Event / Seminar
Published: 21/01/2009
Catatan Awal Tahun Women Research Institute
“Diyakini bahwa hanya apabila perempuan dalam jumlah yang cukup besar menjadi pembuat keputusan, maka mereka akan berusaha untuk membuat perbedaan dalam kehidupan kaum perempuan lain, terutama mereka yang ada dalam sektor-sektor masyarakat yang lebih lemah.” (Eka Komariah Kuncoro)
Sesuai dengan pernyataan Eka Komariah di atas, maka keterwakilan perempuan di dalam parlemen menjadi sebuah hal yang patut diwujudkan. Namun demikian, kesadaran akan pentingnya representasi perempuan masih belum dipahami dengan baik oleh masyarakat secara umum. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan keterwakilan perempuan di dalam parlemen, maka dilakukan upaya affirmative action di dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu). Upaya affirmative action ini telah mulai dilaksanakan Indonesia sejak Pemilu Tahun 2004, melalui UU Pemilu-nya yang mengatur kuota pencalonan legislatif perempuan sebanyak 30%. Meski upaya kuota telah dilakukan, namun hasil Pemilu 2004 belum menunjukan angka keberhasilan yang signifikan karena baru mencapai 11,09% keterwakilan perempuan di DPR.
Sebuah titik terang terhadap isu keterwakilan perempuan ini muncul kembali dengan disahkannya UU No. 10 Tahun 2008 yang mengkombinasikan penerapan sistem kuota, zipper system dan aturan nomor urut. Melalui sistem kuota yang diterapkan, maka telah terjamin setidak-tidaknya 30% calon legislatif (caleg) perempuan. Penerapan zipper system yang mengharuskan sekurang-kurangnya satu caleg perempuan diletakkan di antara tiga orang caleg (di dalam nomor urut) menjadi aksi yang strategis mencegah caleg perempuan diletakkan pada nomor urut besar. Sesuai dengan aturan nomor urut, maka kesempatan menjadi anggota legislatif akan lebih besar bagi caleg bernomor urut kecil, seperti halnya dibuktikan oleh hasil Pemilu di tahun 2004.
Dalam perkembangannya, kesempatan besar yang diperoleh caleg perempuan melalui kombinasi affirmative action di dalam UU Pemilu 2008 menjadi pupus, ketika banyak partai politik yang memutuskan untuk beralih menerapkan aturan suara terbanyak di dalam kebijakan internal partai. Situasi semakin diperburuk lagi, ketika aturan suara terbanyak ini kemudian disahkan pemberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi melalui hasil keputusan Judicial Review atas UU Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 214, pada 23 Desember 2008. Penerapan suara terbanyak tentunya tidak sejalan dengan upaya affirmative action yang hanya sesuai apabila digunakan aturan nomor urut dalam Pemilu. Penetapan zipper system menjadi tidak efektif kembali dengan dibatalkannya aturan nomor urut oleh MK. Padahal, jika kita merujuk pada negara-negara yang memiliki keterwakilan perempuan yang baik, maka zipper system dan kuota terbukti sangat efektif dan berhasil meningkatkan angka representasi perempuan.
Selain gagalnya zipper system tersebut, aturan suara terbanyak juga akan mempersulit caleg perempuan untuk masuk ke dalam parlemen. Suara terbanyak mengharuskan para caleg terjun dan dekat dengan para konstituennya secara langsung. Aktivitas caleg untuk terjun kepada masyarakat pemilihnya tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dengan kondisi status ekonomi yang terbatas dimiliki oleh perempuan, maka tentunya akan sulit bagi perempuan untuk terjun langsung kepada konstituen. Di samping itu, pendidikan politik terhadap perempuan yang lebih terbatas dibanding laki-laki, tentunya menyulitkan upaya politik caleg perempuan untuk berkampanye di dalam Pemilu. Hambatan lain juga muncul dari masyarakat Indonesia yang nilai patriarkinya masih kuat akan sulit menerima perempuan sebagai bagian di dalam dunia politik, sehingga tentunya akan sulit menjaring kepercayaan masyarakat terhadap caleg perempuan. Situasi-situasi tersebut tentunya menjadikan perempuan bekerja jauh lebih keras dibandingkan laki-laki, jika di dalam Pemilu diberlakukan aturan suara terbanyak.
Melihat permasalahan atas isu keterwakilan perempuan menjelang 2009, maka Women Research Institute (WRI) sebagai sebuah lembaga yang fokus terhadap isu gender dan perempuan melakukan diskusi publik terkait isu tersebut. Melalui diskusi publik ini, WRI ingin melihat dampak lebih lanjut atas keputusan Judicial Review mengenai suara terbanyak terhadap upaya meningkatkan keterwakilan perempuan. Selain itu, mempertemukan juga ide-ide atas hal apa yang dapat dilakukan kemudian, sebagai bentuk dari affirmative action bagi caleg perempuan setelah ditetapkannya aturan suara terbanyak.
Tujuan
Tujuan dari Diskusi Publik yang akan di selenggarakan oleh WRI ini diharapkan bisa memperoleh penjelasan dan masukan dari Akademisi, calon legislatif perempuan, perempuan di parlemen, KPU, Pemerintah, MK, DPR dan NGO mengenai:
-
Bagaimanakah sikap WRI dan kelompok perempuan pada umumnya, KPU, MK, DPR, Parpol, serta Pemerintah atas dibatalkannya aturan nomor urut dan diubahnya menjadi aturan suara terbanyak?
-
Bagaimana dampak hasil Judicial Review UU 10/2008 Pasal 214 terhadap gerakan perempuan yang telah mewacanakan isu keterwakilan perempuan ini sejak awal hingga affirmative action pada akhirnya dapat diatur di dalam UU 10/2008?
-
Bagaimana kedudukan caleg perempuan dalam proses pelaksanaan Pemilu 2009 setelah ditetapkannya aturan suara terbanyak? Apa dampaknya dan bagaimana prediksi terhadap angka keterwakilan perempuan hasil Pemilu 2009?
-
Strategi apa yang dapat dilakukan sebagai upaya affirmative action untuk meningkatkan representasi perempuan di dalam parlemen, setelah ditetapkannya hasil Judicial Review?
Pembukaan
Edriana Noerdin selaku Direktur Penelitian Women Research Institute (WRI) memberikan sambutan, mengawali acara dialog publik. Dalam sambutannya, Edriana menjelaskan secara singkat latar belakang dan pentingnya diadakannya acara dialog publik. Diharapkan dari dialog publik ini akan dihasilkan cara atau celah bagaimana mendongkrak suara perempuan di parlemen, terkait dengan dikeluarkannya judicial review.
Dialog publik ini dipandu oleh Sita Aripurnami (Direktur Eksekutif WRI) sebagai moderator, dengan menghadirkan lima pembahas. Kelima pembahas tersebut adalah Aisah Putri Budiatri (peneliti WRI), Ani Soetjipto (akademisi dari Universitas Indonesia), Mohammad Fajrul Falakh (pengamat Hukum Universitas Gajah Mada), Nursyahbani Katjasungkana (anggota DPR RI 2004-2009 dan caleg PKB Pemilu 2009) dan Lena Maryana Mukti (anggota DPR RI 2004-2009 dan caleg PPP Pemilu 2009).
Moderator mengemukakan bahwa sebagai pembicara pertama Aisah Putri Budiatri mewakili WRI akan menjelaskan upaya apa yang bisa dilakukan untuk mendorong keterwakilan perempuan di parlemen setelah adanya judicial review Mahkamah Konstitusi (MK), mengingat pemilu tinggal dua bulan lagi.
Sementara Ani Soetjipto akan menjelaskan dampak diterapkannya aturan suara terbanyak terhadap keterwakilan suara perempuan. Pembahas ketiga, Mohammad Fajrul Falakh akan menjelaskan pandangannya dari sisi hukum atas hasil judicial review UU Pemilu 10/2008 pasal 214. Selain itu ada Nursyahbani Katjasungkana dan Lena Maryana Mukti yang akan mengemukakan pandangannya atas pembatalan aturan nomor urut menjadi suara terbanyak dalam Pemilu 2009 dan strategi pemenangan caleg perempuan dalam menghadapi aturan suara terbanyak.
Presentasi Pembicara
Aisah Putri Budiatri
Aisah Putri Budiatri sebagai pembicara pertama menjelaskan mengenai latar belakang dialog publik ini diadakan. WRI masih melihat banyaknya masyarakat yang belum menyadari bahwa judicial review MK bisa melemahkan keterwakilan suara perempuan di parlemen.
Putri menyampaikan bahwa kenapa affirmative action menjadi penting, karena 1) Sistem Pemilu dengan aturan suara terbanyak kurang tepat digunakan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. 2) Affirmative Action; Sistem kuota dan zipper system terbukti mendongkrak angka keterwakilan perempuan parlemen. Putri juga menjelaskan mengenai hambatan perempuan dalam suara terbanyak. Penerapan suara terbanyak yang sesuai dengan nilai demokrasi, seharusnya tetap memperhatikan kebutuhan dan kepentingan perempuan sebagai kelompok yang termarginalkan oleh aturan ini. Atas dasar ini maka patut dipertimbangkan untuk menyelesaikan permasalahan keterwakilan perempuan pasca Judicial Review “aturan suara terbanyak”.
Oleh karenanya, Putri atas nama WRI merekomendasikan diiterbitkannya dua bentuk hukum (Perppu dan Peraturan KPU) akan memberikan kekuatan hukum yang kuat untuk menerapkan tindak afirmasi dalam Pemilu 2009, dengan catatan “harus segera ditetapkan”. Rekomendasi tindakan ini menjadi yang paling logis dilakukan mengingat pelaksanaan pemilu tinggal 78 hari lagi. Rekomendasi tindakan ini sesuai hukum dan konstitusi, sehingga diharapkan tidak akan menimbulkan perdebatan hukum dan dapat meminimalisir konflik yang mungkin muncul
Moderator: Inti dari penjelasan Puput adalah ajakan untuk bersama-sama memikirkan bagaimana suara perempuan bisa tetap diakomodir.
Ani Soetjipto
Sebagai pembicara kedua, Ani Soetjipto menjelaskan gambaran alur pemikiran yang masih belum banyak dipahami oleh teman-teman pengambil keputusan, termasuk di MK, mengenai tindakan afirmasi. Sebenarnya hulunya ada di UU Parpol. Lalu bagaimana kesempatan perempuan kalau suara terbanyak diterapkan tanpa adanya tindakan afirmasi? Data 2004 memperlihatkan bahwa perolehan suara perempuan kurang dari 10%.
Menurutnya, ada banyak opsi strategi yang harus dilakukan, meski dari sisi hukum dan politik tidak mudah. Pertama, tawaran Surat Keputusan (SK) Komisi Pemilihan Umum (KPU), kedua adalah Perppu, dan yang ketiga adalah internal settlement di Partai Politik (Parpol) yang masing-masing mempunyai kesulitan yang tidak sedikit. Tawaran pertama, yang menjadi perdebatan adalah KPU hanya sebagai lembaga pelaksana dan bukan lembaga pembuat UU. Kalau Perppu, harus ada persetujuan presiden. Lagipula di tingkat DPR, sekarang tidak pernah korum. Sementara kalau legislasi harus dari dua lembaga tersebut. Tawaran ketiga adalah internal settlement Parpol, yaitu melobi partai satu per satu untuk penempatan 3:1. Partai tidak bisa mengendalikan caleg, karena sekarang sistemnya terbuka (“pasar bebas”). Ide yang ditawarkan adalah tetap suara terbanyak, tetapi dari tiga kursi dimasukkan satu perempuan.
Strategi berikutnya yang ditawarkan Ani adalah bekerja di lapangan dengan memenangkan caleg perempuan yang berpeluang memenangkan pemilu dengan suara terbanyak (mapping dapil, analisa potensi caleg yang diusung dan data potensi suara yang bisa didapat) serta melakukan sinergi vertikal dan horizontal antar beragam stakeholder untuk memenangkan caleg tersebut.
Menutup presentasinya, Ani menawarkan rekomendasi afirmatif, yaitu usulan afirmatif suara terbanyak 3:1 dengan a) Penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. b) Penghitungan suara terbanyak dilakukan terpisah berdasarkan jenis kelamin. Dan c) Pada setiap tiga calon terpilih dengan suara terbanyak, satu diantaranya dari jenis kelamin yang berbeda.
Fajrul Falakh
Dijelaskan oleh Fajrul Falakh bahwa Putusan MK yang membatalkan pasal 214 berpotensi membatalkan tindakan afirmasi untuk caleg perempuan, karena tidak menggunakan nomor jadi. Dengan tidak adanya nomor jadi, maka lupakan saja kuota tindakan afirmasi. Tidak semata-mata pada pasal 214, tapi juga dari cuma satu kali contrengnya hanya pada caleg dan tidak kepada parpol. Jadi nomor urut tidak berlaku dan tidak ada suara masuk ke parpol. Sekarang semua suara hanya menjadi milik caleg yang dicontreng. Tiga alur yang sedang bertempur adalah kuota, suara terbanyak, dan contreng.
Menurut Fajrul di pasal 214 sebenarnya diakomodir juga soal reformulasi pasal tersebut. Pasal 214 menentukan cara membagikannya berdasarkan threshold, sebagai variasi terhadap List-PR system. Pertama, caleg yang memperoleh 100 persen bilangan pembagi pemilih (BPP) akan memperoleh kursi tanpa gangguan (huruf c). Kedua, threshold bagi caleg untuk memperoleh kursi adalah 30 persen BPP (huruf a). Ketiga, kursi dibagi berdasarkan nomor urut jika tidak ada caleg yang mencapai threshold (huruf d, huruf e). Keempat, jika beberapa caleg memperoleh suara sama, kursi diberikan kepada caleg peraih threshold dengan nomor urut kecil (huruf b, huruf c).
Caleg atau parpolkah yang akhirnya memperoleh kursi? Mana formula untuk mengonversi suara, kepada parpol maupun kepada caleg, menjadi kursi? Memenangkan caleg dengan 100 persen BPP dan threshold 30 persen BPP, kembali ke UU Pemilu 2003, atau berdasarkan nomor urut belaka? List-PR system yang (mulai) dibuka memang memicu pertentangan antarcaleg dalam parpol dan rekonsiliasinya di ranah legislasi.
Moderator: Inti yang dipaparkan Fajrul adalah bagaimana sistem pemilu bisa “ramah” dan bekerja dengan baik untuk semua pihak.
Lena Maryana Mukti
Lena Maryana Mukti menjelaskan bahwa Sistem pemilu kita merupakan hasil kompromi. Harusnya kedaulatan ada di tangan rakyat. Tapi menurut sistem pemilu kita, kedaulatan ada di parpol. Peserta pemilu adalah parpol, berdasarkan UU Pemilu. Keputusan MK telah mengubah menjadi sistem proporsional terbuka murni berdasarkan suara terbanyak. Keputusan MK sudah meluluhlantakan UU Pemilu 2008. Mengupayakan terobosan payung hukum ketika MK menyatakan tidak perlu lagi revisi. Di pasal 218 ada aturan bahwa yang menentukan caleg terpilih adalah KPU. Di sinilah peluangnya untuk aturan KPU.
Lena mengusulkan jangan menggunakan Perppu, karena cukup dengan aturan KPU. Karena dengan adanya MK, semua putusan bisa di MK-kan. Perppu jalannya panjang sekali, harus ke pemerintah lalu DPR. Sementara untuk affirmative action 30% saja berjuang satu tahun. Strategi mendesak adalah turun ke “lapangan banjir”, garap sebisanya, kampanye perempuan pilih perempuan. Jadi, yang didorong adalah membuat peraturan KPU karena menjadi satu bagian dengan keputusan MK. Kalau Perppu dan produk hukum lainnya, pasti akan di MK-kan lagi. Produk hukum jelas penting, tapi bukan untuk sekarang. Karena waktunya sangat pendek. 60% UU hasil negosiasi, 40% hasil perdebatan ilmiah. Kementerian Pemberdayaan Perempuan harus bekerja keras mendudukkan peran perempuan di parlemen. Ada mark-up suara karena adanya suara terbanyak. Yang menyatakan bahwa afirmasi berhenti pada nominasi, adalah salah. Afirmasi harus diletakkan secara proporsional.
Nursyahbani Katjasungkana
Nursyahbani Katjasungkana mengkerucutkan beberapa cara yang dikemukakan oleh Ani Soetjipto dan beberapa pendapat dalam forum ini. Usulannya adalah WRI membentuk tim kecil untuk merumuskan kemungkinan-kemungkinan yang paling bisa diraih mengenai keputusan MK. Nursyahbani setuju dengan Fajrul, tetapi kenyataannya partai SBY dukung suara terbanyak. Sementara Perppu masa berlakunya tiga bulan. Harus working smart untuk kampanye.
Dengan dibatalkannya pasal 214 yang merupakan jantung sistem pemilu berdasarkan UU Pemilu 2008, maka legitimasi hukum atau kewenangan hukum pun hilang. Begitupun dengan manfaat hukumnya. Dengan demikian legitimasi hukum untuk pemilu 2009 runtuh sudah. Tidak benar dengan pernyataan MK bahwa KPU siap melaksanakan putusan MK. Karena sampai sekarang KPU masih bingung. Menurut UU Pemilu 2004, Parpol kecil tidak boleh ikut. Tapi ada pasal pengecualian yang membolehkan Parpol kecil ikut. Hasilnya, dari 24 menjadi 36 partai.
Moderator: Menanggapi pertanyaan Nur, apakah mungkin WRI membentuk tim kecil untuk melobi ke KPU, WRI menawarkan diri bersama-sama para narasumber untuk ke KPU.
Tanggapan Peserta
Sjamsiah Achmad (Komnas Perempuan): Kalau seandainya KPU bisa legilated, maka lebih baik kalau KPU yang bikin aturan. Bolanya ada di KPU. Pasal 28 H ayat 2, tindakan afirmasi untuk dua hal: memperoleh kesempatan yang sama dan manfaat yang sama. Kesempatan ada di pasal 55, manfaat ada di 214.
Reny R. Pasaribu (PSHK – Pusat Studi Hukum dan Kebijakan): Yang lebih strategis adalah Perppu. Dari materi muatan lebih berisi UU, bukan dari institusi. Perppu tidak persis berlaku tiga bulan, melainkan sampai masa sidang berikutnya. Jadwal sidang DPR setelah yang kemarin 15 April, setelah pemilu. PSHK yang konsisten advokasi di DPR, sangat bersedia mendorong adanya Perppu.
Yuda Irlang: Kalau sidang DPR dipercepat, itu akan jadi konyol (bikin Perppu). Awalnya hanya PAN, lalu karena dosa KPU yang umumkan ada 38 parpol, Demokrat dan Golkar jadi ikutan suara terbanyak.
BRA Moeryati Soedibyo (anggota DPD bagian perempuan dan anggota kaukus perempuan di DPD): Strategi dengan Perppu tidak mungkin. Karena partai yang mengusulkan adalah Demokrat dan Golkar. Jadinya bisa-bisa sidang akan dipercepat.
Titi Sumbung (PD. Politik): Bukan tidak setuju dengan keputusan KPU. Tapi KPU itu pelaksana, harus punya cantolan lebih tinggi. Belum ada satupun yang menggantikan aturan 214, sistem apa yang mau dipakai. Karena MK hanya bilang membatalkan pasal 214, tapi tidak dibilang otomatis pakai suara terbanyak. Makanya harus segera diputuskan sistem pemilu apa yang mau dipakai. Selain itu harus melakukan pendidikan untuk caleg perempuan. Keputusan MK lahir yang mengajukan dua orang diputuskan oleh sembilan hakim dalam waktu tiga bulan untuk satu pasal, yang diputuskan setelah satu tahun dirundingkan. Dalam kondisi sekarang, lebih baik kita harus bersuara keras ke MK. Demo, berikan suara ke media. Karena keputusan MK inkonstitusional; melanggar UUD pasal 28 H, UU Pemilu, UU Parpol, dan banyak lagi.
Tanggapan Pembicara
Fajrul Falakh (menanggapi Reni): KPU adalah administrator.
Lena Maryana Mukti: Saya belum secara gamblang mengatakan bahwa tuntutan kami awalnya adalah Perppu. Tapi untuk lebih realistis, harus dipersempit. Cukup jadi aturan. Di KPU sendiri, pecah. Ada yang mau Perppu, ada yang mau aturan. Dari ferivikasi parpol saja sudah salah. Padahal dengan UU Pemilu pasal 222, payung hukum untuk KPU sudah jelas, lembaga independen. UU Pemilu 10/2008 beda banget dengan UU Pemilu 12/2004. Antar caleg saingan (killing each other) dengan adanya suara terbanyak. Pimpinan Parpol dan elit politik menerjemahkan demokrasi secara sempit. Hampir semua ketua fraksi sudah menolak.
Ani Soetjipto: Ini adalah tantangan riil untuk pejuang gerakan perempuan. Publik tidak anti terhadap caleg perempuan. Tapi apa yang bisa dibawa oleh caleg perempuan untuk bisa perjuangkan konstituennya? Di LSM, perempuan solid dengan sistem solidaritasnya. Tapi bagaimana solidaritas di parpol? Masukan PSHK dan Fajrul masuk akal. Di Tempo edisi terbaru, KPU sudah men-drive cara contreng partai dan caleg sah dua-duanya (suaranya sama), dan tindakan afirmasi bagaimana supaya perempuan tidak “terjun bebas”.
Aisah Putri Budiatri (menanggapi Titi Sumbung): Apakah MK bisa digugat? Menurutnya lebih baik memilih jalur hukum daripada demo. Memilih Perppu kalau dari segi payung hukum, tapi kalau dari waktu dan lain-lain, pilih aturan KPU. Usulnya, tunggu sampai minggu ini. Dorong pemerintah keluarkan Perppu seperti janji KPU. Tapi kalau tidak terbukti, harus dorong untuk tuntut KPU.
Sheriseda Manaf (Caleg Partai Demokrat): Jangan lihat saya dari Demokrat, tapi lihat dari caleg perempuannya. Kuota 30% baru ada setelah SBY. Banyak caleg perempuan yang pengetahuannya masih kurang. Banyak caleg perempuan yang saya temui, yang merupakan caleg karbitan (cuma untuk penuhi kuota). Sebaiknya yang difokuskan sekarang adalah caleg perempuan bersatu dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menjaring konstituen, dan bagaimana menjaga suara perempuan supaya jangan sampai hilang.
Penutup
Moderator: WRI bersedia memfasilitasi tim kecil untuk melobi KPU. Untuk practical solution, 3:1 harus tetap didorong. Besok pertemuan di WRI untuk membahas berbagai hal yang mungkin dapat dilakukan.
Unduh presentasi Dialog Publik ini: