Current Project / Gerakan Perempuan / Kepemimpinan Perempuan

Published: 02/01/2013

Studi Kasus: Jakarta, Lampung, Sumatera Utara, Padang dan Lombok

 

Pada masa Orde Baru, dalam model pemerintahan Presiden Soeharto, pengendalian yang sangat ketat diberlakukan terhadap organisasi masyarakat sipil, termasuk organisasi perempuan. Gerakan perempuan dihancurkan secara sistematis dengan memberi stigma terhadap organisasi perempuan progresif seperti Gerakan Wanita Indonesia/Gerwani (Wieringa, 1999). Citra perempuan dalam wacana rezim Soeharto digambarkan pasrah dan patuh atas subordinasi yang dialaminya. Organisasi perempuan yang bisa berkembang pada periode pemerintahan Soeharto adalah organisasi yang difasilitasi oleh pemerintah (disebut Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) seperti Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), yang diciptakan untuk mendukung kebijakan pemerintah.

 

Pada tahun 1980-an, setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan dasawarsa perempuan yang menandai meningkatnya perhatian terhadap masalah-masalah perempuan, muncul bentuk baru dari gerakan perempuan yaitu organisasi non-pemerintah (ornop), dalam istilah pemerintah Indonesia juga dikenal sebagai LSM- seperti organisasi perempuan yang tumbuh di Jakarta, misalnya Kalyanamitra, yang mengkhususkan diri sebagai pusat informasi dan komunikasi perempuan; Solidaritas Perempuan, dengan fokus kerja sebagai pengorganisasi buruh migran; serta berbagai organisasi yang bekerja untuk isu kesehatan reproduksi, baik di Jakarta maupun di luar Jakarta, seperti Rifka Annisa di Yogyakarta. Pada periode yang bersamaan, kelompok intelektual di universitas mulai membangun Pusat Studi Wanita (PSW) sebagai salah satu elemen gerakan perempuan yang melakukan kajian ilmiah terhadap masalah-masalah perempuan. PSW pertama dibangun pada 1979 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia atas inisiatif beberapa pengajar.

 

Berakhirnya pemerintahan rezim militer Orde Baru pada 1998 ditandai dengan kekerasan massal dan konflik antar kelompok yang menewaskan ratusan orang, dan juga terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan. Puluhan perempuan jadi korban perkosaan dalam kerusuhan Mei tahun itu. Selain kekerasan yang kasat mata, rezim Orde Baru juga mewariskan ketidakpuasan terhadap pembangunan sosial yang terpusat baik secara geografis dan budaya di Jawa. Kelompok kelas menengah yang berpendidikan memiliki potensi menjadi kelompok kepentingan yang kritis, tetapi mereka punya banyak keterbatasan untuk berhubungan dengan kelas bawah. 

 

Kajian yang dilakukan oleh Harris, Stokke dan Tornquist (2004) menunjukkan bahwa banyak gerakan LSM di Indonesia maupun negara sedang berkembang lainnya, yang pada awalnya kekiri-kirian, lalu kemudian mengambil posisi gerakan di tingkat lokal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Secara bersamaan, gerakan populis yang didukung oleh World Bank yang mendukung proyek neo-liberal juga mengembangkan berbagai strategi politik yang bergerak di tingkat lokal. Mereka bergerak bersamaan dengan momentum desentralisasi politik di Indonesia, dengan mengusung nilai-nilai good governance.

Kedua bentuk gerakan tersebut secara bersamaan mempromosikan demokratisasi dengan berbagai strategi, masing-masing sesuai dengan agenda yang saling tumpang tindih. Gerakan perempuan yang juga di dukung oleh kekuatan global atau ekstra-lokal tersebut ikut andil pula mewarnai dinamika politik di tingkat lokal, dalam pengertian di tingkat kapubaten, provinsi bahkan nasional.

 

Di Asia Tenggara secara umum, termasuk di Indonesia secara khusus, kita temukan banyak kelompok LSM yang didanai oleh World Bank yang bekerja dengan menjalankan agenda neo-liberal seperti ‘good governance’ (Ungpakorn, 2003). Aktivitas World Bank pada dasarnya bukan hanya bergerak dalam menyuntikkan dana utang kepada pemerintah Indonesia, namun juga ikut aktif dalam mengembangkan proses-proses partisipasi masyarakat sipil untuk berpolitik dalam pembangunan (World Bank, 2000). Dalam konteks ini, World Bank melihat pentingnya peran LSM dalam proses pembangunan jangka panjang dan reformasi ekonomi di tingkat masyarakat, supaya itu tidak berlaku hanya di tingkat institusi ekonomi negara saja. Program seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), yang melibatkan kelompok organisasi Pekka (Perempuan Kepala Keluarga), adalah contoh nyata dari bergeraknya mekanisme ‘ekstra-lokal’ secara politik dalam mendorong terjadinya perubahan pola relasi kuasa di tingkat individual perempuan, keluarga dan masyarakat. Selain itu, World Bank bersama LSM yang ada di Indonesia, juga aktif dalam mempromosikan perlunya institusi publik yang menjalankan tatakelola pemerintahan yang efektif, transparan dan berakuntabilitas melalui pengawasan publik yang partisipatif.

 

Di dalam konteks desentralisasi, banyak pemerintahan di tingkat daerah yang masih bertahan dengan karakter tidak demokratis dalam mengelola pemerintahan daerah, baik itu dengan menghadirkan politik komunitarian, maupun dengan praktik kekuasaan yang sifatnya abusive. Kekuatan LSM juga mengkritisi praktik-praktik tersebut, namun belum banyak yang berubah — bahkan pemerintah pusat seringkali membiarkan hal itu terjadi. Studi yang dilakukan oleh Rodan, Hewison dan Robison (2006) menunjukkan bahwa keberadaan rezim seperti demikian sangat sulit untuk dilucuti menjadi demokratis karena di dalamnya terkait dengan pengaturan ekonomi, sosial dan kuasa politik yang mempertahankannya. LSM perempuan yang berhadapan dengan rezim seperti itu tentu saja memiliki strategi politik gerakan yang berbeda dengan yang dilakukan di daerah lainnya, dalam mendorong terjadinya perubahan ke arah memberi kesempatan bagi perempuan untuk memiliki akses ke ranah publik secara politis. Dalam konteks tersebut, gerakan sosial perempuan pun ikut andil dalam proses desentralisasi, melalui gerakan di bidang seperti anggaran partisipatif, pengarusutamaan perspektif gender dalam anggaran dan politik, gerakan anti-diskriminasi terhadap perempuan, dan gerakan sosial yang menaruh perhatian terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Mereka terlibat aktif dengan sumber-sumber ekstra-lokal, baik yang berkarakter mendukung proyek neo-liberal maupun yang mencurigainya. Hal ini menunjukkan Indonesia sebagai ranah dari pertarungan banyak kekuatan ekstra-lokal yang hendak mempengaruhinya, yang tentu saja mempengaruhi bentuk-bentuk relasi kuasa dan pola kekuasaan yang dipraktikkan, maupun yang mempengaruhi gerakan sosial perempuan tersebut.

 

Kajian dan penelitian tentang organisasi perempuan di Indonesia sebetulnya sudah cukup banyak dilakukan oleh akademisi dan aktivis perempuan, terutama mereka yang berasal dari luar Indonesia. Sebut saja Cora Vreede-de Stuers, Susan Blackburn dan Saskia Wieringa. De Stuers menitikberatkan diri pada kajian terhadap organisasi perempuan di Indonesia sejak masa kolonial Belanda, atau pada tahun 1920-an. Seiring dengan semangat Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928, Kongres Perempuan yang pertama diselenggarakan pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Sementara itu, Susan Blackburn dan Saskia Wieringa melanjutkan kajian mengenai gerakan perempuan di Indonesia dengan melihat bagaimana kegiatan organisasi perempuan sejak kurun 1920-an itu berlanjut pada 1965, dan situasinya pada masa awal Orde Baru.

 

Belum banyak kajian tentang organisasi perempuan dilakukan oleh pemikir perempuan Indonesia. Sukanti Soeryocondro, salah seorang aktivis dan akademisi perempuan Indonesia, adalah pionir dalam upaya mendata organisasi perempuan yang berkiprah dalam kegiatan mengatasi persoalan perempuan sejak tahun 1920-an. Bukunya, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, merupakan terbitan pertama yang menjadi klasik dan rujukan bagi pengetahuan mengenai gerakan perempuan di Indonesia. Belum terlalu banyak jumlah kajian atau penelitian yang diterbitkan, yang dilakukan oleh para aktivis dan pemikir Indonesia mengenai gerakan perempuan di Indonesia. Upaya yang telah diterbitkan sejauh ini lebih merupakan analisis spesifik mengenai isu tertentu, seperti program keluarga berencana, kebijakan pembangunan dan wajah gerakan perempuan pasca masa Orde Baru, atau pasca otoritarianisme di Indonesia. Hal yang menarik untuk ditengarai adalah kesepakatan yang diambil mengenai persoalan perempuan yang harus secara kolektif diatasi pada masa 1920-an, seperti masalah perkawinan, terutama poligami dan perceraian, masalah pendidikan, serta penghapusan perdagangan perempuan dan anak-anak. Masalah-masalah ini tampaknya sampai saat ini masih merupakan isu yang ditangani banyak organisasi perempuan di Indonesia.

 

Penelitian yang dilakukan Women Research Institute (WRI) merupakan upaya untuk memaparkan bukan saja organisasi perempuan dan kerjanya, tetapi juga gambaran mengenai kepemimpinan perempuan yang dianggap sesuai bagi organisasi perempuan di Indonesia. WRI memilih lima wilayah di Indonesia yang mewakili gambaran tentang upaya organisasi perempuan dalam mengatasi persoalan-persoalan perempuan di seputar kehidupan mereka. Selain itu, tentunya penelitian ini juga bertujuan untuk mendapat gambaran atas isu dan tantangan persoalan perempuan yang tengah, atau akan, dihadapi oleh organisasi perempuan.

 

Seperti yang telah disebutkan, studi tentang kepemimpinan perempuan, lebih spesifik lagi mengenai aspek “kepemimpinan feminis” di Indonesia pasca otoritarianisme, belum banyak dikaji dalam konteks peran mereka pada proses transformasi sosial yang lebih luas. Studi Srilata (2010) menawarkan analisis mengenai kepemimpinan perempuan dengan melihat inti yang terkandung di dalam kekuasaan, nilai, politik dan praktik, di mana kekuasaan memiliki sifat yang tampak, tersembunyi dan tidak tampak. Menurutnya, kekuasaan yang tampak melibatkan siapa yang terlibat dan siapa yang tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan publik. Kekuasaan yang tersembunyi dapat dilihat dari agenda setting dengan mengurai siapa yang mempengaruhi agenda tersebut, dan bisa disampaikan ketika agenda tersebut bekerja di tingkat public maupun private. Studi Srilata, yang juga membahas nilai dari kekuasaan itu, haruslah diletakkan dalam konteks di mana nilai itu berada. Jika kita meletakkan nilai kuasa itu sebagai berada dalam lingkungan kekuatan ‘ekstra-lokal’ dan lokal, maka nilai itu akan menuntun tindakan-tindakan yang juga ikut dipengaruhi oleh konteks tersebut. Jika demikian, aspek kuasa, yang memiliki dimensi ‘politik dan tujuan’ (politics and purpose) dalam transformasi sosial dari feminist leadership, juga akan bersinggungan dengan aspek konteks global dan lokal.

 

Proses transformasi sosial di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dilihat hanya dalam konteks yang sempit. Kita perlu melihatnya dalam konteks transformasi yang terkait dengan penguatan lokal dan pengaruh global. Penguatan lokal di Indonesia terkait dengan proses desentralisasi, dan penguatan global merupakan pengaruh politik dan ekonomi internasional di Indonesia. Dalam hal ini, aspek politik dan kultural dari globalisasi, maupun penguatan lokal yang terkait dengan proses ekonomi di satu sisi dan ke-kuasaan di lain pihak, merupakan kenyataan pasca-reformasi. Kondisi ini merupakan setting yang penting untuk melihat ‘transformational feminist leaderships’ (Srilata, 2010), seperti apa yang muncul dalam gerakan sosial untuk melakukan perubahan-perubahan sosial yang bermakna. Lebih lanjut, kita juga dapat melihat bagaimana kemampuan transformasional tersebut diterapkan dalam proses desentralisasi politik dan ekonomi di setiap kabupaten.

 

Kekuatan global ekonomi dan politik di Indonesia secara jelas telah memberi dampak terhadap desentralisasi kekuasaan Negara, dan tumbuhnya kekuatan non-Negara yang semakin kuat. Goetz (2009) melihat bahwa agenda good governance, yang diterapkan melalui desentralisasi, diharapkan mendorong terjadinya perbaikan terhadap pemahaman akan kebutuhan dan pemberian layanan yang baik, termasuk bagi perempuan. Agenda setting tersebut telah mendorong sejumlah organisasi perempuan non-pemerintah untuk masuk dalam aras kerja service provider. Selain itu, program seperti PNPM Mandiri juga disambut secara partisipatif oleh organisasi basis non-perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan partisipasi perempuan baik di tingkat nasional maupun lokal. Dalam konteks tersebut, tampak bahwa kekuatan ekstra-lokal dan lokal bersinergi memberikan ruang yang bermakna bagi perempuan untuk berorganisasi.

 

Pendekatan Srilata (2010) secara kritis menyajikan bagaimana kondisi kontekstual yang ada ikut mempengaruhi keseluruhan proses dan praktik dari kepemimpinan feminis yang transformasional. Organisasi perempuan non-pemerintah di lima wilayah penelitian menunjukkan adanya peran perempuan yang semakin menguat, meskipun kesetaraan gender secara substansi belum tercapai. Apa yang terjadi di lima wilayah penelitian menunjukkan bahwa peran organisasi perempuan telah mengafirmasi peran perempuan dalam skala tertentu, karena mereka secara institusional memiliki kemampuan untuk membangun organisasi berbasis perempuan. Hal ini penting, mengingat Goetz juga memiliki catatan bahwa tatakelola pemerintahan yang sensitif gender tidaklah dipecahkan melalui representasi maupun aksi afirmasi yang mendorong perempuan dalam politik, namun justru dalam reformasi institusional terhadap sektor publik. Artinya, implementasi kebijakan keadilsetaraan gender menuntut perbaikan kapasitas sektor publik. Akuntabilitas sektor publik dalam hal ini menjadi keniscayaan yang harus dilakukan. Jika dilihat dari studi yang dilakukan di lima wilayah, tampaknya peran perempuan dalam akuntabilitas sektor publik belum terjadi secara meluas. Organisasi perempuan non-pemerintah hanya memiliki akses dan kerjasama dalam penyelenggaraan kegiatan untuk perempuan. Mereka belum terlibat dalam proses penganggaran program pembangunan. Kalaupun mereka terlibat aktif, biasanya hanya dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).

 

Hasil penelitian di lima wilayah menunjukkan kesamaan dengan studi di tingkat lokal yang dilakukan oleh Kerkvliet dan Mojares (1991:11) di Filipina. Kajian tersebut menunjukkan bahwa komunitas lokal pada dasarnya tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi di tingkat nasional dan perkembangan dunia, namun juga mereka secara aktif merekondisikan diri mereka sendiri melalui keterlibatan sistem ‘ekstra-lokal’ (kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik dari luar kabupaten/kota, seperti ornop) yang muncul dalam berbagai bentuk gerakan masyarakat sipil. Organisasi-organisasi seperti Hapsari, Damar, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Totalitas, Jaringan Perempuan Usaha Kecil (Jarpuk), Solidaritas Perempuan dan lainnya menujukkan adanya interaksi mereka dengan sumber dana global. Ini adalah bagian dari proses transformasi sosial dalam gerakan perempuan di Indonesia. Di Indonesia, kita dapat melihat peranan organisasi masyarakat sipil dalam bentuk LSM perempuan di tingkat kabupaten/kota dengan berbagai kegiatan yang meliputi penelitian, pemberdayaan dan advokasi. Semua LSM tersebut didanai dengan uang dari kekuatan ekonomi global seperti The Ford Foundation, World Bank, The Asia Foundation, Tifa Foundation, Hivos, Partnership for Good Governance, Oxfam, Friedrich Ebert Stiftung, Friedrich Naumann Stiftung, dan sebagainya. Semua lembaga itu adalah kekuatan ekstra-lokal yang hadir di tingkat lokal dalam berbagai bentuk transformasi sosial, kultural maupun politik.

 

Dengan demikian, dinamika kuasa lokal, termasuk peran kepemimpinan perempuan, perlu dipahami dalam konteks yang luas melibatkan berbagai pihak dalam proses transformasi tersebut, sehingga agenda-agenda kuasa dan bentuk-bentuk kuasa yang dijalankannya dapat dipahami secara kontekstual. Studi dari Hines (2000), Harris, Stoke dan Tornquist (2004) dan Abdullah (2005), misalnya, pada dasarnya berangkat dari pemahaman yang menjelaskan bahwa globalisasi akan memberi dorongan terhadap perubahan relasi kekuasaan di tingkat politik seperti demokratisasi di tingkat institusional. Dalam hal ini, perubahan tersebut mengkondisikan nilai-nilai politik dan kultural (termasuk relasi gender), dan gerakan menuju proses-proses politik berubah menjadi semakin transparan. Lebih dari itu, Goetz (2009) juga yakin bahwa globalisasi memperluas alternatif kultural dan politikal bagi perempuan yang mendorong terwujudnya berbagai bentuk ruang partisipasi, yang sebelumnya jarang ditemukan. Hal ini tentu penting untuk dicatat. Namun perlu diingat bahwa hal itu juga ikut mendorong munculnya berbagai bentuk ‘respons lokal’. Respons tersebut termanifestasi melalui gerakan yang mungkin kontraproduktif terhadap terbukanya ruang bagi perempuan. Misalnya muncul dan berkembangnya gerakan yang bersifat komunitarian dan kultural seperti organisasi keagamaan dan berbagai peraturan daerah yang berbasis agama, seperti di Kota Padang, maupun kekuatan ulama lokal di Lombok.

 

Tulisan ini merupakan paparan mengenai kepemimpinan perempuan, bagian dari Penelitian Feminist Leaderships Pasca Negara Otoritarian Indonesia dalam Mempengaruhi Gerakan Sosial dan Korelasinya dengan Peningkatan Kesejahteraan Perempuan – Studi Kasus dari Lima Wilayah: Jakarta, Lampung, Sumatera Utara, Padang dan Lombok.

 

Penelitian ini mencoba melihat dan memahami bentuk-bentuk kuasa perempuan yang muncul dalam gerakan sosial, dan implikasi sosial, budaya dan politik, baik di tingkat individu, keluarga, kelompok masyarakat sipil maupun masyarakat secara umum. Serta faktor-faktor seperti ekonomi dan politik global maupun lokal, dan keterlibatan kekuatan ‘ekstra-lokal’ dan ‘respons lokal’ terhadap feminist leaderships di Indonesia pasca otoritarian. ***