Current Project / Perempuan & Politik / Representasi di Parlemen
Published: 21/01/2008
Catatan Awal Tahun Women Research Institute
“Diyakini bahwa hanya apabila perempuan dalam jumlah yang cukup besar menjadi pembuat keputusan, maka mereka akan berusaha untuk membuat perbedaan dalam kehidupan kaum perempuan lain, terutama mereka yang ada dalam sektor-sektor masyarakat yang lebih lemah.” (Eka Komariah Kuncoro)
Sesuai dengan pernyataan Eka Komariah di atas, maka keterwakilan perempuan di dalam parlemen menjadi sebuah hal yang patut diwujudkan. Namun demikian, kesadaran akan pentingnya representasi perempuan masih belum dipahami dengan baik oleh masyarakat secara umum. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan keterwakilan perempuan di dalam parlemen, maka dilakukan upaya affirmative action di dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu). Upaya affirmative action ini telah mulai dilaksanakan Indonesia sejak Pemilu Tahun 2004, melalui UU Pemilu-nya yang mengatur kuota pencalonan legislatif perempuan sebanyak 30%. Meski upaya kuota telah dilakukan, namun hasil Pemilu 2004 belum menunjukan angka keberhasilan yang signifikan karena baru mencapai 11,09% keterwakilan perempuan di DPR.
Sebuah titik terang terhadap isu keterwakilan perempuan ini muncul kembali dengan disahkannya UU No. 10 Tahun 2008 yang mengkombinasikan penerapan sistem kuota, zipper system dan aturan nomor urut. Melalui sistem kuota yang diterapkan, maka telah terjamin setidak-tidaknya 30% calon legislatif (caleg) perempuan. Penerapan zipper system yang mengharuskan sekurang-kurangnya satu caleg perempuan diletakkan di antara tiga orang caleg (di dalam nomor urut) menjadi aksi yang strategis mencegah caleg perempuan diletakkan pada nomor urut besar. Sesuai dengan aturan nomor urut, maka kesempatan menjadi anggota legislatif akan lebih besar bagi caleg bernomor urut kecil, seperti halnya dibuktikan oleh hasil Pemilu di tahun 2004.
Dalam perkembangannya, kesempatan besar yang diperoleh caleg perempuan melalui kombinasi affirmative action di dalam UU Pemilu 2008 menjadi pupus, ketika banyak partai politik yang memutuskan untuk beralih menerapkan aturan suara terbanyak di dalam kebijakan internal partai. Situasi semakin diperburuk lagi, ketika aturan suara terbanyak ini kemudian disahkan pemberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi melalui hasil keputusan Judicial Review atas UU Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 214, pada 23 Desember 2008. Penerapan suara terbanyak tentunya tidak sejalan dengan upaya affirmative action yang hanya sesuai apabila digunakan aturan nomor urut dalam Pemilu. Penetapan zipper system menjadi tidak efektif kembali dengan dibatalkannya aturan nomor urut oleh MK. Padahal, jika kita merujuk pada negara-negara yang memiliki keterwakilan perempuan yang baik, maka zipper system dan kuota terbukti sangat efektif dan berhasil meningkatkan angka representasi perempuan.
Selain gagalnya zipper system tersebut, aturan suara terbanyak juga akan mempersulit caleg perempuan untuk masuk ke dalam parlemen. Suara terbanyak mengharuskan para caleg terjun dan dekat dengan para konstituennya secara langsung. Aktivitas caleg untuk terjun kepada masyarakat pemilihnya tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dengan kondisi status ekonomi yang terbatas dimiliki oleh perempuan, maka tentunya akan sulit bagi perempuan untuk terjun langsung kepada konstituen. Di samping itu, pendidikan politik terhadap perempuan yang lebih terbatas dibanding laki-laki, tentunya menyulitkan upaya politik caleg perempuan untuk berkampanye di dalam Pemilu. Hambatan lain juga muncul dari masyarakat Indonesia yang nilai patriarkinya masih kuat akan sulit menerima perempuan sebagai bagian di dalam dunia politik, sehingga tentunya akan sulit menjaring kepercayaan masyarakat terhadap caleg perempuan. Situasi-situasi tersebut tentunya menjadikan perempuan bekerja jauh lebih keras dibandingkan laki-laki, jika di dalam Pemilu diberlakukan aturan suara terbanyak.
Melihat permasalahan atas isu keterwakilan perempuan menjelang 2009, maka Women Research Institute (WRI) sebagai sebuah lembaga yang fokus terhadap isu gender dan perempuan melakukan diskusi publik terkait isu tersebut. Melalui diskusi publik ini, WRI ingin melihat dampak lebih lanjut atas keputusan Judicial Review mengenai suara terbanyak terhadap upaya meningkatkan keterwakilan perempuan. Selain itu, mempertemukan juga ide-ide atas hal apa yang dapat dilakukan kemudian, sebagai bentuk dari affirmative action bagi caleg perempuan setelah ditetapkannya aturan suara terbanyak.
Tujuan
Tujuan dari Diskusi Publik yang akan di selenggarakan oleh WRI ini diharapkan bisa memperoleh penjelasan dan masukan dari Akademisi, calon legislatif perempuan, perempuan di parlemen, KPU, Pemerintah, MK, DPR dan NGO mengenai:
- Bagaimanakah sikap WRI dan kelompok perempuan pada umumnya, KPU, MK, DPR, Parpol, serta Pemerintah atas dibatalkannya aturan nomor urut dan diubahnya menjadi aturan suara terbanyak?
- Bagaimana dampak hasil Judicial Review UU 10/2008 Pasal 214 terhadap gerakan perempuan yang telah mewacanakan isu keterwakilan perempuan ini sejak awal hingga affirmative action pada akhirnya dapat diatur di dalam UU 10/2008?
- Bagaimana kedudukan caleg perempuan dalam proses pelaksanaan Pemilu 2009 setelah ditetapkannya aturan suara terbanyak? Apa dampaknya dan bagaimana prediksi terhadap angka keterwakilan perempuan hasil Pemilu 2009?
- Strategi apa yang dapat dilakukan sebagai upaya affirmative action untuk meningkatkan representasi perempuan di dalam parlemen, setelah ditetapkannya hasil Judicial Review?
Pembukaan
Edriana Noerdin selaku Direktur Penelitian Women Research Institute (WRI) memberikan sambutan, mengawali acara dialog publik. Dalam sambutannya, Edriana menjelaskan secara singkat latar belakang dan pentingnya diadakannya acara dialog publik. Diharapkan dari dialog publik ini akan dihasilkan cara atau celah bagaimana mendongkrak suara perempuan di parlemen, terkait dengan dikeluarkannya judicial review.
Dialog publik ini dipandu oleh Sita Aripurnami (Direktur Eksekutif WRI) sebagai moderator, dengan menghadirkan lima pembahas. Kelima pembahas tersebut adalah Aisah Putri Budiatri (peneliti WRI), Ani Soetjipto (akademisi dari Universitas Indonesia), Mohammad Fajrul Falakh (pengamat Hukum Universitas Gajah Mada), Nursyahbani Katjasungkana (anggota DPR RI 2004-2009 dan caleg PKB Pemilu 2009) dan Lena Maryana Mukti (anggota DPR RI 2004-2009 dan caleg PPP Pemilu 2009).
Moderator mengemukakan bahwa sebagai pembicara pertama Aisah Putri Budiatri mewakili WRI akan menjelaskan upaya apa yang bisa dilakukan untuk mendorong keterwakilan perempuan di parlemen setelah adanya judicial review Mahkamah Konstitusi (MK), mengingat pemilu tinggal dua bulan lagi.
Sementara Ani Soetjipto akan menjelaskan dampak diterapkannya aturan suara terbanyak terhadap keterwakilan suara perempuan. Pembahas ketiga, Mohammad Fajrul Falakh akan menjelaskan pandangannya dari sisi hukum atas hasil judicial review UU Pemilu 10/2008 pasal 214. Selain itu ada Nursyahbani Katjasungkana dan Lena Maryana Mukti yang akan mengemukakan pandangannya atas pembatalan aturan nomor urut menjadi suara terbanyak dalam Pemilu 2009 dan strategi pemenangan caleg perempuan dalam menghadapi aturan suara terbanyak.
Download:
Presentasi Ani Soetjipto, Dampak Aturan Suara Terbanyak
Presentasi Fajrul Fallakh, Pembongkaran Sistem Pemilu
Presentasi Aisah Putri Budiatri, Tindak Afirmasi Untuk Menjaga Keterwakilan Perempuan