Current Project / Pekerja Perempuan / Perempuan & Kerja
Published: 29/04/2008
Moral Ekonomi Perempuan Pabrik Dinamika Kehidupan di Tempat Kerja (4)
Relasi industrial asimetris dihadapi oleh buruh perempuan dengan pelbagai cara, antara lain, menyiasati atau melakukan semacam negosiasi dengan aparatus industrial atau mengembangkan strategi sosial tertentu. Contohnya Enong yang mengalami gugur kandungan pada 2006. Sebagaimana dipaparkan Diana Teresa Pakasi dalam buku ini, perusahaan tempat Enong bekerja menganggap itu bukan bagian dari cuti haid atau melahirkan sehingga tidak berhak mendapat upah penuh. Namun, Enong mendesak perusahaan agar membayar upahnya. Enong melibatkan PUK di pabrik tempatnya bekerja. Alih-alih memperjuangkan hak anggotanya, PUK malah menindas. Jejaring pengetahuan dan kuasa yang dimiliki PUK membuat organisasi ini merasa tidak perlu setara dengan Enong. Penyelesaian kasus itu pun membutuhkan prasyarat, “akan diurus jika Enong mengajak 10 orang buruh lain untuk menjadi anggota PUK”. Memenuhi persyaratan itu tidaklah mudah, namun Enong melihatnya dari sisi positif, yakni menjadikan rekan sesama buruh sebagai modal sosial yang kelak dapat melindunginya, dan juga bagian dari pembelajaran agar buruh tidak tergesa-gesa menjadi anggota PUK ketika sedang menghadapi suatu masalah. Di sisi lain, itu merupakan proses pendisiplinan terhadap buruh yang dalam derajat tertentu dianggap sebagai kebenaran mutlak yang harus dipatuhi PUK, buruh, dan aparatus perusahaan.
Dominasi buruh laki-laki atas buruh perempuan di dalam organisasi-organisasi serikat pekerja, sebagaimana dipaparkan Erni Agustini dalam buku ini, juga dialami Tati. Pengurus PUK ini sempat bersitegang dengan sesama pengurus PUK saat mengajukan usul agar buruh perempuan juga berhak menanggung biaya hidup suami dan anak-anak. Usulan yang sesungguhnya merupakan salah satu hak dasar buruh itu malah ditentang pengurus PUK yang mayoritas laki-laki. Menurut mereka, tidak lazim bila istri (perempuan) menanggung biaya hidup suami (laki-laki). “Kasus” tersebut malah membuat Tati tersingkir, atau lebih tepat disingkirkan, dari PUK. Bahkan, salah seorang petinggi serikat pekerja pernah menegur dan mengusir Tati hanya karena dia membawa anak dalam sebuah kursus pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan serikat pekerja itu di luar kota. Pendek kata, pemahaman akan kebutuhan buruh laki-laki dan buruh perempuan yang jelas berbeda belum dimiliki oleh pengurus organisasi pekerja yang didominasi laki-laki.
Kerelawanan dan keikutsertaan Tati sebagai salah seorang pengurus PUK yang memperjuangkan hak-hak buruh semakin berat ketika dihadapkan langsung dengan norma-norma pembagian kerja berdasarkan seks dan gender. Artinya, Tati berperan ganda sebagai ibu rumah tangga dan pengurus PUK yang harus mengurus kepentingan keluarga sekaligus memperjuangkan hak-hak buruh di tingkat pabrik. Atas nama “harmoni” Tati memikul kedua tanggung jawab itu. Namun demikian, “keseimbangan” tersebut tidak dapat terus-menerus dipertahankan. Rumah tangga Tati pecah. Suami menceraikan Tati dengan alasan dia lebih banyak menghabiskan waktu dalam kegiatan organisasi pekerja ketimbang mengurus rumah tangga. Tati adalah salah satu korban dari pola budaya masyarakat selama ini yang meletakkan peran perempuan dan lelaki dalam kuasa dan posisi tidak setara (Budiman, 2000: 15-35).
Buruh perempuan sendiri cenderung menganggap peran dan kuasa sosial yang timpang seperti itu adalah hal yang wajar dan tak perlu dipersoalkan. Misalnya, Enong yang sangat menyadari adanya semacam ketimpangan dalam relasi suami-istri. Suami melarang dia bergaul dengan teman laki-laki di luar lingkungan pabrik. Berangkat keluar rumah pun harus mengucap pamit terlebih dahulu kepada suami. Sebaliknya semua itu tidak berlaku bagi si suami. Enong tidak membantah atau melawan dengan alasan “karena agama memang mengharuskan begitu”. Kiat Enong menjaga keutuhan rumah tangga seperti itu membuat keluarganya tetap dapat bertahan secara ekonomi. Dia dapat memainkan peran ganda meski harus “rela” mengorbankan diri sendiri.
Zaman sekarang perempuan harus bekerja, agar punya uang sendiri untuk bisa membeli barang yang diinginkannya tanpa meminta suami. Selain itu, jika perempuan kerja, maka laki-laki tidak akan seenaknya pada istri karena istri membantu mencari uang juga. Di sisi lain, kalau perempuan bekerja dan sekaligus mengasuh anak pasti capai sekali.
Bagaimana buruh-buruh perempuan seperti Tati dan Enong memandang ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki bertalian erat dengan kesadaran sosial yang berhasil dibentuk dan dibangun oleh budaya patriarki. Bahkan, terus berlanjut ketika mereka telah memasuki ruang baru, kesadaran pabrik. Bagaimanapun juga, pembagian (kerja) berdasarkan gender bias dengan pemilahan berdasarkan jenis kelamin. Terutama di negeri-negeri berkembang, jika dia berjenis kelamin perempuan, maka dalam tata hubungan di ranah apa pun dia akan selalu dinomorduakan. Laki-laki maupun perempuan akan selalu mempertahankan kebiasaan tradisional mengenai pekerjaan yang “sesuai dan pantas” bagi kaum perempuan serta upah yang “sesuai” dengan persepsi tentang siapa “pencari nafkah dalam sebuah rumah tangga” (Xin Meng, 1998: 4).
Kelas-kelas sosial pun mirip dengan pembedaan jenis kelamin dan gender yang dapat dipilah menjadi tiga dimensi: posisi sosial ekonomi, peran sosial, dan representasi. Posisi sosial ekonomi mengacu pada akses individu atau keluarga terhadap pendapatan, kekayaan, kekuasaan, prestise kerja, dan pendidikan. Sementara peran sosial buruh perempuan amat terbatas karena lemah secara ekonomi. Di sisi lain, selain akses yang rumit dan sulit, budaya patriarki menghambat mereka untuk melibatkan diri lebih jauh dalam organisasi pekerja. Hal tersebut membuat mereka kehilangan kesempatan untuk merepresentasikan diri. Dalam kaitan dengan buruh perempuan, kelas sosial yang dimaksud tidak melulu ekonomi tetapi juga menyangkut nilai-nilai sosial yang diharapkan individu buruh pada posisi sosial ekonomi masing-masing. Karena itu, strategi bertahan hidup buruh perempuan jauh lebih kompleks daripada kategori ekonomi semata. Mereka harus selalu menyesuaikan pola konsumsi dengan kondisi hidup sehari-hari. Perilaku simbolik itu mengonfirmasikan keanggotaan kelas sosial secara khusus, bahkan mengaburkan jati diri dengan meniru “selera” kelas sosial lain. Misalnya, berbelanja pakaian yang sedang trend di mall atau membeli telepon seluler untuk komunikasi di antara mereka.
Bordieau (1984) dalam Distinction melihat bagaimana satu posisi sosial ekonomi secara tidak sadar membentuk kebiasaan untuk mengikuti selera, perilaku, dan nilai-nilai yang diasosiasikan dengan posisi struktural. Itu menuju ke arah reproduksi posisi sosial ekonomi antargenerasi. Ketika seseorang mengerjakan suatu pekerjaan tertentu, dia akan selalu menekankan beberapa aspek yang melambangkan nilai, selera, dan perilaku kelas sosial tertentu. Dalam buku kumpulan tulisan ini kita dapat menemukan beberapa perilaku buruh perempuan yang sangat mirip dengan kelas sosial di atas mereka. Artinya, perilaku (kelas sosial) buruh perempuan sangat kompleks untuk sekadar dipahami sebagai “tubuh” dalam proses produksi saja. Kenyataan menunjukkan bahwa perilaku tersebut berkaitan erat dengan strategi mereka untuk tetap bertahan hidup di kota. Strategi demikian tidak bisa dilihat secara parsial dalam relasi industri semata, melainkan lebih dari itu. Pendek kata, budaya pop dan perilaku konsumsi yang menyentuh buruh perempuan disiasati dengan strategi tertentu yang ikut memengaruhi ketahanan hidup mereka di perkotaan.
Beberapa ahli ilmu politik memandang optimis dinamika politik yang berlangsung dewasa ini akan sangat memengaruhi peta politik perburuhan di Indonesia. Vedi Hadiz (1997), misalnya, menganggap buruh sebagai social agencies akan banyak mewarnai kancah kehidupan sosial politik dalam bentuk yang lebih terorganisasi berkat menguatnya kesadaran kelas pekerja. Setidaknya hal itu ditandai oleh muncul dan berkembangnya beberapa serikat buruh baru yang independen sejak paruh terakhir tahun 1990-an. Mereka bisa menjadi organisasi buruh alternatif di samping Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang selama itu dikenal sebagai pengejawantahan korporasi negara. Namun demikian, dalam kenyataan sehari-hari, aktivitas politik kaum buruh kurang berpengaruh signifikan terhadap politik perburuhan secara keseluruhan. Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh cara pandang parsial yang cenderung menarik garis pemisah antara strategi buruh saat berhadapan dengan relasi industrial yang timpang dan kenyataan hidup sehari-hari kaum buruh yang senantiasa bersentuhan dengan budaya pop dan perilaku konsumsi.
Beberapa pengamat perburuhan mencoba menelisik persoalan itu. Walaupun tidak terlalu optimis, sebagian dari mereka berkeyakinan bahwa dalam jangka pendek kekuatan kaum buruh akan memiliki pengaruh cukup signifikan. Warouw (2004), misalnya, melihat bahwa gaya hidup atau perilaku kaum buruh yang banyak menyerap “budaya konsumer” dengan sendirinya membuat mereka tercerabut dari kehidupan politik praktis. Mereka menjadi lebih pragmatis dalam menghadapi kehidupan urban. Sejak lama mereka mengidamkan gaya hidup semacam itu sebagai jalan keluar dari kungkungan lumpur pertanian yang dianggap ketinggalan zaman. Persentuhan dengan budaya pop sejak tingkat sekolah dasar, baik melalui bahan ajar sekolah maupun media elektronika seperti televisi dan radio, tampaknya telah menyosialisasikan dan semakin mendekatkan mereka dengan budaya konsumer (Warouw, 2004). Perilaku konsumsi kelas-kelas sosial masyarakat perkotaan mau tidak mau dihadapi kaum buruh dengan segala konsekuensinya; mereka dapat membangun pencitraan diri yang lebih sukses ketimbang berada di desa.
Kaum buruh yang berlatar agraris membayangkan bahwa menjadi orang kota adalah menjadi orang modern, dan menjadi orang modern adalah menjadi orang yang berperilaku bagaikan kisah-kisah dalam sinetron. Rambut rebounding, make up, “melepas lelah” di pusat perbelanjaan, seperangkat stereo set terpasang di rumah kontrakan, dan berbagai perilaku lainnya membuat mereka semakin sulit dibedakan dengan kelas menengah. Dalam jangka pendek perilaku konsumsi tersebut menggerogoti kemauan politis kaum buruh. Mereka cenderung untuk memilih “bermain aman”, baik secara ekonomi maupun politik. Strategi politik di balik perilaku kosumsi seperti itu sering kali dilihat sebagai perilaku non-politis, sehingga tidak menguntungkan bagi para aktivis yang bermaksud mengorganisasi kaum buruh. Hal lain yang menarik untuk disimak adalah “produksi pengetahuan” buruh perempuan sebagai konsekuensi logis persentuhan mereka dengan budaya pop dan berbagai informasi yang diperoleh melalui media elektronika dan cetak yang tidak asing bagi mereka1. Dalam jangka panjang, hasil dari produksi pengetahuan yang diperoleh buruh perempuan di kota — mencakup aspek-aspek ekonomi, sosial, dan budaya — sebagaimana digambarkan dalam buku ini, akan menjadi cultural capital (modal budaya) bagi mereka untuk lebih aktif memainkan peran sosial di beberapa kawasan industri.
Bagaimanapun juga, “produksi pengetahuan” bukan perkara sederhana. Soal abstrak itu perlu ditafsirkan agar lebih mudah dipahami. Misalnya, Wendy Luttrell (1989) dalam tulisan berjudul ‘Working-Class Women’s Ways of Knowing: Effects of Gender, Race and Class’ meneliti dua orang buruh perempuan kulit hitam dan kulit putih tentang bagaimana mereka memahami dan mendefinisikan pengetahuan. Menurut Luttrell, pemahaman dan pendefinisian mereka akan pengetahuan sangat berbeda karena pengalaman kognitif mereka juga berbeda. Dengan kata lain, pola konsumsi buruh perempuan tergantung pada pengalaman kognisi masing-masing. Namun demikian, kesadaran kognitif tentu sulit dipisahkan dari kesadaran kelas yang (seharusnya) terbentuk dalam model produksi kapitalistik.
Dalam kasus Enong, misalnya, kendati mengaku sangat lelah dia tetap melakukan kerja lembur. Kerja lembur bagi Enong bukan sekadar kiat untuk bertahan hidup melainkan juga upaya untuk memenuhi “standar” perilaku konsumsi masyarakat kota yang menjadi habitat mereka. Hasil kerja lembur dipakai untuk memuaskan hasrat konsumtif dengan membeli aneka produk kosmetik, sepatu, baju, tas, pernak-pernik perhiasan, bahkan mengecat rambut. Begitu pula dengan buruh perempuan yang menganggap perlu membeli barang-barang seperti baju, tas, sepatu, dan aksesoris yang ditawarkan lewat Multi Level Marketing (MLM) sesama buruh. Hampir setiap hari Minggu Enong pergi ke beberapa pusat perbelanjaan di kawasan Sunter, Mangga Dua, dan Kelapa Gading, didampingi suami atau teman-teman. Berbeda dengan Linda. Walaupun kerap menggunjingkan gaya hidup kota, Linda tidak terbawa arus, seperti mengecat rambut atau belanja busana setiap bulan hanya untuk mengikuti mode. Studi kasus dalam buku ini menunjukkan bahwa perilaku konsumtif buruh perempuan bukan sekadar perilaku apolitis, tetapi juga strategi mereka dalam menyesuaikan diri dengan budaya pop masyarakat urban.
Kesadaran tersebut memang tidak berada di ruang hampa realitas sosial. Perilaku buruh-buruh perempuan semacam itu (mungkin) bisa dijelaskan dengan konsep mimicry sebagaimana ditawarkan Bhabha (2004), yakni the desire for a reformed, recognizable Other, as a subject of a difference that is almost the same, but not quite2. Itu adalah bentuk peniruan individu yang inferior secara ekonomi, sosial, dan budaya terhadap kelas sosial lebih superior. Secara sosiologis hal demikian merupakan ekspresi inferioritas sekaligus media penyesuaian sehingga terjadi semacam pengaburan identitas kelas yang meniru. Perilaku mimicry buruh perempuan dapat dilihat dari pola konsumsi mereka yang lebih menyerupai gaya kelas sosial menengah. Disebut mimicry karena pada dasarnya upaya meniru itu adalah strategi untuk menyiasati kehidupan di suatu tempat yang bukan “wilayah” mereka, sehingga merasa lebih nyaman dan aman. Bagaimanapun juga, tulisan-tulisan dalam buku ini tidak memisahkan strategi bertahan hidup secara ekonomi dan strategi bertahan hidup secara kultural karena keduanya berjalan seiring dan harus dihadapi secara bersamaan oleh buruh perempuan.
Di sisi lain, sebagai produk industri kapitalis, buruh perempuan mengonsumsi “ilmu pengetahuan” dan “kebudayaan” yang merupakan bagian dari praktik diskursif kapitalisme. Itu adalah bagian dari proses reproduksi sumber daya manusia yang sekaligus membentuk proses “pembiasaan” diri kaum buruh. Artinya, reproduksi sosial dan pembiasaan diri tidak saja membutuhkan reproduksi keahlian dalam setiap proses produksi, tetapi juga reproduksi submisi perilaku kaum buruh dalam menjalankan aturan atau tatanan yang telah mapan. Misalnya, buruh terus-menerus mengikuti ritme kerja yang diatur dan “dibiasakan” oleh perusahaan sehingga mereka tidak bisa lagi secara kritis mempersoalkan irama kerja yang eksploitatif itu. Hal demikian juga berkaitan dengan tekanan ekonomi yang mendorong buruh untuk selalu berusaha memenuhi tuntutan itu, umpamanya, berpenampilan trendy seduai dengan gaya hidup kota. Dengan kata lain, perilaku konsumsi memiliki andil besar dalam proses pendisiplinan buruh. Selain mereproduksi “keahlian” dalam proses produksi, perilaku itu mereproduksi gaya hidup tertentu. Gaya hidup kota, sebagaimana diuraikan Siti Nurwati Khodijah dalam buku ini, adalah sebuah rangkaian realitas dari kondisi obyektif yang berada di lingkungan buruh perempuan.
Dalam derajat tertentu, “keharusan” untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan “keinginan” untuk menyesuaikan diri dengan budaya kota telah mengondisikan buruh perempuan untuk tidak menampik kerja lembur. Itu bukan hanya karena pengaruh lingkungan sosial budaya di tempat kerja dan bukan pula karena “tekanan” teman-teman sesama buruh. Itu dikarenakan buruh perempuan, seperti Linda misalnya, telah terjalin erat dengan perilaku konsumsi masyarakat kota yang mendorong dia untuk menambah penghasilan lewat kerja lembur. Buruh yang menolak kerja lembur agaknya menjadi sesuatu yang menakutkan dan dapat membangkitkan amarah rekan sesama buruh. Pandangan demikian jelas berada di dalam konteks relasi industrial yang asimetris; buruh selalu berada dalam posisi lemah. Solidaritas sesama buruh perempuan yang telah terbangun sebagai modal sosial memang harus tetap dijaga. Namun, kebersamaan buruh dalam ruang industrial justru dapat mereduksi perasaan akan adanya relasi industrial yang asimetris. Sangatlah jelas bahwa sanksi sosial yang dijatuhkan oleh sekelompok buruh kepada sesama buruh merupakan locus beroperasinya kekuasaan dalam relasi industrial dan gaya hidup.
Operasi kekuasaan secara sosiologis agaknya berhasil memantapkan diri dalam berbagai mekanisme relasional antara aparatus industrial dan gaya hidup. “Kesalahan seorang buruh adalah kesalahan semua tim” atau “target yang tidak terkejar tentu mengharuskan kerja lembur lebih lama, coba jika semua bisa lembur” sebagaimana diutarakan Linda adalah contoh wacana buruh perempuan selama ini. Walaupun wacana kerja lembur tampak dominan, ada beberapa buruh perempuan yang “berani” melawan arus itu. Ika, sebagaimana ditulis Margaret Aliyatul Maimunah, sering melakukan kerja lembur yang tidak menguntungkan dirinya. Selain sangat meletihkan, upah kerja lembur yang diperoleh tidak sebanding dengan tenaga yang telah dicurahkannya Upah lembur itu pun masih harus disisihkan untuk membeli vitamin atau susu agar dia tidak jatuh sakit. Ika kemudian “memilih” untuk tidak bekerja lembur ketimbang disergap keletihan amat sangat dan mengeluarkan banyak uang. Namun, perasaan senasib sering tidak mewujud dalam bentuk sikap politis. Sebaliknya mereka malah mentransformasikannya menjadi tekanan sosial di antara sesama buruh. Buruh tidak lagi melihat itu sebagai tekanan perusahaan tetapi lebih sebagai bentuk solidaritas di antara sesama mereka.
Notes:
1Dalam hal ini “produksi pengetahuan” adalah kemampuan individu menghasilkan seperangkat pemikiran yang diperoleh dari pengalaman hidup yang kemudian dipergunakan untuk menentukan strategi apa yang harus dilakukan agar dapat hidup lebih nyaman.
2Garis bawah sesuai dengan teks asli dalam Homi K Bhabha, The Location of Culture (New York: Routledge 2004).