Current Project / Partisipasi Perempuan / Perempuan & Politik

Published: 07/06/2016

Permasalahan kebakaran hutan yang melanda Indonesia tiap tahun selama dua dekade terakhir tidak hanya menjadi sorotan dunia internasional, namun juga menjadi bencana yang menyebabkan deforestasi dalam skala besar. Peristiwa kebakaran hutan yang terjadi pada Maret 2014 di Provinsi Riau menjadi penyumbang titik api terbanyak, dengan empat kabupaten yakni Bengkalis, Rokan Hilir, Pelalawan, dan Siak sebagai penyumbang 52% titik api dari keseluruhan titik api di Indonesia. Peristiwa kebakaran tersebut tentu berdampak hebat kepada warga setempat yang tinggal di sekitar lokasi konsesi hutan yang mayoritas menjadi titik api. Seringkali dengan alasan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah Indonesia memberikan hak kelola kepada perusahaan-perusahaan besar swasta melalui pemberian izin kelola puluhan tahun (berkisar antara 20-55 tahun),  yang akhirnya justru merusak hutan dan tidak mengindahkan hak warga desa. Namun demikian, selama ini belum ada penelitian mengenai partisipasi publik dalam pengelolaan hutan dan proses konsesi hutan di Indonesia, terutama terkait dengan persoalan gender.

Berangkat dari permasalahan tersebut, Women Research Institute (WRI) bersama dengan World Resources Institute, serta sejumlah organisasi lokal melakukan sebuah penelitian mengenai partisipasi warga dalam proses konsesi hutan serta kebijakan pengelolaan hutan dengan kajian analisis gender. Tujuan dari program penelitian ini adalah untuk memetakan bentuk dan peluang partisipasi publik dan perspektif gender dalam proses pengelolaan hutan, terutama di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Aspek-aspek dalam tata kelola hutan yang diteliti secara spesifik adalah bidang konsesi hutan, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), rencana tata ruang, ketahanan pangan, dan penyelesaian konflik.
 
Partisipasi Publik dalam Pengelolaan Hutan

Letak geografis Kabupaten Siak yang strategis membuatnya memiliki sumber daya mineral dan sumber daya lahan yang berkontribusi besar bagi pembangunan daerah, diantaranya minyak dan gas bumi, serta lahan gambut yang potensial bagi perkebunan kelapa sawit. Selain itu, kawasan hutan produksi di Kabupaten Siak masuk ke dalam pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kabupaten Siak dan dimanfaatkan untuk kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seluas 495.000 hektar. Potensi yang dimiliki Kabupaten Siak menjadi alasan banyaknya perusahaan yang tertarik untuk berinvestasi. Hingga saat ini, perusahaan yang berinvestasi di Kabupaten Siak tercatat sebanyak 65 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan pengolahan sawit, pabrik kertas, kayu lapis, perkebunan, migas, dan manufaktur.

Desa Sungai Berbari dan Desa Dosan terletak di Kecamatan Pusako, Kabupaten Siak, Provinsi Riau menunjukkan bahwa struktur pembagian kerja berdasarkan peran tradisional gender di lokasi penelitian telah membuat banyak pihak tidak mengenali partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan.

 

Partisipasi Publik dalam Proses Perencanaan Tata Ruang

Hukum di Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 mengatur bahwa prosedur perencanaan tata ruang wajib melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan, perumusan konsepsi, serta pembahasan rencana tata ruang oleh pemangku kepentingan.

Perwakilan masyarakat umumnya hanya diundang untuk mendengarkan apa yang sudah menjadi keputusan pemerintah kabupaten dan perusahaan mengenai batas-batas lahan sesuai izin yang sudah dimiliki perusahaan. Masyarakat sama sekali tidak dilibatkan dalam proses musyawarah dalam penentuan batas-batas lahan tersebut. Padahal, pemerintah yang memiliki kewenangan dalam pemberian izin konsesi hutan seringkali tidak melakukan pemeriksaan situasi lapangan sebelumnya, dan hanya mendasari penetapan batas-batas lahan berdasarkan peta yang sudah ketinggalan zaman dan tidak menggambarkan situasi riil lahan saat ini.

Terkait partisipasi perempuan, pada umumnya keterlibatan perempuan di forum-forum desa di tataran publik cukup minim. Perempuan dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab mengurus kegiatan domestik sehingga kegiatan di tingkat publik, seperti musyawarah proses perencanaan tata ruang, dianggap bukan merupakan ranah mereka.

Wawancara dengan masyarakat di Desa Sungai Berbari menunjukkan bahwa sebetulnya ada upaya yang telah dilakukan untuk mendorong keterlibatan kaum perempuan dalam pertemuan desa. Namun sayangnya upaya itu kurang mendapat sambutan positif. Para ibu Warga Desa Sungai Berbari diundang untuk menghadiri pertemuan membahas rencana batas lahan tetapi biasanya hanya sedikit dari mereka yang hadir. Upaya lebih lanjut untuk mendorong partisipasi formal perempuan pun tidak dilakukan, sehingga umumnya para perempuan hanya akan hadir apabila laki-laki yang hadir tidak terlalu banyak.

Sedangkan di Desa Dosan, masyarakat umumnya menganggap bahwa pembahasan mengenai perencanaan tata ruang dalam pertemuan resmi bukan porsi yang harus dikerjakan oleh perempuan. Kuatnya kepercayaan bahwa laki-laki adalah ujung tombak dari keluarga, membuat perempuan sama sekali tidak dilibatkan dalam pertemuan desa yang membicarakan batas-batas lahan. Budaya di Desa Dosan “peran bapak itu menjemput yang jauh, mengangkat yang berat…” Sehingga, ketika ada upaya informal dari masyarakat untuk menyelesaikan konflik mengenai tata ruang dalam bentuk negosiasi dengan pihak perusahaan yang seringkali menyertakan aparat keamanan, warga desa yang perempuan pun tidak dilibatkan karena dinilai tidak aman.

Partisipasi Publik dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

Dasar hukum AMDAL yang sebetulnya merupakan prasyarat beroperasinya sebuah rencana usaha atau kegiatan pengelolaan lingkungan hidup ternyata tidak diketahui oleh masyarakat di kedua desa. Karena keputusan mengenai pemberian izin konsesi terhadap perusahaan dilakukan tanpa perundingan dengan masyarakat terlebih dahulu. Oleh karena AMDAL secara prosedural belum dijalankan di Desa Sungai Berbari dan Desa Dosan, dapat disimpulkan bahwa belum ada partisipasi masyarakat baik laki-laki maupun perempuan dalam hal proses AMDAL, baik secara formal maupun informal.

Partisipasi Publik dalam Resolusi Konflik

Terjadi kesenjangan antara kearifan lokal dan dokumen legal kepemilikan lahan. Berdasarkan tradisi, lahan sudah ada di desa sejak dahulu dan dapat dikelola secara turun-temurun berdasarkan kelompok kekerabatan atau keturunan keluarga. Untuk hak menggunakan lahan tidak diperlukan bukti surat kepemilikan tanah. Sementara, perusahaan mendapatkan surat izin dari pemerintah daerah, terlepas dari apakah perusahaan tersebut sudah melakukan proses pengurusan sesuai dengan yang disyaratkan oleh undang-undang dan kebijakan. Disinilah muasal sengketa terjadi yang kemudian apabila tidak diselesaikan akan mengalami eskalasi dan memunculkan konflik.

Partisipasi Publik dalam Ketahanan Pangan

Hadirnya perusahaan-perusahaan di Desa Sungai Berbari dan Desa Dosan membatasi akses masyarakat desa terhadap lahan perkebunannya, yang mengakibatkan mereka tidak mampu mengolah lahan untuk menanam tumbuhan seperti palawaija dan jahe. Lebih lanjut lagi, mereka ‘terpaksa’ menerima satu atau dua jenis bibit tanaman seperti sawit dan karet, yang merupakan jenis tanaman jangka panjang. Masyarakat desa menyatakan bahwa peran pemerintah sangat penting untuk membantu menyediakan bibit tumbuhan alternatif sebagai solusi atas permasalahan tersebut. Di sisi lain, perwakilan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Siak menyatakan bahwa pemerintah telah menyediakan bibit pohon berupa tanaman hutan dan tanaman buah kepada warga. Namun masyarakat desa tidak tahu-menahu mengenai program tersebut.

Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat di kedua desa tersebut menunjukkan bahwa perempuan sangat terlibat dalam kegiatan penyediaan pangan bagi keluarga. Data mengenai Profil Akses dan Kontrol Warga Desa Dosan dan Sungai Berbari terhadap Sumber Daya menunjukkan sebanyak 55% perempuan melakukan berbagai aktivitas dalam pengelolaan produk hutan non-kayu seperti madu, jamur, obat-obatan dan buah-buahan. Secara umum, masyarakat perempuan lebih banyak berpartisipasi dalam kerja reproduksi (domestik). Namun, perempuan juga cukup aktif terlibat dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup, sebagaimana terlihat dalam persentase kegiatan kerja produksi antara laki-laki (47%) dan perempuan (44%).

Permasalahan terkait Pengelolaan Hutan

Terdapat tiga permasalahan utama yang diakibatkan oleh konsesi hutan dan perkebunan di Kabupaten Siak:

•    Infrastruktur
Di Desa Sungai Berbari yang terletak sekitar satu jam dari Kota Siak, kondisi infrastrukturnya, terutama kondisi jalan, rusak parah dan berdebu karena dilewati banyak kendaraan berat milik perusahaan-perusahaan yang beroperasi di desa tersebut. Perusahaan umumnya mengingkari komitmen untuk menyiram jalanan utama yang dilalui oleh truk-truk pengangkut milik perusahaan sebanyak dua kali sehari. Akibatnya, polusi debu yang timbul akibat keringnya tanah dan sumber air di desa tersebut, berdampak pada kesehatan dan menimbulkan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada masyarakat terutama pada anak-anak.

Meskipun kondisi infrastruktur dan pembangunan di Desa Dosan lebih baik dibandingkan dengan Desa Sungai Berbari, namun masyarakat juga mengalami permasalahan serupa dengan perusahaan, yang mengingkari janji untuk membangun sumur bor dan membuat jalan alternatif ke Desa Dosan. Namun ketika masyarakat desa mendatangi perusahaan untuk bernegosiasi, mereka tidak diacuhkan, dan justru dihadang oleh aparat keamanan serta anjing penjaga milik perusahaan.

•    Lingkungan Hidup
Kondisi lingkungan hidup di Desa Sungai Berbari dan Desa Dosan sangat buruk, tidak tersedianya air bersih maupun kualitas dan suhu udara yang kotor. Air dari sumur bor di rumah-rumah masyarakat sangat keruh, berwarna kuning kecoklatan dan berbau besi. Sedangkan air sungai telah tercemari limbah pabrik kertas, yang mengakibatkan penurunan drastis jumlah ikan yang biasanya dipancing atau dijaring oleh masyarakat. Di sisi lain, warga terpaksa tetap mengonsumsi ikan yang telah tercemar oleh air limbah tersebut, sehingga berpotensi menghadapi ancaman kesehatan.

Pembakaran lahan dan hutan juga masih menjadi permasalahan utama di Desa Sungai Berbari dan Desa Dosan. Sejatinya pembakaran dilakukan oleh perusahaan maupun masyarakat setempat sebagai cara yang mudah dan murah untuk membuka lahan perkebunan, namun pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam skala kecil dan masih dapat dikontrol. Sementara pembakaran lahan oleh perusahaan dalam skala yang sangat luas dan tidak bisa atau sulit untuk dikontrol.

Banyaknya kebakaran hutan dan lahan menyebabkan suhu udara yang panas, kondisi debu yang sangat parah, serta menurunnya kualitas kesehatan masyarakat akibat gangguan kesehatan seperti sesak nafas, batuk, dan sebagainya. Budidaya kelapa sawit yang menjadi sumber pemasukan utama mayoritas masyarakat di Desa Sungai Berbari juga menyebabkan kondisi daerah menjadi sangat kering dan panas, serta tanah menjadi tercemar oleh pupuk kelapa sawit sehingga tidak dapat ditanami tumbuhan lain.

•    Kesejahteraan Masyarakat
Permasalahan utama kesejahteraan masyarakat di kedua desa adalah kebun kelapa sawit menjadi komoditas utama serta mata pencaharian mayoritas masyarakat. Sehingga, penghasilan masyarakat dari hasil kelapa sawit juga tergantung dari harga jual kelapa sawit dan komoditas lainnya pada saat itu. Penentuan harga sepenuhnya ditentukan oleh Tauke  (pemborong sawit) yang membeli hasil kelapa sawit dari kebun warga. Sementara itu, warga tidak memiliki kekuasaan untuk melakukan negosiasi harga sehingga mereka terpaksa mengikuti aturan harga jual tersebut.

Meskipun penghasilan masyarakat dari kebun sawit mereka terbilang cukup besar, namun masyarakat mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, misalnya untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar genset, membeli air bersih untuk keperluan meminum dan memasak sehari-hari, serta memenuhi kebutuhan pokok yang harganya terbilang cukup mahal.

Studi Kasus Partisipasi Publik dari Perspektif Gender

Penting untuk mencatat bahwa perempuan aktif berpartisipasi dalam berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi keluarga maupun masyarakat secara umum, baik di bidang ketahanan pangan maupun penanganan konflik dengan perusahaan.

Dalam mengatasi permasalahan minimnya akses masyarakat pada lahan perkebunan, para perempuan di Desa Sungai Berbari dengan dampingan LSM setempat berusaha mengelola lahan desa dengan menanam jahe. Selain juga membentuk koperasi simpan pinjam untuk perempuan, meskipun program ini tidak berjalan lancar.

Terkait resolusi konflik, di Desa Sungai Berbari, tiap musim kemarau para ibu melakukan protes kepada perusahaan untuk menuntut perusahaan memenuhi kesepakatan menyiram jalan-jalan utama sebanyak dua kali sehari untuk mengurangi polusi udara dan debu. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membuka komunikasi dengan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di desa tersebut. Kelompok ibu-ibu melakukan pemblokiran jalan di jalur-jalur yang biasanya dilewati kendaraan-kendaraan perusahaan, salah satunya memblokir persimpangan jalan menuju daerah Darat di KM 25. Mereka menutup jalan dengan batang-batang kayu yang besar dengan bantuan bapak-bapak di desa tersebut. Upaya ini cukup membuahkan hasil, karena perusahaan kemudian memenuhi tuntutan masyarakat. Namun setelah beberapa lama, hal ini akan berhenti dilakukan sehingga masyarakat terpaksa kembali melakukan penutupan jalan. Tindakan ini tentu tidak dapat diremehkan begitu saja, karena apa yang dilakukan kelompok ibu-ibu ini merupakan upaya untuk merespon permasalahan yang mereka hadapi bahkan untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut.

 

*  Tulisan dibuat berdasarkan rangkuman laporan kegiatan “Gender dan Konsesi Hutan Menuju Transparansi & Partisipasi Lebih Luas,” Studi Kasus Kabupaten Pelalawan, Riau dan Desa Sungai Berbari dan Desa Dosan, Kabupaten Siak, Riau, kerjasama Women Research Institute dan World Resource Institute, 2014.