Peningkatan Kapasitas / Study Visit
Published: 28/06/2013
Laporan Kegiatan Asia Pacific Academic Consortium for Public Health (APACPH)
Kolombo, Sri Lanka, 15-17 Oktober 2012
Kesehatan wajib dimiliki setiap individu agar dapat menjalani hidup dengan baik. Dengan memiliki tubuh yang sehat, manusia dapat menjalani hidup secara produktif dan efisien. Sebaliknya, tanpa kesehatan, manusia tidak akan dapat hidup secara layak, apalagi memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Konsensus yang berlaku di dunia internasional adalah mengukur kesehatan suatu negara dengan menggunakan Target Pembangunan Milenium (MDGs) sebagai indikator dari kesejahteraan dan kesehatan suatu bangsa. Ada banyak aspek dari target MDGs, mulai dari pendidikan, kesehatan, kesetaraan, hingga lingkungan dan kerja sama antara bangsa-bangsa. Targetnya adalah untuk mempercepat pencapaian masyarakat yang sehat dan produktif untuk dapat meningkatkan kemakmuran. Sayangnya, hingga 10 tahun setelah MDGs pertama kali diimplementasikan, masih banyak negara yang tidak mampu mencapai target-targetnya, terutama negara-negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, penting bagi bangsa ini untuk berpartisipasi secara aktif dalam diskusi-diskusi dengan negara-negara lain untuk berbagi pengalaman dan pelajaran untuk mempercepat pencapaian MDGs di Indonesia. Dengan dasar kedua alasan tersebut, Women Research Institute (WRI) mengirimkan dua peneliti, Rahayuningtyas dan Ayu Anastasia, untuk berpartisipasi di Konsortium Akademis Kesehatan Masyarakat Asia Pasifik (APACPH) 2012 yang diselenggarakan di Kolombo, Sri Lanka, pada tanggal 15-17 Oktober 2012. Tema APACPH tahun ini adalah “Target Pembangunan Milenium Setelah 2015: Tantangan untuk Kesehatan Masyarakat”, dengan beberapa subtema. WRI memilih tema yang terkait erat dengan kajian yang saat ini sedang dilakukan, yakni Ketidaksetaraan Gender dan Kesehatan.
Konferensi tersebut dilaksanakan selama tiga hari, dan mengundang sejumlah ahli di bidang kesehatan masyarakat untuk menyampaikan hasil penelitian mereka. Di samping itu, para representatif dari beberapa universitas dan agensi sosial kemasyarakatan juga terlibat untuk berbagi pengalaman mereka mengenai kondisi kesehatan dari masyarakat di negara mereka masing-masing. Pada hari pertama, materi yang disajikan bertema Target Pembangunan Milenium Setelah 2015: Tantangan untuk Kesehatan Masyarakat, yang dipresentasikan oleh Ms. Razina Bilgrami, Direktur Negara, Program Pembangunan PBB, Sri Lanka. Acara tersebut dilanjutkan dengan simposium dengan tema terkait, yakni Kesehatan Pekerja: Sebuah Perspektif untuk Masa Depan yang dipresentasikan oleh Prof. Hemantha Wicharmatike dari University of Malaya. Prof. Hemantha menyampaikan perlunya sebuah rencana global untuk memastikan bahwa seluruh aspek kesehatan para pekerja, baik di sektor formal dan informal (termasuk para pekerja migran, pekerja industri kecil, pekerja anak, para petani, dsb.), termasuk dalam sistem asuransi kesehatan. Kehadiran para pekerja dalam pendidikan kesehatan juga perlu untuk upaya promosi kesehatan di tempat kerja dalam bentuk poster atau panduan kesehatan para pekerja. Para pekerja sendiri juga pasti telah memiliki kesadaran untuk mengambil tindakan untuk menghindari penyakit dan mendapatkan perawatan apabila telah terlanjut sakit agar dapat menjadi produktif.
Setelahnya, konferensi tersebut menyelenggarakan sesi pleno kedua dengan tema Representasi Organisasi Kesehatan Dunia di Sri Lanka, yang dipresentasikan oleh Dr. Rustom Mehta Firdosi. Dia menjelaskan bahwa pada tahun 2020 populasi masyarakat berusia 65 tahun atau lebih akan melebihi populasi mereka di bawah 20 tahun, dan karenanya mengubah bentuk piramida populasi Sri Lanka. Transisi demografis ini akan menghasilkan transisi epidemiologis yang akan meningkatkan jumlah kasus penyakit tidak menular, seperti disfungsi organ. Indonesia juga merupakan negara yang memiliki tingkat populasi di atas 60 tahun yang cukup tinggi, sehingga dalam beberapa tahun populasi berusia di atas 65 tahun akan mendominasi Indonesia. Untuk menanggulangi permasalahan ini, sedini mungkin perlu diadakan sistem kesehatan yang dikenal sebagai pelayanan kesehatan utama ramah usia, yang menyediakan akses dan pemanfaatan untuk warga berusia lanjut. Sistem ini menyediakan panduan mengenai pengelolaan jasa kesehatan dan pendidikan, serta pelayanan kesehatan untuk warga berusia lanjut. Saat program telah dijalankan, tujuan jangka panjangnya adalah mendirikan kota ramah usia. Beberapa negara telah memilikinya, seperti Sri Lanka, di mana ada satu distrik yang dikategorikan sebagai distrik ramah watga lanjut usia. Selain itu, program ini terdapat pula di Rio de Janeiro, Brazilm dan Kolkata, India.
Pada hari kedua, seminar pertama dibuka dengan pleno berjudul Pengembangan Kebijakan dan Strategi untuk Mencapai Target Pembangunan Milenium Setelah 2015 yang disampaikan oleh Prof. Masamine Jimba dari University of Tokyo, Jepang. Beliau menjelaskan bagaimana membentuk kebijakan dan strategi yang tepat untuk mencapai MDGs pada tahun 2015. Prof. Masamine juga menyatakan bahwa nilai yang seharusnya menjadi dasar dari pembuatan kebijakan dan strategi yang tepat adalah kebebasan, kesetaraan, solidaritas, toleransi, menghargai alam, dan pembagian tanggung jawab. Mengenai MDGs, terutama target keempat yakni kematian anak, Indonesia telah berhasil mencapai penurunan tingkat kematian anak yang menggambarkan kondisi yang telah membaik di Indonesia. Namun mengenai target kedelapan yakni terkait HIV, Indonesia mengalami penurunan, sebab jumlah para pasien terus meningkat dari waktu ke waktu. Seluruh target MDGs sebetulnya sangat terkait dengan kesehatan, yang berarti bahwa kesehatan merupakan salah satu kunci agar pembangunan bangsa dapat berlangsung dengan baik dan target dapat dicapai. Sri Lanka sendiri menghabiskan anggaran yang besar untuk meningkatkan kesehatan masyarakatnya dengan cara menyediakan pelayanan kesehatan yang gratis untuk seluruh masyarakat.
Kegiatan ini dilanjutkan dengan Simposium Paralel, dengan tema Gender dan Kesehatan, yang dipresentasikan oleh Dr. Candani Galwaduge dan Dr. Laksham Senayake. Dalam presentasi tersebut dijelaskan bahwa di kawasan Asia Pasifik masih banyak terjadi perbedaan perlakuan berdasarkan gender. Banyak perbedaan tersebut terjadi sejak masa kanak-kanak, seperti pemberian nutrisi bagi anak laki-laki yang biasanya lebih baik daripada anak perempuan, maupun dalam hal penyediaan pendidikan. Sebagai akibatnya, pengalaman dan pengetahuan perempuan selalu tertinggal dibandingkan laki-laki. Kondisi ini akan berlanjut hingga mereka menikah, di mana laki-laki selalu menjadi pengambil keputusan utama dalam keluarga, termasuk mengenai kegiatan sosial istri, jumlah kelahiran keluarga, dan penggunaan kontrasepsi istri. Kondisi tersebut, dalam beberapa kasus, pasti menimbulkan kekerasan terhadap perempuan yang kerap dilakukan oleh orang-orang terdekat mereka. Untuk mengurangi masalah tersebut, pemerintah Sri Lanka berupaya menciptakan program dengan slogan “mengurangi kekerasan terhadap perempuan akan mengurangi kekerasan sosial”. Kegiatan ini dimanifestasikan dalam sejumlah cara seperti mendirikan poliklinik untuk perempuan di rumah sakit sehingga ketika perempuan yang menjadi korban kekerasan memeriksakan kesehatan mereka, mereka juga dapat berkonsultasi dengan rumah sakit untuk menemukan solusi terbaik. Strategi ini dipilih karena banyak hal yang tidak diungkapkan oleh para perempuan yang menjadi korban kekerasan ketika mereka memeriksakan diri ke rumah sakit. Kebanyakan terlalu takut dan malu untuk mengungkapkan penyebab sebenarnya dari lebam atau luka di tubuh mereka, sehingga mereka pun berbohong ketika ditanya penyebab luka-luka tersebut. Para dokter juga sungkan untuk bertanya secara mendetil mengenai kejadian yang menyebabkan luka-luka tersebut sebab mereka takut hal tersebut merupakan amsalah pribadi, meskipun mereka juga mengetahui bahwa penyebab luka-luka tersebut adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami atau orang terdekat korban. Para dokter juga bingung mengenai solusi terbaik yang dapat diberikan kepada para korban. Selain itu, program pemerintah Sri Lanka juga melakukan program pengembangan kapasitas, pembuatan kebijakan berbasis kesetaraan gender dan pengembangan jaringan dengan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), rumah sakit, komunitas, polisi, sektor pendidikan, dan sektor kesehatan lain.
Pada hari ketiga, tema dari sesi pleno terakhir adalah Pendekatan Multi-Stakeholder dalam Pencegahan Penyakit Tidak Menular (NCD) yang dipresentasikan oleh profesor dari University of Oxford dalam bidang Obat-obatan Diabetes. Dia menjelaskan bahwa saat ini penyakit tidak menular sedang menyebar dengan sangat cepat, berdasarkan sampel riset yang dilakukannya di China, India, dan Meksiko. Penyakit yang berkembang seringkali disebabkan oleh pola dan gaya hidup yang salah, seperti kebiasaan makan yang tidak tepat dan merokok, yang meningkatkan kasus obesitas, penyakit jantung, dan diabetes melitus. Perbedaan dalam ekspektasi hidup antara para perokok dan non-perokok, misalnya, adalah 10 tahun. Kerja sama antara para pemangku kepentingan akan memfasilitasi pencegahan cacat menular karena merokok, termasuk dalam masyarakat. Di China, ada unit polisi yang bertanggung jawab memastikan bahwa tidak ada orang yang merokok di tempat umum. Di samping itu, di China juga banyak poster yang terpasang untuk melarang merokok di tempat umum, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah perokok. Selain itu, untuk mendukung penduduknya hidup lebih sehat, pemerintah China juga menyediakan rental sepeda gratis untuk masyarakat. Tidak hanya mempromosikan gaya hidup yang sehat, kegiatan ini juga dapat mengurangi polusi udara.
Di India, upaya pencegahan penyakit tidak menular adalah membuat gym terbuka yang dapat digunakan oleh seluruh penduduk, biasanya dalam bentuk gym air yang berlokasi di taman kota dan lokasi-lokasi lainnya yang dilewati oleh para pejalan kaki. Isu-isu spesifik yang berhubungan dengan rokok ditangani oleh pemerintah India dengan cara membuat sejumlah poster atau papan iklan yang mensosialisasikan bahaya merokok untuk jantung dan kesehatan. Kebijakan pemerintah juga membuat kegiatan olah raga bersama di sekolah, kantor, dan lembaga pemerintah. Anak-anak sekolah pada khususnya disarankan oleh pemerintah untuk bersepeda ke sekolah, dan hal ini bahkan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan jasmani untuk memastikan bahwa semua siswa dapat mengendarai sepeda mereka masing-masing. Di bidang pola makan, saat ini budaya makan sehat seperti buah-buahan dan sayur-sayuran juga sudah mulai tumbuh di lingkungan anak-anak sekolah.
Serupa dengan dua negara tersebut, di Meksiko juga banyak dilakukan senam bersama di tempat-tempat umum, seperti di sekolah, mal, dan bahkan di jalanan. Hal ini dilakukan agar orang-orang yang sedang sibuk beraktivitas dapat bergabung dalam olah raga bersama ini. Untuk menghindari peningkatan penyakit tidak menular, pemerintah juga menyelenggarakan rapat khusus secara berkala dengan Kementerian Kesehatan Meksiko yang menggunakan isu tersebut sebagai masalah kesehatan dalam semua sektor. Mengenai pola makan, pemerintah Meksiko juga mencanangkan kebijakan agar setiap sekolah menyediakan makanan sehat di kantin sekolah.
Konferensi APACPH yang dilaksanakan selama tiga hari membahas sejumlah variasi isu yang berhubungan dengan kesehatan global. Banyak materi diskusi yang menawarkan solusi untuk mengubah kondisi status quo serta mewujudkan kesehatan yang lebih baik untuk Indonesia. Sejumlah riset juga menunjukkan bahwa beberapa negara sudah menggunakan strategi dan cara tertentu yang berhasl meningkatkan kondisi kesehatan negara. Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia Pasifik juga memiliki sejumlah isu yang serupa dengan yang telah dipresentasikan oleh para pembicara. Beberapa saran atau masukan dapat diaplikasikan untuk mengubah kondisi kesehatan bangsa menjadi lebih baik. Program-program yang telah diimplementasikan secara sukses di negara-negara lain dapat digunakan sebagai referensi sebab mereka telah teruji dapat memperbaiki kondisi kesehatan negara. Strategi peningkatan kesehatan bukanlah tanggung jawab dari beberapa sektor saja. Kerja sama antara pemerintah dan seluruh elemen institusi masyarakat sipil harus dilakukan secara bersama-sama untuk mewujudkan kondisi kesehatan Indonesia yang lebih baik.
Studi Banding WRI ke Sri Lanka, 16-17 Oktober 2012
Indonesia dan Sri Lanka sama-sama merupakan negara yang sedang berkembang, mengalami sejumlah konflik, dan mengalami bencana tsunami pada tahun 2004. Dari persamaan-persamaan tersebut banyak hal dan pengalaman yang dapat dipelajari, terutama terkait isu-isu perempuan dan pergerakan perempuan. Di Sri Lanka, perempuan telah melalui sejarah pergerakan yang panjang untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan. Sehingga, WRI yang diwakili oleh dua penelitinya menganggap penting untuk melakukan studi banding ke dua organisasi perempuan yang telah berdiri sejak lama, yakni Women’s Education and Research Centre (WERC) dan Center for Women’s Research (CENWOR).
Organisasi Women’s Education and Research Centre (WERC) dibentuk dan diresmikan pada tahun 1982. Organisasi ini didirikan oleh sekelompok kecil peneliti dan aktivis feminis yang menggarisbawahi status perempuan di negeri mereka dan menerbitkan materi yang dapat digunakan perempuan dalam perjuangan mereka mencapai kebebasan. Misi WERC secara umum adalah meningkatkan kesadaran, sumber daya, dan kesempatan perempuan untuk dapat berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan ekonomi, politik, dan sosial negara. Tujuan WERC adalah meningkatkan kesadaran baik perempuan dan laki-laki di tingkat masyarakat, termasuk masyarakat sipil, dan bekerja sebagai instrumen untuk perubahan kebijakan di tingkat negara. Pengawasan ketat pada institusi dan struktur sosio-politik dan sosio-kultural akan membantu kita menentukan kasus-kasus subordinasi pada perempuan. WERC percaya bahwa riset dan pendidikan dalam bidang-bidang tersebut akan membuka jalan untuk mencapai kesetaraan gender.
Prihatin dengan sedikitnya data yang membahas posisi perempuan yang termarjinalkan, sekelompok akademisi, peneliti dan aktivis yang terlibat selama beberapa tahun dalam program-program berorientasi pada penelitian dan tindakan bergabung pada tahun 1984 untuk mendirikan Pusat Penelitian Perempuan atau Center for Women’s Research (CENWOR). Dimulai dengan penelitian berorientasi kebijakan dan tindakan, selama bertahun-tahun CENWOR telah memperluas kinerja mereka sehingga kini termasuk pula program-program aksi, sensitivitas gender dan training, serta sosialisasi dan komunikasi informasi. CENWOR bergabung dengan kelompok-kelompok perempuan lainnya untuk melobi dan mengadvokasikan perubahan kebijakan untuk menjamin hak-hak perempuan. Kajian-kajian penelitiannya termasuk hampir seluruh aspek isu-isu gender. Penemuan dari penelitian mereka kemudian disosialisasikan dan disebarkan secara meluas melalui media cetak maupun elektronik untuk memungkinkan organisasi serta individual yang berpandangan serupa agar dapat terlibat dan turut campur tangan secara tepat.
Studi banding yang dilakukan secara umum merupakan sebuah diskusi yang bertujuan mengeksplor informasi, mengenal satu sama lain, serta bertukar pandangan dan pengetahuan mengenai:
- Isu-isu aktual terkait gender di Indonesia dan Sri Lanka
- Kajian dan training gender
- Kebijakan gender dan strategi implementasi kebijakan-kebijakan tersebut
- Jaringan dan kerja sama internasional / regional
- Manajemen pengetahuan
Berdasarkan diskusi dengan dua organisasi, dapat disimpulkan bahwa kedua berhasil mengadvokasikan lahirnya undang-undang tentang pemerkosaan di Sri Lanka. Selain itu, mereka juga berhasil meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup para janda setelah konflik. Sebagai contoh, WERC menyediakan pelatihan untuk para sopir tuk-tuk (suatu jenis transportasi umum) dan CENWOR menyediakan kursus membaca di sejumlah provinsi di Sri Lanka dengan tingkat perempuan buta huruf yang tinggi. Dalam mencapai keberhasilan tersebut, baik WERC maupun CENWOR menjalin dan mempertahankan hubungan yang baik dengan pemerintah dan media di Sri Lanka.
Satu hal yang masih belum dapat diwujudkan oleh kedua organisasi tersebut adalah peningkatan representasi perempuan di ranah politik, yang saat ini hanya sekitar 5% di Sri Lanka. Karena itu, mereka sangat tertarik dengan bagaimana gerakan perempuan Indonesia dapat mendorong jumlah representasi perempuan di ranak politik Indonesia. Di akhir kunjungan tersebut, WRI menyerahkan beberapa buku dan hasil publikasi WRI yang dibutuhkan oleh kedua organisasi yang dikunjunginya tersebut.***