Diskusi / Event
Published: 03/12/2010
Bedah Buku ”Jakarta Uncovered-Membongkar Kemaksiatan, Membangun Kesadaran Baru” karya Nori Andriyani mengupas berbagai alasan klise kaum lelaki dalam mempertahankan kebiasaannya membeli layanan seks perempuan. Kebiasaan buruk yang melanggengkan penindasan kaum perempuan. Bisnis yang mempertahankan perdagangan perempuan dan anak, jeratan hutang perempuan yang dijual, kekerasan fisik terhadap perempuan, perkosaan dan eksploitasi ekonomi perempuan. Acara ini diselenggarakan oleh Women Reserach Institute pada Kamis, 2 Desember 2010 di Kantor WRI.
Bedah buku ini diharapkan dapat mengupas secara mendalam isi buku tersebut dan akhirnya bukan sekedar membangkitkan kesadaran baru terhadap masalah ini, akan tetapi lebih penting lagi mengajak kita semua melakukan perubahan seperti yang diharapkan penulisnya.
Acara diawali oleh Direktur WRI Sita Aripurnami yang menyatakan bahwa buku ini penting dalam berkontribusi untuk memproduksi pengetahuan, karena realitas yang digambarkan dalam buku ini tidak jauh dari kita. Hal ini merupakan masalah kita bersama. Persoalan ini berkaitan dengan feminisme, relasi gender dan seksualitas yang ada di masyarakat.
Tingginya antusiasme pada acara bedah buku ini terlihat dengan banyaknya peserta yang hadir. Selanjutnya Direktur WRI memperkenalkan Nur Iman Subono sebagai moderator dan Nori Andriyani sebagai penulis buku.
Nur Iman Subono (Boni) mengawali dengan membandingkan secara kontras antara buku Jakarta Uncovered dengan buku karya M. Emka, Jakarta Undercover. Isu yang dibahas sama, tapi dengan perspektif yang berbeda tentunya hasil analisanya juga berbeda. Di buku ini Nori tidak menggunakan kata prostitusi dan PSK (Pekerja Seks Komersial), karena ada persoalan keterpaksaan di sana. Sedangkan Emka, posisinya gamang. Pada satu sisi Emka mencoba membahas persoalan ini, tapi dia juga mengangkat persoalan moralitas. Feminis sendiri memiliki ragam yang banyak, diantaranya feminis abolisionis yang berpikiran untuk menghapus persoalan perempuan, Nori pada posisi ini.
Nori memulai dengan mengulas bab satu, membahas satu kasus yang menggugah karena kasus ini bisa dimiliki oleh siapapun. Apalagi bila terjadi di negara yang menganut sistem kapitalisme, dimana masyarakatnya sangat individualis. Hal kedua, permintaan laki-laki terhadap bisnis seksual membuat bisnis ini berkembang pesat dan bahkan tidak terselubung lagi. Faktor laki-laki ini yang hilang dalam wacana persoalan ini, terutama di Indonesia. Stand-point nya adalah dengan memotong demand, maka kegiatan perempuan dalam bisnis ini akan terputus. Mengapa dilihat dari sisi demand? Apa yang harus dilakukan? Pertama membongkar pola pikir kita bahwa persoalan ini tidak akan selesai, karena persoalan ini dapat menjadi sangat dekat dengan kita. Harus ada kampanye tentang persoalan ini pada orang terdekat kita. Sejauh ini belum ada panduan tentang bagaimana mendidik anak mengatasi persoalan ini. Nori mempunyai harapan bahwa buku ini dapat menggugah para pembaca untuk bisa dan mau melakukan sesuatu.
Sebelum sesi tanya-jawab dimulai, Boni merangkum ulasan penulis buku bahwa prostitusi sangat erat dengan kekerasan dan sirkulasi uang. Dan masyarakat terbiasa berada dalam silent majority. Sehingga penting bagi kita untuk bergerak membangunkan kelompok silent majority tersebut.
Sejumlah tanggapan dan pertanyaan disampaikan dalam sesi ini. Ada yang memberi tanggapan bahwa buku ini telah melihat bagaimana tingginya permintaan kaum laki-laki dalam bisnis prostitusi dan hal itu tidak pernah disadari. Persoalan prostitusi ini begitu kompleks dan menjebak perempuan. Banyak perempuan yang terjebak, sementara kaum laki-laki yang mempunyai banyak uang dengan sadar menjalankan bisnis prostitusi ini.
Ada pertanyaan mengenai “Madonna Sindrom Complex”. Apakah betul bahwa perilaku ini karena ketidakpuasan dengan pasangan di rumah atau karena konstruksi budaya masyarakat mengenai seksualitas? Seorang penanya tidak setuju dengan penggunaan kata “Kemaksiatan”, karena persoalan ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Juga dipertanyakan mengenai makna “prostitut” di buku ini? Apabila kerangkanya tidak jelas, maka semua PSK dapat ditempatkan sebagai korban. Karena ada realita, bahwa beberapa perempuan dengan sadar memilih untuk menjadi prostitut. Hal ini dikarenakan di dalam pemikiran mereka, menjual tubuh adalah sama seperti pekerjaan perdagangan lainnya.
Penulis buku lalu menanggapi semua tanggapan dan pertanyaan tersebut. Konsep prostitusi yang digunakan adalah dari Dworkin yang juga merupakan mantan prostitut. Buku ini juga melihat sisi analisa ekonomi struktural, dimana perempuan melakukan hubungan seks dengan keterpaksaan. Selain itu, sisi individualisme di dalam sistem kapitalisme juga berpengaruh. Hal lain adalah sifat konsumerisme, dimana kebutuhan itu dibentuk terus-menerus. Banyak perempuan untuk memenuhi kebutuhan konsumerismenya akhirnya melakukan tindakan prostitusi, walaupun tetap ada mucikarinya.
Moderator memberi kesempatan masing-masing kepada kedua pembahas yaitu Myra Diarsi dan Nia Dinata untuk mengupas buku tersebut. Myra mengupas dari sisi penulisan bukunya, dimana penulis kurang menggunakan alat dan instrumen feminis untuk menganalisis hasilnya. Dunia industri seks yang didalamnya ada trafficking memerlukan pengamatan yang utuh dan cermat. Soal demand dan supply tidak sederhana. Supply akan membentuk habis-habisan supaya demand tinggi dan demand ada. Buku Emka bagian dari supply. Yang perlu diberantas bukan hanya demand-nya saja. Tapi market itulah dimana orang tertarik bergerak ke sana. Tidak sesederhana memangkas demand.
Buku ini menguak sejumlah temuan baru, betapa organized-nya jasa layanan seks. Seperti pemijat bekerjasama dengan spa. Pemijat dijerumuskan dari pekerjaannya pemijat untuk menjual seksualitasnya juga. Oleh sistem mereka dipaksa bekerja dengan vagina, skin and mouth. Pada film Pertaruhan, kebanggaan yang menurut penulis tidak ada, ternyata ada. Kebanggaan itu ada tapi di kalangan eksklusif. Tidak tepat diletakkan landasan moral pada kebanggaan. TKW pun begitu, orangtua dengan sadar mendorong anak-anaknya untuk pergi karena kebanggan ada pada penghasilan yang lebih tinggi. Trafficking atau seks industri harus dibedakan dengan ketat untuk pendidikan publik. Soal tersebut sangat terorganisir dan harus terus-menerus didengungkan, tapi tidak hanya melihat pelaku pembeli atau perempuannya, tapi sistem yang melingkupinya.
Sedangkan Nia Dinata menyatakan, bahwa buku ini adalah antidote Jakarta Undercover. Orang yang membaca Jakarta Undercover harus membaca Jakarta Uncover agar balance. Namun dunia malam itu forbidden untuk perempuan. Paling menarik dari buku ini adalah bagaimana mendidik anak laki-laki dan anak perempuan diberi pengertian tentang kesetaraan gender, dan bagaimana memperlakukan perempuan. Seks adalah bagian dari kebutuhan, pendidikan tentang seks harus diberikan sejak anak-anak. Anak perempuan jangan takut dengan seksualitasmu. ***