2010 / Liputan Media / Media
Published: 13/04/2015
Sumber: TEMPO Interaktif, Rabu, 07 April 2010
TEMPO Interaktif, Menjelang malam, Mutiara terkejut melihat darah mengucur dari jalan lahirnya. Karena takut, suaminya memanggil dukun di lingkungan Rancak, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah. Dukun kemudian memijat perut Mutiara, sambil memberi tahu bahwa janinnya yang berusia tiga bulan itu meninggal dalam kandungan.
Mutiara, yang kini berusia 35 tahun, sekarang sudah memiliki tiga anak. Dari ketiga anaknya itu, cuma satu yang dilahirkan di tangan bidan. Tidak lain motifnya adalah ekonomi, dan kepercayaan tingkat tinggi kepada dukun. Mutiara menceritakan testimoni keguguran kandungannya dalam buku Target MDGs Menurunkan Angka Kematian Ibu Tahun 2015 Sulit Dicapai.
Minimnya anggaran berada satu garis lurus dengan minimnya jumlah fasilitas kesehatan berkualitas dan terjangkau. Hal ini membuat ibu hamil di desa, seperti Mutiara, sulit untuk tidak beralih dari dukun, yang memberikan jasa pelayanan murah.
Data yang dimiliki Emi Nurjasmi, anggota Ikatan Bidan Indonesia, menyebutkan, 31,5 persen total persalinan ditangani dukun atau jasa nonmedis lainnya yang dilakukan di rumah.
Sejalan dengan Emi, Wakil Ketua Bidang Kesehatan Ibu dan Anak Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Dr Rahmat Sentika. SpA, mengatakan ibu hamil di desa masih banyak percaya kepada tenaga nonmedis seperti dukun.
Padahal, menurut dia, hal ini menjadi salah satu pemicu tingginya angka kematian ibu (AKI) melahirkan. “Masalahnya, pisau atau alat lain yang digunakan dukun belum tentu steril. Di desa, mereka juga kesulitan mendapatkan air, tempat, dan alat bersih,” ujarnya kepada Tempo kemarin.
Hal di atas dikuatkan dengan studi Women Research Institute (WRI) di tujuh kabupaten/kota di Indonesia belum lama ini, yang mendapati lemahnya akses ke fasilitas kesehatan serta mekanisme rujukan yang tepat saat terjadi komplikasi persalinan berkontribusi memperbesar risiko kematian pada ibu melahirkan.
Studi itu dilakukan di Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sumba Barat, Kota Surakarta, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Jembrana, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Lampung Utara.
Studi mencatat bahwa kondisi ibu hamil sebelum persalinan juga turut mempengaruhi risiko kematian sang ibu, misalnya pengetahuan kesehatan reproduksi, status gizi, keteraturan pemeriksaan kehamilan, dan kepatuhan mengkonsumsi vitamin dan zat besi.
“Seluruh faktor ini saling berkaitan dalam menentukan keberhasilan upaya menurunkan risiko kematian ibu melahirkan,” ujar Direktur Penelitian WRI Edriana Noerdin di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kondisi serba kekurangan ini ditambah maraknya nikah muda di sejumlah wilayah tersebut. Sebut saja di Kabupaten Indramayu, yang banyak dijumpai–usia kawin pertama berusia rata-rata 17 tahun. Hal itu berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Daerah Jawa Barat sampai 2006. Dalam buku dikatakan, fenomena ini terjadi karena masyarakat masih terikat oleh pola-pola tradisional. Masyarakat menganggap menikahkan anak gadis paling tidak mengurangi beban ekonomi keluarga.
Rahmat menyebutkan, 34,6 persen perempuan di negeri ini menikah pada usia kurang dari 15 tahun. Padahal, bagi Rahmat, kondisi ini tidak ideal bagi kesehatan ibu nantinya saat melahirkan. Apalagi banyak dari mereka tak mengenal tanda bahaya kehamilan, seperti bengkak di kedua kaki, adanya bercak perdarahan di vagina–yang apabila terjadi pada bulan-bulan terakhir kehamilan mengakibatkan bayi prematur. “Mereka juga tidak tahu kenaikan berat badan lebih 20 kilogram dan tekanan darah naik–hipertensi itu berbahaya bagi mereka dan janinnya,” Rahmat menjelaskan.
Di lain pihak, ada realita yang menggemparkan berkaitan dengan tindakan aborsi di Indonesia. Menurut Roy Tjiong, Kepala Komite Ahli Kesehatan Reproduksi, tercatat ada 2,3 juta tindakan aborsi tidak aman setiap tahunnya di Indonesia. Angka tersebut terdiri atas 1 juta keguguran spontan dan 700 ribu aborsi akibat kehamilan yang tidak diinginkan. “Dan 600 ribu aborsi akibat kegagalan alat kontrasepsi.”
Faktanya, 15 persen dari total tindakan aborsi dilakukan oleh mereka yang berasal dari kelompok usia di bawah 20 tahun–akibat tidak adanya akses untuk memperoleh alat kontrasepsi. Nah, Rahmat menuturkan, 1 juta keguguran spontan itu banyak berkaitan dengan kualitas kesehatan ibu. Hal ini biasanya menimpa ibu yang dulunya menikah muda di bawah usia 15 tahun. “Biasa disebabkan oleh kadar Hemoglobin yang rendah alias anemia.”
Akumulasi “prestasi” di atas membuat Human Development Index Indonesia pada tahun ini merosot ke peringkat 111, dari sebelumnya berada di peringkat 107–meskipun Askeskin dan Jamkesmas diberlakukan.
Sudah tentu penurunan kualitas ini banyak disumbang oleh tingginya AKI melahirkan yang mencapai kisaran 228 per 100 ribu kelahiran hidup (2009), dari target MDGs 102 per 100 ribu per kelahiran hidup yang kudu dicapai pada 2015.
Gambaran lain dari penelitian WRI adalah banyak pemerintah kabupaten/kota memperlakukan pelayanan kesehatan malah sebagai peluang meningkatkan pendapatan daerah. Mereka mengambil uang dari kaum papa yang seharusnya dilayani. Walau ada Askeskin dan kemudian Jamkesmas–sebagai upaya perbaikan Askeskin–masalah yang dialami masyarakat miskin tetap sama, dari ketersediaan pelayanan yang kurang, salah sasaran, hingga proses klaim pembayaran yang memakan waktu lama.
Waktu Indonesia tinggal 4 tahun 9 bulan lagi untuk mengejar target MDGs. Ikatan Dokter Indonesia akan menggerakkan dokter umum untuk menangani persalinan di daerah. Jadi, tidak terbatas pada bidan dan dokter spesialis kandungan saja. Bulan ini, kata Rahmat, sudah dimulai pelatihan di semua kabupaten/kota untuk dokter umum demi mengurangi AKI.
Berdasarkan SDKI 2008, ada 4.692 ibu meregang nyawa pada masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Perinciannya: mulai perdarahan (28 persen), eklamsia (24 persen), infeksi (11 persen), partus lama (5 persen), hingga abortus (5 persen). Kemudian 52 persen dari total jumlah ibu yang meninggal karena melahirkan akibat perdarahan dan eklamsia.
| HERU TRIYONO