Namun, dengan adanya bencana alam (gempa) di Yogyakarta, WRI memindahkan penyelenggaraan lokakarya nasional ini ke Bali, dengan alasan wilayah tersebut juga merupakan wilayah strategis untuk pertemuan para peserta yang tersebar di 6 wilayah. Adapun peserta yang hadir dalam lokakarya nasional adalah 38 orang, dengan komposisi 27 orang perempuan dan 11 orang laki-laki. Peserta merupakan perwakilan dari jajaran eksekutif, legislatif dan LSM pelaku advokasi anggaran berkeadilan gender di 6 wilayah penelitian WRI, ditambah peserta dari Bali yang merupakan tempat penyelenggaraan acara, meskipun Bali bukan merupakan wilayah penelitian dampak advokasi gender budget WRI. Pertimbangannya isu advokasi gender budget sangat penting untuk dapat dikembangkan di wilayah Bali. Lokakarya inipun dihadiri beberapa pengamat berasal dari Partnership dan LGSP (Local and Governance Support Program).

Selama empat hari penyelenggaraan Lokakarya Nasional, peserta berpartisipasi penuh dan banyak memberikan masukan dalam pelaksanaan kegiatan program, terutama substansi materi lokakarya nasional ini. Selain itu, Peserta juga membuat rencana tindak lanjut dari penyelenggaraan lokakarya nasional, sebagai kesepakatan bersama akan keberlanjutan dan jejaring antar wilayah dalam pelaksanaan advokasi anggaran berkeadilan gender. Proses yang digunakan untuk mencapai maksud, tujuan dan hasil dari lokakarya ini menggunakan beberapa metode yang dipilah dalam beberapa sesi per harinya.

Hari pertama terdiri dari 4 sesi, yang membahas Pengarusutamaan Gender dan Analisa Gender dalam Perencanaan, Identifikasi Persoalan Gender pada 6 wilayah, Perencanaan Program dan Kebijakan yang Responsif Gender pada 6 wilayah, dan Analisa Anggaran yang Berkeadilan Gender. Kegiatan di hari pertama menghasilkan beberapa kesepakatan berupa tindak lanjut untuk merumuskan Indikator Penilaian Stakeholder, yang salah satu variabelnya adalah penilaian ketimpangan gender, agar sensitivitas terhadap isu yang diangkat menjadi besar. Hal ini dilatarbelakangi bahwa isu diangkat LSM berdasarkan kenyataan di lapangan, belum tentu menjadi isu pemerintah. Alasan lainnya adalah spesifikasi masing-masing wilayah bisa jadi belum sama menjadi isu besar di daerah yang berbeda, dan menjadi sensitivitas yang tinggi di masing-masing wilayah. Untuk rencana tindak lanjut yang akan dibahas berikutnya dan menjadi kesepakatan bersama ke depan adalah identifikasi kebutuhan serta produk yang bekerja di masyarakat sebagai penyebab ketidakadilan gender.

Hari kedua meliputi 3 sesi, dengan dua sesi menghadirkan 6 (enam) narasumber dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Dalam Negeri, Ford Foundation, LGSP, Bappenas serta WRI sendiri. Seluruh narasumber berasal dari Jakarta dan merupakan para pengambil kebijakan serta para ahli yang berpengalaman, berkaitan dengan topik anggaran berkeadilan gender. Pada hari kedua ini, sesi pertama membahas (1) Dasar Hukum dan Mekanisme Pengarusutamaan Gender (KPP); (2) Mekanisme Daerah dalam Pembuatan RPJMD yang Responsif Gender (Depdagri). (3) Gender Budget melalui Realokasi Anggaran (Ford Foundation).

 

Dalam presentasi tersebut mengemuka usulan dari narasumber untuk melakukan pilot project di beberapa daerah saja. Usulan selanjutnya adalah bahwa analisa gender tidak hanya dilakukan untuk alokasi pengeluaran saja tetapi juga di alokasi pendapatannya.

Sementara, pada sesi kedua membahas (1) Experiences and Strategies in Citizen Participation (LGSP). Proses partisipasi warga sekarang harus memulai dengan paradigma baru. Civil Society sebagai konsep harus menjadi relasi dari pemerintah dalam proses anggaran dan berpartisipasi dalam proses, seperti musrenbang dan lain-lain. (2) Pengembangan Kompetensi dan Strategi Perencanaan dan Anggaran Berkeadilan Gender bagi LSM, Pemda dan DPRD (Women Research Institute). Sistem anggaran memang sudah banyak kemajuan, tetapi masih banyak juga persoalan yang muncul. Masih ada kesenjangan di seluruh sektor, seperti sektor ekonomi, sosial, dan politik; dan (3) Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (Bappenas). Pada sesi ketiga di hari yang sama, dilakukan diskusi kelompok dan pleno mengenai Model Pengembangan Strategi Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender. Pada sesi tersebut, peserta memberikan masukan atas mekanisme, strategi dan indikator advokasi anggaran berkeadilan gender, yang telah ditemukan di 6 wilayah penelitian.

 

Secara garis besar ada tiga poin yang perlu dijadikan sebagai rujukan pada pembahasan di sesi satu dan dua di hari ke dua, yaitu berupa input dari narasumber tentang PUG, dasar hukumnya, dan mekanisme yang kemudian diturunkan dalam mekanisme RPJMD tentang perencanaan program yang partisipatif. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan diskusi tentang strategi dan mekanisme. Salah satunya adalah adanya sharing pengalaman dari salah satu peserta tentang adanya musrenbang tandingan, karena musrenbang yang sebenarnya tidak berjalan secara efektif. Musrenbang tandingan ini selanjutnya diistilahkan sebagai sebuah counter dari sistem yang ada. Dan dari sisi keberhasilannya, musrenbang tandingan ini lebih berhasil dan efektif dibanding musrenbang formal dalam pelaksanaannya. Pada konteks perencanaan program, perencanaan yang partisipatif merupakan sebuah affirmatif action adanya 30% keterlibatan perempuan dalam perencanaan pembangunan. Tentang indikator yang dibahas pada hari pertama, ada beberapa pendapat yang muncul, termasuk adanya pra-kondisi (analisis data terpilah yang menunjukkan adanya kesenjangan, adanya prioritas program, menjawab kebutuhan). Dalam perencanaan program, dibutuhkan mekanisme dan kebijakan yang mendukung.

Hari ketiga merupakan Rencana Tindak Lanjut, yang membahas Rencana Tindak Lanjut dan Strategi Implementasi, serta Kesepakatan Advokasi Bersama. Beberapa langkah yang akan dibuat, berkaitan dengan rencana tindak lanjut adalah (1) mengundang beberapa teman (yang berada di Jakarta) untuk merumuskan beberapa konsep untuk dikirimkan kepada teman-teman (luar Jakarta); (2) mengundang beberapa pejabat terkait. Sementara rencana tindak lanjut masing-masing daerah adalah (1) Melaksanakan beberapa program dan mekanisme yang telah dibuat di atas secara langsung; dan (2) Perlu merumuskan konsep untuk dijadikan sebagai panduan.

 

Unduh:

Proses Lokakarya Nasional Anggaran Berkeadilan Gender – Bali, 2006