Diskusi / Event
Published: 11/02/2011
Saat kasus video porno Ariel Peterpan sedang marak di media, bagaiamana tanggapan feminis dan peserta diskusi mengenai hal tersebut? Pada diskusi kamisan kali ini tema yang diangkat adalah seksualitas dan hak privasi dengan melihat pada studi kasus Ariel Peterpan. Diskusi diadakan pada 10 Februari 2011 di Jakarta. Pembicara yang dihadirkan kali ini adalah Nursyahbani Katjasungkana, Pendiri Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Anggota DPR RI 2004-2009 Komisi Hukum, HAM dan Keamanan, Fraksi Kebangkitan Bangsa. Sedangkan moderator diskusi kali ini adalah Myra Diarsi dari Women Research Institute.
Seksualitas dan Hak Asasi Manusia
Seksualitas adalah aspek penting dari manusia sepanjang hidup dan mencakup seks, identitas gender dan peran, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan, keintiman dan reproduksi. Seksualitas juga merupakan pengalaman yang terekspresikan dalam pikiran, fantasi, keinginan, kepercayaan, attitude, nilai-nilai, perilaku, praktek-praktek, peran dan relasi. Sementara seksualitas mencakup semua dimensi tersebut diatas, tidak semua nya selalu dialami dan dapat diekpresikan WHO (2004).
Seksualitas sebagai bagian dari hak privasi, yang merupakan hak asasi yang diakui dalam Deklarasi Universal HAM 1948 serta mendapat perlindungan hukum melalui Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Namun demikian di dalam ketentuan hukum yang lain misalnya KUHP, Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Kesehatan, seksualitas masih merupakan hal yang sumir, abu-abu dan tidak dikenali sebagai adanya. Dengan perkataan lain, seksualitas sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas warga negara, “masih jauh panggang dari api“ dengan kewajiban negara menjamin, melindungi dan memenuhi hak-hak konstitusional warganya.
Pokok Bahasan:
- Seksualitas adalah aspek penting dari manusia sepanjang hidup dan mencakup seks, identitas gender dan peran, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan, keintiman dan reproduksi.
- Seksualitas perempuan sangat ditentukan oleh kekuatan dan kepentingan politik dan ekonomi kelompok dominan patriarki mainstream yang dikonstruksi dan terus-menerus direproduksi melalui pranata sosial seperti agama, budaya, lembaga pendidikan dan dipraktikan melalui produk-produk hukum kebijakan negara.
- Dominasi patriarki mengebiri hak perempuan untuk menentukan kedaulatan terhadap seksualitasnya. Hal ini terkait dengan adanya relasi kuasa yang timpang, yang mengunggulkan dominasi seksualitas laki-laki ketimbang seksualitas perempuan. Akibatnya laki-laki diberikan ‘previledge’ untuk menentukan seksualitasnya sendiri maupun seksualitas perempuan.
- Relasi yang timpang berdampak pada kuatnya konsep oposisi biner terhadap identitas seksual dalam masyarakat (laki-laki X perempuan). Akibatnya, oposisi biner membangun segregasi dua identitas seksual yang diakui oleh negara dan agama (sebagai laki-laki atau sebagai perempuan).
- Hak Privasi sebetulnya merupakan keseluruhan kepemilikan terhadap tubuh dan pikiran seseorang yang berdaulat dan berotonomi penuh untuk mempertahankannya, sejauh tidak merugikan dan melanggar hak orang lain. Namun hal ini tidak diakui oleh mainstream dominasi patriarkis. Akibatnya terjadi berbagai diskriminasi dan tindak kekerasan oleh kelompok dominan patriarkis terhadap kelompok perempuan dan/kelompok minoritas lainnya. Salah satunya yang paling nyata terlihat pada peristiwa penyerangan Ahmadiyah.
- Produk Hukum seperti KUHP, UU Perkawinan, UU Adminduk seluruhnya mengandung rumusan yang tidak netral gender, namun sebetulnya buta gender. Karena menegasikan adanya ketimpangan relasi kuasa antara dominasi maskulinitas laki-laki dan terhadap feminitas perempuan dalam realitas sosial, yang akhirnya abai dan bersifat diskriminatif terhadap posisi dan kedaulatan perempuan.
Ringkasan Presentasi:
- Seksualitas adalah hasil konstruksi sosial terhadap biologis dan gender yang menghasilkan orientasi seksual tertentu. Dalam perjalanannya, seksualitas sangat dipengaruhi oleh interaksi biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, budaya, etika, hukum, sejarah, agama dan faktor spiritual. Melalui sejarah dan budaya, seksualitas perempuan diakui dan diperlihatkan pada candi- candi, cerita-cerita dan legenda-legenda. Misalnya Candi Borobudur (pada bagian bawah candi ini menggambarkan mengenai seksualitas manusia) dan Candi Suko (di pelataran Candi tersebut terdapat relief vagina dengan ukuran yang sangat besar). Namun karena adanya dominasi patriarkis, simbol-simbol tersebut dieliminasi dan dibungkam dengan kepentingan supaya perempuan tidak dapat menentukan kedaulatan tubuhnya sendiri, dan tetap menjadi pihak yang termarjinalisasi.
- Di Indonesia, isu seksualitas sangat tertinggal dibandingkan dengan isu kesehatan reproduksi, meskipun seksualitas telah dibahas oleh para schollar dalam Hukum Internasional seperti Hasil Keputusan Kairo 1993. Isu seksualitas baru lima sampai sepuluh tahun terakhir menjadi public discourse, khususnya setelah Orde Baru berhasil ditumbangkan dan penyelewengan sejarah terkait dengan aktifitas Gerwani dan kaitannya terhadap peristiwa G 30 S/ PKI berhasil dibongkar. Oleh karena itu sepanjang sejarahnya, seksualitas adalah sites of political struggle, dimana kekuasaan patriarki sangat berpengaruh dan mendominasi dalam penentuannya.
- Hak seksual sangat ditentukan oleh kekuatan dan kepentingan politik atau ekonomi kelompok dominan. Contohnya kasus ‘Tarian Erotik Inul’, yang sempat menjadi sensasi karena mendapat bayaran tertinggi dari SCTV sebesar Rp. 1 Milyar, yang akhirnya membuat iri hati banyak penyanyi dangdut lainnya. Fenomena ini jelas menggambarkan bagaimana tubuh perempuan seringkali “diperebutkan” terutama oleh negara, agama dan industri.
- Seksualitas juga berhubungan erat dengan kemiskinan, sebab melalui produk hukum yang buta gender, konsep-konsep seksualitas laki-laki dan perempuan dibakukan dan cenderung menkonstruksi pengertian seksualitas perempuan sebagai barang yang dapat dimiliki dan diperjual-belikan oleh laki-laki. Akibatnya, perempuan sering menjadi objek seks laki-laki, yang ‘harga’-nya ditentukan oleh mereka. Antara lain terlihat melalui UU Perkawinan yang menganggap seksualitas perempuan ‘sah’ dipertukarkan melalui mahar perkawinan yang diberikan oleh calon suami. Dekatnya seksualitas dengan fungsi reproduksi perempuan, menimbulkan asumsi bahwa perempuan hanya layak berperan di ranah domestik. Selain itu dominasi patriarki dalam UU Perkawinan juga memberikan keuntungan lain berupa paternity rights, dimana ayah selalu bisa menyangkal keabsahan anaknya, mengenai apakah ia ayah dari anak yang dikandung oleh seorang perempuan. Padahal Yuriprudensi hukum menyebutkan bahwa ayah biologis harus tetap memberikan nafkah kepada anak biologisnya. Dominasi patriarki ini sangat merugikan, karena tidak mengakui perempuan sebagai seorang individu yang berdaulat untuk menentukan kebaikan bagi dirinya sendiri.
- Dominasi patriarki juga tercermin pada produk hukum lainnya seperti UU Adminduk yang menganut sistem oposisi biner. Komposisi keluarga yang diakui hanya hetero seksual, tidak mengakui adanya relasi seksual lainnya. Sebab di KTP hanya, mencantumkan identitas seksual, sebagai laki-laki atau perempuan. Tidak ada pengakuan identitas seksual sebagai Lesbian, Gay atau Transeksual.
- Dalam Hukum, KUHP pun mengadopsi seksualitas yang dipengaruhi oleh mainstream dominasi patriarkis. Homogenisasi penempatan dalam satu cluster tentang kejahatan kesusilaan menyamaratakan kejadian seperti perkosaan, perdagangan dan pelecehan seksual, hubungan seks dengan anak-anak, hubungan seks dengan orang yang pingsan dengan pembunuhan binatang dan perjudian. Ironisnya pengertian kesusilaan dalam KUHP hanya sebatas pada hubungan perkelaminan dan penetrasi penis ke vagina, yang akhirnya menempatkan tubuh perempuan sebagai simbol kesusilaan, moral sekaligus obyek seksual. Hal ini mengakibatkan kriminalisasi terhadap korban yang secara umum merupakan perempuan.
- Dalam menyikapi peristiwa penyerangan Ahmadiyah, agama bukan ranah yang tepat untuk dijadikan patokan penghakiman mana yang benar, mana yang salah. Karena agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan YME. Sikap negara harusnya melindungi, dan tidak berhak mengatakan ini sesat atau tidak sesat. Agama lain, mungkin bisa mengatakan sesat atau tidak sesat, tapi tidak boleh melakukan penghakiman, apalagi dengan kekerasan. Kalau mau mengubah mereka yang dianggap sesat, salah satu caranya adalah dengan dakwah, supaya mereka mau mengikuti (agama) mereka. Tapi dasar utamanya tidak boleh ada paksaan atau kekerasan.
Pertanyaan Kajian:
- Bagaimana membongkar sistem binari dan konstruksi sosial mainstream?
- Kenapa penting diskusi soal privasi?
- Sejauh mana Hak Privasi itu boleh dipertahankan?
- Mengapa orang takut ketika bicara mengenai seks dan seksualitas?
- Daya imun (daya kerentanan, daya ketahanan) ruang privat itu sampai di titik mana? Jika kita boleh kita bertahan apa batasannya?
- Apakah ketika agama dipolitisir, hak seksualitas dipolitisir, sebenarnya ada konflik kepentingan yang lebih mendasar yang terkait dengan kesejahteraan seseorang?
- Mengapa pressure sosial mampu membisukan hak privasi seseorang?
- Mengapa sekarang terjadi semacam ketidakberdayaan hukum (pengadilan yang tidak adil) dan ketidakberdayaan aparatur negara (polisi)?
- Mengapa Ahmadiyah baru sekarang dipermasalahkan? Padahal organisasi ini sudah diresmikan oleh pemerintah sejak tahun 1953, mempunyai landasan yang kuat dan berdasarkan hukum.
- Dimana ruang kita untuk membela hak warga negara dari kecenderungan sifat diskriminatif dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas patriarki?
Jawaban dan Tanggapan:
- Salah satu caranya antara lain dengan melakukan dekonstruksi sosial atas konsep-konsep moralitas dalam sistem hukum, tafsir kitab suci, counter discourse dan penghapusan berbagai praktik yang mendegradasikan kelompok-kelompok yang dianggap abnormal.
- Hak Privasi seseorang hanya dapat diintervensi manakala jika terjadi kekerasan dan diskriminasi. Dan korban kekerasan patut dilindungi oleh negara karena negara mempunyai kewajiban atau ‘State responsibility’.
- Hak Privasi adalah seluruhnya milik individu dan merupakan otonomi dan kedaulatan setiap individu (baik laki-laki maupun perempuan) untuk mempertahankan. Sejauh hal tersebut tidak terjadi diskriminasi, tidak ada kekerasan dan tidak mengganggu dan merugikan orang lain. Contoh yang paling nyata adalah kasus Luna Maya dan Ariel, yang sepenuhnya adalah privasi mereka.Itu merupakan ranah otonomi dan kedaulatan mereka karena dalam hubungan tersebut tidak terjadi diskriminasi dan kekerasan yang merugikan orang lain dan mereka melakukannya atas dasar suka sama suka. Jadi tidak bisa diintervensi atas nama apapun, termasuk moral atau agama.
- Sebab seks dan hak seksualitas selalu dibawa pada konsep oposisi biner baik dan buruk. Sehingga seolah-olah ada seks baik dan seks buruk, bukan dalam hal seks sehat. Seks ‘baik’ ini dipengaruhi oleh konstruksi sosial mengenai moralitas. Sehingga jika seseorang perilaku seksnya di klaim buruk, dibilang tidak punya moral.
- Batasannya adalah ketika tidak terjadi tindak kekerasan dan diskriminasi. Setiap orang harus menafsirkan moral dengan hati nurani dan moral yang tidak menghakimi dan melakukan tindak kekerasan terhadap seseorang. Namun kita tidak diperbolehkan menjadikan moral sebagai landasan hukum. Sebab moral adalah moral.
- Kesejahteraan adalah kunci untuk menghindari konflik dalam masyarakat. Kalau ada sumber daya ekonomi yang cukup, tidak akan ada konflik seperti sekarang ini. Konflik terjadi karena negara terus-menerus melanggengkan kebijakan yang sangat rasis dan gender diskriminatif yang diwarisi sejak jaman kolonial Belanda yang juga karena demi kepentingan tertentu mempolitisir agama dan hukum.
- Pressure sosial bisa membisukan hak privasi seseorang karena menggunakan moral sebagai landasan. Ketika moral sudah menjadi patokan, siapapun tidak berani berpendapat. Sebab ia akan berhadapan dengan kekuatan dominan patriarki yang mengkonstruksi moralitas mainstream dalam masyarakat. Seharusnya pelanggaran moral tidak bisa menjadi urusan hukum, moral seseorang adalah urusan dirinya dengan Tuhan.
- Hal tersebut terjadi karena adanya pressure sosial dan pressure massa yang mengakibatkan kelompok tertentu bisa dengan sesuka hatinya main hakim sendiri dan melakukan diskriminasi serta kekerasan. Kekuatan massa ini, tidak terukur dan tidak terkontrol ketika kejadian tindak kekerasan terjadi. Oleh karenanya seringkali polisi cenderung ‘membiarkan’ terjadinya diskriminasi dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, supaya mereka juga terhindar dari sasaran kekerasan.
- Distribusi resource Ahmadiyah jauh lebih baik dibandingkan dengan organisasi keagamaan yang lain, yang cenderung korup dan tidak memikirkan kesejahteraan umatnya. Sehingga menimbulkan kecemburuan sosial terhadap keberhasilan organisasi Ahmadiyah itu sendiri.
- Ruang perjuangan kita adalah dengan terus-menerus berupaya membongkar dan mendekonstruksi ulang pemikiran dan oposisi biner yang menghegemoni seksualitas perempuan. Mencoba merebut kembali kedaulatan tubuh, pikiran dan seksualitas perempuan itu sendiri.
Kesimpulan
Hak privasi hanya diakui when its related to male and hetero sexual. Perempuan dan kelompok minoritas lainnya harus berjuang untuk menentukan dan merebut haknya sendiri.