Event / Seminar
Published: 02/01/2014
Banyak kemajuan di bidang kependudukan yang dicapai sejak Konferensi Internasional tentang Pembangunan dan Kependudukan atau ICPD di Kairo tahun 1994. Namun, tujuan ICPD, yakni pelayanan terkait hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif, masih jauh dari memadai. Jumlah pemuda di kawasan Asia Pasifik mencapai separuh populasi orang muda di dunia. Di Indonesia sendiri satu dari lima orang adalah mereka yang berusia antara 15 – 24 tahun atau sekitar 63 juta jiwa (33% penduduk Indonesia), namun kebijakan Indonesia dan agenda program belum terlalu memperhatikan remaja.
Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 memang sudah mengatur hak dan kewajiban akan pelayanan kesehatan, tanggung jawab pemerintah untuk penyediaan pelayanan kesehatan termasuk penyediaan sumber daya agar sektor kesehatan dapat memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Namun sayangnya kebijakan yang ada belum diterjemahkan ke dalam program konkrit untuk melayani kebutuhan reproduksi remaja. Selain itu, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang memberikan wewenang kepada perempuan berusia 16 tahun dan laki-laki berusia 19 tahun untuk menikah, juga harus ditinjau ulang. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyuburkan fenomena pernikahan usia dini dan berdampak pada meningkatnya kehamilan usia muda, dimana kondisi alat reproduksi belum berkembang maksimal sehingga meningkatkan resiko kehamilan yang berujung pada kematian ibu yang menyebabkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia terjadi pada usia ibu yang semakin muda. Data SDKI 2012 menunjukkan peningkatan AKI secara tajam di Indonesia yaitu mencapai 359/100.000 kelahiran hidup. Oleh karena itu, remaja dan pemuda Indonesia masih kurang siap untuk menghadapi tantangan kesehatan reproduksi dan tanggung jawab yang akan mereka hadapi ketika mereka memasuki tahun reproduksi mereka. Berangkat dari kondisi tersebut, Women Research Institute (WRI) merancang sebuah program untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan reproduksi untuk remaja.
Sebagai upaya untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan reproduksi (kespro) untuk remaja sekaligus dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Women Research Institute (WRI) mengadakan Seminar dan Diskusi Publik dengan tema “Hak Pendidikan Seks dan Kesehatan Reproduksi Remaja”. Seminar diadakan pada tanggal 18 Desember 2013 di Hotel Grand Kemang, Jakarta.
Tujuan
- Mengetahui kebijakan dan program yang dimiliki pemerintah untuk menjawab kebutuhan remaja, khususnya dalam hal pendidikan seks dan kesehatan reproduksi
- Mengetahui pandangan lembaga non pemerintahan tentang kondisi dan kebutuhan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi remaja
- Mengetahui pandangan remaja sebagai penerima manfaat pendidikan seks dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja
- Membangun jejaring kerja dengan kelompok remaja dan/atau membentuk kelompok remaja baru untuk memberikan pelayanan kesehatan reproduksi remaja, seperti pendidikan seks dan kesehatan reproduksi remaja.
Dalam seminar ini WRI menghadirkan empat orang pembicara yang berasal dari berbagai elemen yang terlibat dalam pemenuhan hak pendidikan seks dan kesehatan reproduksi remaja, yaitu:
-
Bapak Roy Tjiong, Sekjen Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
-
Bapak Taufik Rahman, Dinas Pendidikan Propinsi DKI Jakarta
-
Ibu Maria Ulfa, Komisioner Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
-
Faiqoh, Ketua Aliansi Remaja Independen (ARI)
Acara dibuka dengan pemutaran film WRI tentang hak kesehatan reproduksi bagi remaja melalui studi kasus kondisi kesehatan reproduksi remaja di Gunungkidul. Acara kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi dari para pembicara.
Secara umum, remaja membutuhkan pendidikan kesehatan reproduksi karena pada kenyataanya masih banyak pihak yang menganggap kesehatan reproduksi atau pendidikan seksual itu tabu untuk dibicarakan dan diajarkan. Hal ini membuat remaja malu untuk bertanya kepada pihak yang benar dan akibatnya malah lebih berbahaya. Data BPS tahun 2010 lebih dari 128.000 anak berusia 10-14 tahun pernah menikah. Tiga dari 10 remaja perempuan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Kekerasan baik kekerasan fisik maupun seksual juga lebih banyak terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah, sementara anak tidak memahami bagaimana mereka harus bersikap ketika seseorang berusaha melakukan pelecehan seksual kepada mereka.
Oleh karena itu pendidikan seksual sangat penting untuk diajarkan sedini mungkin. Selain orang tua, sekolah dan kelompok juga memiliki peran penting dalam memberikan pendidikan kespro bagi para siswa. Beberapa pihak yang dianggap bertanggung jawab dalam hal ini adalah guru BK, komite sekolah, kader kesehatan remaja, dan para siswa itu sendiri. Penting juga bagi sekolah untuk memasukkan tema ini ke dalam kurikulum pelajaran. Selain itu, stigma terhadap remaja yang ingin tahu soal kespro juga harus dihapuskan. Pendekatan lama yang hanya mengandalkan pendekatan moral dan agama pun sudah tidak bisa digunakan karena hanya akan membuat remaja semakin tertutup dan mencoba dengan cara mereka sendiri.
Untuk itu diperlukan upaya dari berbagai pihak untuk membantu menyebarluaskan pentingnya kespro bagi anak dan remaja. WRI menyadari pentingnya hal ini, seminar yang merupakan bagian dari program kerja WRI pun diadakan di Jakarta dan Bandung sebagai bentuk replikasi dari program yang lalu di Kabupaten Gunung Kidul, Jawa Tengah. Untuk mengetahui lebih lengkap laporan dari seminar kali ini, silahkan unduh laporannya.
Unduh:
Laporan Seminar Kespro Remaja Jakarta 18 Desember 2013
Artikel terkait:
Program Advokasi Kesehatan Reproduksi Remaja di Jakarta dan Bandung 2013-2015
Seminar Hak Pendidikan Seks & Kesehatan Reproduksi Remaja Bandung