Event / Launching Buku
Published: 15/05/2013
Women Research Institute (WRI) meluncurkan Jurnal Afirmasi edisi kedua hasil penelitian terbaru mengenai gerakan perempuan. Peluncuran jurnal yang dibarengi dengan diskusi dengan tema terkait ini diadakan pada 14 Mei 2013 di Jakarta. Jurnal ini mengupas bentuk-bentuk kuasa perempuan baik yang muncul dalam gerakan sosial dan implikasi sosial, budaya, dan politik baik di tingkat individu, keluarga, kelompok masyarakat sipil, maupun masyarakat secara umum. Jurnal ini mengupas bentuk-bentuk kuasa perempuan baik yang muncul dalam gerakan sosial dan implikasi sosial, budaya, dan politik baik di tingkat individu, keluarga, kelompok masyarakat sipil, maupun masyarakat secara umum. Studi ini juga membahas mengenai faktor-faktor seperti ekonomi dan politik global maupun lokal serta keterlibatan kekuatan ‘ekstra lokal’ dan ‘respon lokal’ serta pengaruhnya terhadap feminist leaderships pada beberapa organisasi perempuan di Jakarta, Lombok, Padang, Sumatera Utara dan Lampung. Penelitian ini juga bertujuan untuk mendapat gambaran atas isu dan tantangan persoalan perempuan yang tengah atau akan dihadapi oleh organisasi perempuan.
Studi tentang kepemimpinan perempuan, lebih spesifik lagi mengenai aspek “kepemimpinan feminis” di negara pasca otoritarian Indonesia, belum banyak dikaji dalam konteks peran mereka pada proses transformasi sosial yang lebih luas.
Hasil penelitian ini berupaya memaparkan bukan saja organisasi perempuan dan kerjanya, tetapi juga gambaran mengenai kepemimpinan perempuan yang dianggap sesuai bagi organisasi perempuan di Indonesia. WRI memilih lima wilayah di Indonesia yang mewakili gambaran tentang upaya organisasi perempuan dalam mengatasi persoalan-persoalan perempuan di seputar kehidupan mereka.
Acara ini bertujuan untuk memaparkan organisasi perempuan dan kerjanya, serta memberikan gambaran mengenai kepemimpinan perempuan yang sesuai dengan organisasi perempuan di Indonesia. Selain itu, dengan menyebarluaskan hasil penelitian ini dapat memberi gambaran bagaimana memperkuat organisasi dan kepemimpinan pada organisasi perempuan di Indonesia
Rocky Gerung, Pengajar Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, dan Chusnul Mar’iyah, pengajar Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan Aktifis Perempuan, menjadi pembicara dalam diskusi kali ini. Rocky membahas mengenai peran organisasi perempuan dalam gerakan demokrasi di Indonesia, sementara Chusnul Mar’iyah membahas mengenai perjalanan gerakan perempuan di Indonesia.
Proses Diskusi
Peluncuran Jurnal dan Diskusi dimulai pukul 14.00 WIB oleh Edriana Noerdin, Direktur Penelitian Women Research Institute (WRI). Acara dibuka dengan sambutan dari Sita Aripurnami, Direktur Eksekutif WRI yang menjelaskan secara singkat bahwa Jurnal Afirmasi edisi kedua ditulis berdasarkan penelitian tentang kepemimpinan dan organisasi perempuan di lima kota yaitu Jakarta, Deli Serdang, Padang, Lampung, dan Mataram dan didanai oleh Hivos. Berikut adalah proses diskusinya:
Debra H Yatim/Moderator
Diskusi ini untuk melihat hasil penelitian WRI yang dituliskan dalam jurnal afirmasi volume kedua. Apakah yang selama ini menjadi perjuangan gerakan perempuan Indonesia tidak sampai pada gerakan perempuan akar rumput sehingga terlihat gerakan perempuan seperti jalan di tempat. Pembicara dalam diskusi ini adalah Rocky Gerung, Dosen Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan Chusnul Mar’iyah, Dosen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Rocky Gerung
Apa yang sering diucapkan berkali-kali sebagai perjuangan gerakan perempuan tidak menghasilkan realitas. Demokrasi tidak mampu menghasilkan keadilan dalam distorsi perempuan, ini sebagai bagian dari kritik teoritis. Affirmative action dilakukan sekadar untuk mengisi apa yang dikatakan representasi yang memang dituntut oleh teori demokrasi abad 21.
Gerakan politik, identitas, kesadaran, semua ini merupakan alat untuk menunjukan tujuan yang bisa kita capai dengan masuk dalam sistem demokrasi. Politik perempuan adalah dimensi lain dari politik mainstreaming, sangat sulit diucapkan secara operasional ke gerakan perempuan akar rumput.
Chusnul Mar’iyah
Pelibatan perempuan dalam politik juga perlu dilihat bahwa konsep demokrasi yang kita ambil adalah liberal yang diadopsi dari Barat tanpa pernah memikirkan bahwa konsep yang kita gunakan adalah single identity. Sangat penting melihat pola recruitment perempuan yang dilibatkan dalam politik. Bagaimana kita mau memperbaiki sistem rekruitmen kalau pemimpin kita saja tidak mampu mencontohkan recruitmen yang terbuka untuk keterlibatan perempuan dalam politik.
Perjuangan perempuan di AS memerlukan 50 tahun untuk perempuan bisa menjadi pemilih dalam pemilu. Kita jauh lebih baik dan tidak perlu dipenjara seperti di Amerika. Indikator utama seorang warga negara adalah mereka yang memilih dan dipilih dalam pemilu, tetapi mereka wajib membayar pajak. Gerakan perempuan di AS dulu sampai tidak mau membayar pajak karena mereka tidak mendapat hak sebagai warga negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilu sehingga mereka dipanggil pemerintahnya, dipenjara, dan lain sebagainya.
Masyarakat Indonesia masih menganut paham kalau ada perempuan bodoh maka semua perempuan akan dianggap bodoh, sebaliknya ketika laki-laki bodoh maka hanya dirinya sebagai individu yang bodoh sedangkan laki-laki lainnya tidak bodoh.
Tahun 1980-an gerakan perempuan Indonesia sudah mulai menunjukan gerakannya walau masih sebatas menjawab practical need, belum strategic need.
Tanya Jawab
Ari Sunaryati
Saya orang lapangan di perburuhan, banyak pertanyaan tentang politik: bukankah politik itu kejam, mengapa kami diajarkan kekejaman? Ketika undang-undang mengatur bahwa anggota DPR berpendidikan serendahnya SMA artinya di SMA seharusnya ada pendidikan politik dan demokrasi sehingga siap kalau benar terpilih sebagai anggota DPR. Saya mengusulkan agar ada perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia agar bisa lebih mengerti politik. Dari segi ekonomi, pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada pabrik, bagaimana dengan ekonomi lokal di masyarakat, bagaimana cara membangun ekonomi masyarakat lokal.
Rocky Gerung
Plato mengatakan animal political (binatang yang berpolitik) jadi di atas binatang ada makhluk yang berpolitik yaitu manusia yaitu mengolah kemakmuran (keadilan). Ini yang tidak diperkenalkan oleh partai politik sehingga anggota partai dan anggota DPR merasa ketika mereka terlibat dalam politik adalah bagaimana menjadi rakus, partai politik pun tidak mengajarkan etik dalam politik. Politik adalah menduduki capaian utama untuk memikirkan manusia dari berbagai latar belakang.
Chusnul Mar’iyah
Bicara tentang pendidikan bukan hanya soal seklah tetapi juga dengan kehidupan di rumah, media, dll. Saya pernah ikut revisi kurikulum untuk anak-anak dan tidak pernah ada evaluator perempuan. Konsep yang diajarkan di kurikulum, perempuan di dapur dan laki-laki di ranah publik. Dengan WTO Indonesia menandatangani liberalisasi 12 sektor, termasuk pendidikan. UU PT ada hanya untuk menjamin asing untuk bisa terlibat dalam sistem pendidikan di Indonesia, karena adanya penandatanganan WTO tadi.
Marwah (Kowani)
Beranggotakan 87 organisasi perempuan. Kowani memiliki banyak kemajuan dengan memiliki pendidikan politik untuk perempuan. Kami memiliki upaya untuk penyiaran di televisi untuk fokus pada pembelaan kaum perempuan.
Seperti kita dulu sejak kecil, kalau hari Kartini, perempuan akan didandani kebaya dll, perjuangan ibu Kartini sudah melebihi ruang dan waktu yaitu membentuk kesejajaran antara perempuan dan laki-laki yang memang sudah diajarkan sejak Nabi Muahammad SAW. Laki-laki yang harusnya banyak mendapatkan pendidikan kesetaraan.
Rocky Gerung
Saya setiap menjelaskan selalu hal yang buruk untuk menjelaskan kekurangan yang dimiliki bukan kebaikan agar tidak terlalu narsis. Kowani, Ibu Dewi Motik secara verbal mengatakan “untuk apa 30%, itu menghina perempuan, contohnya saya bisa.” Ini menunjukkan ada konteks ketidakpahaman historis munculnya angka tersebut. Kita terlalu banyak bereaksi daripada berkontemplasi.
Anindira, IPB Bogor
Saya mendapat pencerahan bahwa kaum perempuan di negara ini memiliki segudang masalah. Saya berpikir jangan-jangan semua itu terjadi karena korban penerapan demokrasi? Apakah benar sistem demokrasi ini layak dipertahankan? Saya juga tergelitik dengan pernyataan Ibu Chusnul tentang syariat Islam memandang perempuan. Syariat Islam terlihat seolah tidak bisa menjadi solusi bagi masalah perempuan di Indonesia, mungkin karena Islam tidak pernah dianggap sebagai ideologi. Kita perlu juga mericek bagaimana pemahaman perempuan untuk menerima Islam sebagai ideologi.
Rocky Gerung
Demokrasi mengharamkan hierarki, sebaliknya agama tanpa hierarki seperti kehilangan daya magisnya. Hierarki kesolehan akan menentukan hierarki politik, sehingga mereka tidak compatible. Apakah kita ingin menjadi komunitas publik atau komunitas eksklusif? Agama ketika dijadikan ideologi tidak contestable. Semua dalil yang tidak bersedia dibantah sebaiknya dilarang untuk diungkapkan di depan publik. Sebagai contoh ketika ada ayat qur’an yang menjelaskan tentang keadilan harus mampu dituliskan dalam hukum konstitusi agar bisa menjadi pemahaman bagi masyarakat. Menurut saya ayat yang ada di langit adalah yang suci sedangkan kita hanya perlu membahas ayat konstitusi di bumi.
Chusnul Mar’iyah
Interpretasi syariat Islam hanya untuk masalah perempuan, bagaimana tentang ekonomi, militer dan pemerintahan. Mengapa tidak juga dimasukkan dalam urusan sosial lainnya karena tujuan hanya untuk memasukkan perempuan ke dalam batas-batas.
Titi Sumbung
Sejak berdirinya organisasi kami yang menjadi tujuan kami adalah gerakan perempuan sebagai bagian dari gerakan demokrasi Indonesia, tapi demokrasi yang kita maksud bukan demokrasi yang konseptual. Strategi selama ini salah, karena hanya perempuan yang dikejar-kejar untuk dilatih, dst seharusnya laki-laki juga harus diubah karena sekarang ini isunya mindset, dan saat ini hanya perempuan yang dituntut untuk berubah mindsetnya, laki-laki tidak. Perempuan bukan lagi harus banyak tahu tentang perubahan tapi perempuan harus mampu membuat sebuah perubahan. Hubungan sejajar perempuan dimulai dari keluarganya bukan di DPR, pendidikan politik dimulai ketika hubungan dan pola interaksi antara laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri. Laki-laki selalu dicurigai mau menyaingi, sebenarnya kita ingin berpartisipasi dimana banyak hal yang bisa dilakukan perempuan, tapi tidak bisa dilakukan laki-laki.
Rocky Gerung
Soal hak kita masih bisa mengandalkan ruang legislasi yang masih memperjuangkan itu dalam demokrasi. Tetapi mereka yang intoleran juga bisa menikmati. Bahwa ruang public tidak boleh dikuasai oleh doktrin final (misalnya agama). Contoh baru, pengalaman antar warga Negara dulu hanya dikenal heteroseksual maka Negara harus menjamin bagaimana Negara mampu menjamin hubungan heteroseksual. Ketika ada pengalaman homoseksual maka Negara harus mampu menjamin hak warga negaranya yang unik untuk bisa bebas melakukan interaksinya dengan aman.
Chusnul Mar’iyah
Jangan pernah mempermalukan gerakan perempuan ketika tidak memiliki pengetahuan tentang politik. Ketika menjadi anggota DPR harus tahu mau jadi apa dan akan berbuat apa di sana. Bahkan ada anggota DPR yang tidak paham bahasa, ketika dikatakan “kursi tidak sah dalam pemilu” tapi ketika menggunakan terminologi agama menjadi “kursi haram” baru mereka faham dan terdengar menakutkan. Di DPR kalau perempuan mau tunjuk tangan dalam rapat saja sudah ditertawakan karena dianggap tidak kompeten.
Debra Yatim
Saya sangat menganjurkan untuk membaca jurnal kedua afirmasi karena memberi pemikiran tentang kepemimpinan feminis di lima lokasi di Indonesia.***