Editorial

Published: 06/02/2014

Hingga saat ini hanya ada sekitar 18 persen anggota parlemen perempuan di seluruh dunia. Padahal salah satu target penting Millenium Development Goals (MDGs) 2015 adalah keterwakilan kaum perempuan di parlemen. Target keterwakilan perempuan di parlemen menjadi amat penting ketika perempuan menjadi subjek yang memiliki otoritas dalam pembuatan kebijakan, selain untuk memenuhi target MDGs juga target pembangunan lainnya.

 

Partisipasi perempuan dalam politik dan publik merupakan salah satu pre-existing conditions bagi demokrasi seutuhnya (Anne-Marie Goetz dan Shireen Hassim). Lebih jauh lagi, bila perempuan tampil sebagai pembuat kebijakan (policy maker) maka akan memberi kontribusi sangat besar pada kesetaraan gender dalam kehidupan demokrasi. Pentingnya meningkatkan representasi perempuan karena pengalaman dan kepentingan perempuan berbeda dengan laki-laki. Karena itu, dibutuhkan adanya perubahan struktur politik untuk mengakomodasi perbedaan tersebut. Konstruksi biologis dan sosial perempuan yang berbeda adalah dua poin penting agar perempuan terwakili dalam ranah politik. Perempuan memiliki pengalaman dan kepentingan berbeda, bahkan bertentangan, dengan laki-laki yang tidak dapat sepenuhnya mewakili kepentingan perempuan. Oleh karenanya adalah penting mengkombinasi politics of presence dan politics of ideas (Anne Phillips, The Politics of Presence), perempuan harus hadir (present) dan memberi makna (influence) agar kebijakan-kebijakan yang dihasilkan parlemen menjadi responsif gender.

 

Selain dukungan organisasi perempuan atau masyarakat sipil, anggota DPR-RI perempuan juga harus gigih memperjuangkan kuota keterwakilan perempuan. Fungsi representasi anggota DPR-RI, baik individu maupun kolektif, memiliki cakupan dan dampak yang berbeda terhadap proses legislasi serta peningkatan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia.

 

Kesetaraan gender dapat dilihat dari kesempatan perempuan dalam mendorong kepentingan dan ekspektasi politik perempuan. Oleh karena jumlah perempuan di parlemen yang masih sangat terbatas, maka kemampuan untuk menyuarakan kepentingan perempuan pun menjadi terbatas. Artinya, jenis kelamin perempuan yang dinyatakan dengan kebijakan kuota menjadi penentu bagi terpenuhinya representasi perempuan. Urgensi untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan menemukan momentum dengan dicantumkannya jumlah perempuan dalam politik (parlemen) sebagai salah satu indikator dari poin pemberdayaan perempuan dalam tujuan MDGs.

 

Partisipasi politik perempuan yang rendah dan pelbagai kebijakan yang mendorong demokratisasi secara umum tampak kurang berdampak pada pencapaian hak-hak perempuan. Karena itu, diperlukan sebuah payung hukum atau kebijakan khusus tentang keadilan dan kesetaraan gender. DPR-RI mengambil inisiatif dengan mengusulkan Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional 2012. Inisiatif parlemen memajukan RUU KKG merupakan salah satu “investasi” dan terobosan sangat berarti bagi reformasi kebijakan di Indonesia. Kebijakan mengenai kesetaraan gender sangat dibutuhkan untuk menjamin perempuan Indonesia dapat memperjuangkan kepentingan dan kebutuhan perempuan.

 

Adanya RUU KKG diharapkan dapat mendorong terbentuknya pemahaman tentang kesetaraan gender mulai di tingkat keluarga, pemerintah, hingga masyarakat. RUU KKG juga akan mengukuhkan sistem dan mekanisme kesetaraan gender di seluruh lembaga negara melalui percepatan strategi pengarusutamaan gender, termasuk perumusan dan penerapan anggaran responsif gender. Selain itu Instansi dan masyarakat umum akan mengacu pada RUU KKG dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.***