Current Project / Partisipasi Perempuan / Perempuan & Politik

Published: 07/06/2016

Women Research Institute (WRI) saat ini sedang menjalankan program pelatihan advokasi berbasis data untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam upaya mengatasi permasalahan konsesi hutan. Pelaksanaan program pelatihan ini didukung oleh Global Forest Watch yang berada di bawah World Resource Institute. Program pelatihan ini akan dilaksanakan di dua kabupaten di Provinsi Riau, yakni Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan sebagai tindak lanjut dari penelitian WRI sebelumnya mengenai Gender, Transparansi, dan Partisipasi dalam Perizinan Konsesi.

Melalui penelitian sebelumnya, WRI mendapatkan temuan bahwa perempuan banyak mengambil peran dalam pengelolaan lingkungan dan lahan namun seringkali tidak dilibatkan dalam pertemuan–pertemuan yang membahas mengenai pengambilan keputusan terkait pengelolaan lingkungan dan lahan. Warga masyarakat perempuan jarang memperoleh informasi langsung, padahal perempuan justru merasakan dampak langsung dari keputusan yang diambil.

Women Research Institute melihat pelibatan perempuan baik dalam proses pengambilan keputusan maupun advokasi pada upaya penyelesaian permasalahan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan dan lahan sebagai suatu peluang yang masih perlu ditingkatkan. Mengutip dari Etta F. E. (1999) dalam sebuah jurnal penelitian berjudul Women Participation in Environmental Protection and Management: Lessons from Plateau State, Nigeria yang menekankan bahwa perempuan dalam banyak lingkungan sosial berperan menjadi penanggung jawab utama dalam mengatur kebutuhan domestik dan rumah tangga. Oleh karena itu perempuan lebih banyak berinteraksi langsung dengan lingkungan dibandingkan dengan laki-laki. Akibatnya mereka lebih mungkin akan mengalami penderitaan yang disebabkan karena rusaknya kondisi rumah, lingkungan tempat tinggal, maupun kota yang rusak, dan akan memiliki beban lebih berat bila tinggal dan hidup di lingkungan yang miskin, tidak dilengkapi dengan sarana dan prasarana kesehatan memadai karena perempuan menghabiskan waktu lebih banyak di rumah dan lingkungan terdekatnya.

Ditambah dengan kondisi hutan saat ini di Indonesia yang sudah semakin mengkhawatirkan, diperlukan untuk dapat mendorong transparansi dan partisipasi yang lebih luas dalam upaya mengatasi permasalahan terkait konsesi hutan. Pada akhir Mei 2015 lalu kebijakan penghentian sementara (moratorium) izin konsesi di hutan dan lahan gambut telah berakhir. Namun, waktu moratorium lima tahun tersebut seolah dirasakan masih belum cukup untuk ‘membayar’ kerusakan-kerusakan hutan akibat sudah terlalu banyaknya izin konsesi yang diberikan di kawasan hutan yang sebenarnya tidak layak dikeluarkan izin di atasnya.

Berdasarkan data Global Forest Watch (GFW), total luas wilayah tutupan pohon Indonesia pada 2000 adalah 161.000.000 Ha, kemudian selama 2001 – 2013 Indonesia kehilangan lahan tutupan pohon seluas 16.884.670 Ha, dan total lahan tutupan pohon yang bertumbuh selama 2001–2012 adalah seluas 6.970.546 Ha.  Pada 2013 sendiri Indonesia mengalami kehilangan lahan tutupan pohon seluas 1.041.710 Ha.

Hilangnya tutupan pohon salah satunya yang diakibatkan kebakaran hutan, hampir setengahnya disebabkan oleh konversi lahan hutan untuk pembukaan lahan produksi kayu dan usaha perkebunan. Pada kebakaran hutan Maret 2014 GFW mendeteksi adanya 1449 titik api dengan tingkat keyakinan tinggi, di Pulau Sumatera. Sama seperti kebakaran hutan hebat yang terjadi pada Juni 2013 lalu, titik api dideteksi terkonsentrasi di Provinsi Riau. Pada kebakaran hutan 2014 lalu hampir separuh dari titik api tersebut terletak pada lokasi konsesi kelapa sawit, Hak Pengusaha Hutan (HPH), serta Hutan Tanaman Industri (HTI), demikian pula penyebab kebakaran hutan pada 2015 hampir setengahnya terletak pada lokasi konsesi kelapa sawit, HPH, serta HTI.

Women Research Institute masih terus berkomitmen mendorong terwujudnya peluang partisipasi publik yang lebih luas dalam pengelolaan hutan dan lahan khususnya peluang partispasi bagi kelompok masyarakat perempuan yakni dengan meningkatkan kapasitas masyarakat perempuan untuk melakukan advokasi penyelesaian permasalahan hutan yang berbasis data.

Pada tanggal 24 dan 26 Agustus 2015, Women Research Institute telah melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) dan Multi Stakeholder Forum (MSF) untuk mengidentifikasi permasalahan terkait hutan yang sedang dihadapi masyarakat dan mendesak untuk segera melakukan advokasi. Focus Group Discussion (FGD) dilakukan terhadap kelompok masyarakat perempuan di Desa Sungai Berbari (Kabupaten Siak) dan Desa Teluk Binjai (Kabupaten Pelalawan).

Temuan dari FGD akan diangkat dalam forum lintas pemangku kepentingan (Multi Stakeholder Forum, MSF) yang melibatkan perwakilan masyarakat desa (Desa Sungai Berbari dan Desa Teluk Binjai), perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terkait seperti Perkumpulan Bunga Bangsa, Riau Women Working Group (RWWG), WALHI, Scale Up, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (JIKALAHARI), Jaringan Masyarakat Gambut Riau, Institute Social and Economic Change (ISEC) Riau, Lembaga Advokasi Lingkungan Hidup (LALH) Riau) dan perwakilan dari institusi pemerintahan yang terkait diantaranya Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, Badan Pertanahan Nasional, dan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten. Forum lintas pemangku kepentingan ini mempertemukan tiga komponen penting yaitu pemerintah, masyarakat maupun LSM untuk saling mengklarifikasi data dan informasi terkait permasalahan pengelolaan hutan sehingga dapat diperoleh informasi yang seimbang. Pada tahap selanjutnya, temuan isu dari hasil FGD dan MSF akan dipraktikan dalam pelatihan advokasi berbasis data GFW.

Pelatihan Advokasi Berbasis Data GFW dilakukan dengan tujuan agar masyarakat perempuan dapat memiliki pemahaman dan keterampilan serta pedoman yang diperlukan untuk memperkuat, mengembangkan, melaksanakan dan mengevaluasi strategi advokasi yang efektif untuk mendorong transparansi yang lebih luas dalam proses pemberian izin konsesi di lahan hutan, yang seringkali juga melibatkan lahan tempat dan perkebunan masyarakat.

Data yang diajukan sebagai data untuk mendukung proses advokasi adalah yang bersumber dari GFW yang merupakan suatu sistem online mutakhir yang melacak perubahan tutupan hutan, kebakaran, serta informasi lainnya secara nyaris seketika. Selain itu, dari kegiatan pelatihan ini akan dihasilkan sebuah modul pelatihan advokasi berbasis data GFW yang praktis dan mudah dipahami.

Pelatihan Advokasi berbasis data ini akan melibatkan kelompok masyarakat perempuan dan perwakilan LSM yang melakukan pendampingan pada proses advokasi di daerah. Sehingga diharapkan proses advokasi yang selanjutnya dilakukan dapat berjalan lebih efektif dan berperspektif gender.***