Diskusi / Event
Published: 02/02/2012
Salah satu upaya untuk peningkatan keterwakilan perempuan adalah adanya peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan jaminan terhadap proses politik yang memastikan peningkatan keterwakilan perempuan pada tingkat yang diharapkan. Undang-Undang Partai Politik dan Pemilu adalah salah satu indikator yang sangat penting untuk menjamin peningkatan keterwakilan perempuan yang duduk di DPR. Undang-Undang (UU) Partai Politik dan Pemilu menjadi ukuran untuk melihat bagaimana respon negara terhadap indikator kesetaraan gender. Undang-Undang Pemilu dapat memberikan jaminan bagi perempuan untuk dapat mengikuti proses pencalonan sampai terpilihnya dalam pemilu.
Di Indonesia, sejak diberlakukannya pasal 65 Undang-Undang Pemilu No.12 Tahun 2003 tentang kuota perempuan 30% pada pemilu 2004 secara terus-menerus dibutuhkan penguatan terhadap UU tersebut dan evaluasi di setiap Pemilihan Umum (pemilu). UU Pemilu ini telah diubah menjadi UU No.8 Tahun 2008, dengan mencantumkan nomor urut 1 sampai 3 harus ada calon perempuan. Sementara UU No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum mencantumkan masalah kuota secara tegas telah diperbaiki dengan UU No.2 Tahun 2008.
Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut maka dalam pemilu 2004 dan 2009 terlihat peningkatan yang signifikan pada jumlah calon legislatif (caleg) perempuan, namun belum secara otomatis memberikan kesempatan kepada perempuan untuk terpilih dalam pemilu. Peningkatan jumlah keterwakilan perempuan menjadi sangat penting baik dalam kerangka peningkatan the politics of presence maupun dalam kerangka the politic of ideas (kebijakan kesejahteraan Ibu dan Anak serta keluarga) dari kepentingan perempuan sebagai mayoritas penduduk suatu negara.
Dalam menjalankan hak politik warga untuk peningkatan jumlah dan suara perempuan dalam pemilu 2014 yang akan datang, WRI ingin mendiskusikan hasil kajian mengenai RUU Pemilu. Kajian ini sebagai usulan sekaligus melakukan up-dating mengenai RUU Pemilu dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam pemilu 2014 dengan para pengambil keputusan di parlemen, seperti ketua Fraksi, pimpinan dan anggota Panja RUU Pemilu, perempuan anggota parlemen serta Sekjen dan departemen pemberdayaan perempuan partai politik.
Tujuan
- Berbagi pemikiran WRI mengenai Usulan Revisi UU Pemilu No. 10 Tahun 2008.
- Memfasilitasi partai politik (parpol) untuk menerapkan kuota 30% dan mendorong upaya partai politik meningkatkan partisipasi kader partai politik perempuan dalam pemilu 2014.
- Menggunakan forum diskusi ini untuk mengingatkan kembali tentang isu mengawal kuota perempuan agar keterwakilan perempuan semakin bertambah dalam Pemilu 2014.
Pembukaan
Sita Aripurnami (Direktur Eksekutif Women Research Institute)
Acara ini diselenggarakan Women Research Institute (WRI) bekerjasama dengan Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI). Sejak Desember kami sudah berhubungan dengan KPP-RI terkait revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. Kegiatan hari ini adalah buah pikir teman-teman yang akan kita diskusikan untuk memberikan masukan dalam revisi UU No.10 tahun 2008 sehingga UU Pemilu bisa lebih responsif terhadap kepentingan perempuan.
Andi Timo Pangerang (Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia)
KPP-RI telah melakukan diskusi dengan berbagai aktivis dan organisasi perempuan, termasuk WRI, sejak Januari 2011 telah membuat rumusan masukan untuk revisi UU No.10 tahun 2008. Tujuan acara hari ini adalah untuk menyampaikan rumusan tersebut kepada Panitia Khusus (Pansus) dan Panitia Kerja (Panja) yang bertugas merevisi UU No.10 tahun 2008 khususnya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen (di atas 18% minimal, atau bahkan sampai 30%).
Proses Diskusi
Setelah pembukaan dan perkenalan dilanjutkan dengan Sesi Pertama membahas perkembangan Revisi UU No.10 tahun 2008 oleh Panja serta masukan yang akan diberikan untuk Panja terkait keterlibatan perempuan di dunia politik, dengan pembicara: Nurul Arifin (Anggota Panja RUU Pemilu), Ganjar Pranowo (Anggota Panja RUU Pemilu), dan Chusnul Mar’iyah (Perwakilan WRI). Sesi pertama dimoderatori oleh Myra Diarsi (WRI).
SESI 1
Myra Diarsi (Women Research Institute):
Sesi ini dibuat untuk meminta update perkembangan dalam pembahasan UU No.10 tahun 2008 dari Ibu Nurul Arifin (Anggota Panja RUU Pemilu) dan Ibu Popong Otje Djundjunan (Anggota Pansus RUU Pemilu). Point-point apa yang harus dijaga dalam revisi UU tersebut dan bagaimana cara kita (masyarakat dan anggota DPR) mengawal pasal-pasal tersebut untuk dijaga dalam proses revisi UU No.10 tahun 2008.
Nurul Arifin (Anggota Panja RUU Pemilu, Fraksi Golkar-Anggota Komisi II DPR):
Nurul Arifin menyampaikan update revisi UU No.10 tahun 2008. Sampai hari ini masih dalam pembahasan, seperti mengenai Dapil dan kursi, model penghitungan suara, Parliamentary Treshold.
Parliamentary Treshold
PDIP dan Golkar masih bertahan: 5%; Demokrat: 4%, PPP: 3-3, 5%; PKS: 3-4%; Gerindra: terserah; PAN: terserah; PKB: 4% dan Hanura: belum
Besaran Kursi di Dapil
Kalau PT 4% maka kursi 3-10
Kalau PT 3% maka kursi 3-8
Sistem Pemilu
Tertutup: PPP, PKS;
Terbuka: Golkar, PAN, PKB, Hanura, Gerindra
PDIP: sebagian terbuka, sebagian tertutup
Model Perhitungan Suara
Semua sepakat habis di Dapil (tidak seperti sebelumnya yang dibawa ke propinsi), tapi masih berkutat bilangan pembagi, biasanya 100.000. Ada mekanisme lain yaitu Divisor D’hont: bilangan pembagi: Golkar (1, 2, 3, 4, dst), PKS (1, 3, 5, 7, 9, dst).
Tahapan Pemilu
Semua partai memiliki semangat untuk memperbaiki karena evaluasi pemilu sebelumnya yang tidak memuaskan banyak pihak. Semua partai bersama-sama sepakat bahwa UU ini harus selesai akhir Maret 2012 sehingga bisa menyediakan waktu lebih banyak dalam tahapan pemilu 2014.
Jika Maret selesai maka pelantikan KPU dilakukan Mei 2014 dan KPU membuat PP UU ini dan memilih KPU daerah serta melakukan Daftar Pemilih Pemilu. Jika ada kekurangan data Pemilih maka akan diambil dari Pilkada. Desember 2012 diusahakan akan selesai semua proses persiapan Pemilu.
Harapannya Januari 2013 sudah bisa dilakukan rekruitmen oleh Partai. Daftar Calon Suara akan diumumkan Maret-April 2013. Daftar Calon Pemilih (DCP) dilakukan Juli 2013. Oktober 2013 sudah pengumuman Caleg Daftar Pemilih Tetap (DPT). Hal ini akan berat karena jarak Pemilu masih enam bulan yang berarti masa kampanye akan enam bulan juga, ini akan menyulitkan caleg dengan keterbatasan (dana) untuk kampanye. Hal ini masih akan dibahas lebih lanjut dalam bahasan Panja pada pertemuan berikutnya. Disepakati April 2014 sebagai tanggal pelaksanaan Pemilu.
Pasal tentang perempuan sudah disampaikan di Panja namun belum dibahas, misal: (1) Kuota 30%, (2) No.1 dan No.2 beda jenis kelamin, (3) Sanksi, yang merupakan agenda paling sensitif dalam bahasan Panja.
Selain berhadapan dengan Pansus dan Panja tentang isu perempuan, juga berhadapan dengan Partai Politik. Harus ada keberanian dari kita (perempuan) untuk memperjuangkannya, baik di Partai maupun di Panja/Pansus (sampaikan pada perwakilan partainya di Pansus/Panja).
Myra Diarsi (Women Research Institute):
Apa yang disampaikan Mba Nurul Arifin akan menjadi pokok pikiran dalam pembahasan selanjutnya. Mengingat kuota 30% maka kita perlu mempersiapkan calon-calon perempuan untuk duduk dalam parlemen karena itu merupakan kendala yang sering digembar-gemborkan oleh Partai Politik.
Popong Otje Djundjunan (Anggota Pansus RUU Pemilu, Fraksi Golkar-Anggota Komisi X DPR):
Perempuan di Pansus ada tiga dan di Panja dua orang.
Tujuan kita bukan hanya 2014, harus berpikir jauh ke depan, pengalaman menunjukkan ada beberapa hal yang harus kita lakukan untuk sampai pada kuota 30% atau lebih:
- Upaya individu untuk meningkatkan kualitas diri di bidang politik, kenyataannya banyak perempuan masih alergi pada politik, khususnya untuk masuk dalam partai politik.
- Berusaha meningkatkan kesadaran Partai Politik, yang didominasi oleh laki-laki, untuk memperjuangkan keterlibatan perempuan. Selama sistem Pemilu masih menggunakan partai, mau tidak mau perempuan harus masuk ke dalam partai.
- Kebersamaan perempuan, baik partai maupun ormas untuk menjaga supaya persepsi perempuan tentang keterlibatan perempuan di parlemen sama.
Myra Diarsi (Women Research Institute):
Sesi pertama ini lebih dibatasi pada hal-hal normatif terkait revisi UU No.10 tahun 2008. Strategi persiapan perempuan dalam Partai Politik akan dibahas pada sesi ke-2.
Chusnul Mar’iyah (Women Research Institute):
Dapil, dengan menggunakan magnitude distric, semakin banyak dapil berakibat sedikit jumlah kursi Dapil. Pengaruh Dapil kecil dengan kursi kecil dengan keterlibatan perempuan adalah semakin sedikit jumlah kursi di Dapil maka perempuan akan sulit untuk menang di Dapil tersebut karena akan head to head dengan caleg laki-laki.
Usulan 30% tidak peduli kursi partai mana aja adalah logika kalau setiap partai mendapatkan kursi. Tapi ini perhitungannya berkaitan dengan konstituen ada dimana, dan basisnya dimana. Sebagian besar parpol basisnya menyebar kecuali, misalnya PKB basis masanya di NU banyak di Jawa Timur. Atau PDIP yang basisnya banyak di Jawa Tengah. Golkar banyak di Jawa Barat dan Luar Jawa. Anda harus perhatikan ini juga.
Andi Timo Pangerang (Partai Demokrat – Ketua KPP-RI):
Kita memang bisa banyak melihat masalah ini dari banyak sisi, termasuk pendapat Mba Chusnul tadi. Tapi kalau kita melihat Dapil kemarin ada 77 maka ada 77 kesempatan perempuan masuk, kalau misalnya menjadi 103 Dapil maka peluang masuk perempuan ada 103, artinya lebih besar.
Chusnul Mar’iyah (Women Research Institute):
Adalah khas cara berpikir partai besar, kalau mengikuti cara itu, yang kalah adalah partai kecil. Kita di sini sebagai Kaukus Perempuan, tolong berpikirnya untuk semua partai, kalau ada usulan partai ya silahkan saja dibawa ke Pansus atau Panja, bukan saat kita di Kaukus. Jangan hanya lihat 77 Dapil DPR tapi lihat juga 2057 Dapil untuk DPRD, dimana posisi perempuan?
Penempatan calon pada daftar urut nomor 1 dan nomor 2 harus berjenis kelamin berbeda. Mengenai sanki, sebaiknya menggunakan strategi insentif (diberikan pemerintah kepada partai politik yang menang dalam Pemilu), dengan menambah atau mengurangi insentif negara kepada partai, jika partai politik menaati pasal perempuan dan tidak menaatinya.
Tahapan Pemilu: Kampanye jangan terlalu lama (11 bulan di RUU) karena akan merugikan perempuan. Perhitungan hasil Pemilu, habis di Dapil. Penghitungan Tanggal: pakai metode hitung mundur bahwa 20 Oktober 2014 harus ada presiden baru, maka jadwal menyesuaikan: berapa lama Pemilihan Presiden (Pilpres) satu, berapa lama Pilpres dua, baru hitung berapa lama pemilihan caleg. Disesuaikan dengan Undang-Undang.
Parliamentary Treshold kelihatannya akan 4%, kalau di PKS sudah naik, Golkar dan Demokrat mau turun asal tertutup. Sebenarnya cara tertutup lebih menguntungkan perempuan karena “bertarungnya” hanya di Partai. Cuma, persoalannya maukah masyarakat sipil menerima sistem tertutup lagi?
Lihat jumlah perempuan di DPR, DPRD, dan DPD, perjuangan perempuan jangan hanya di DPR saja, sebaiknya DPRD dan DPD juga diperhatikan. Karena di Maluku memiliki anggota legislatif perempuan 30%. Dari 470 Kabupaten/Kota, 66 di antaranya hanya satu aleg perempuan.
Hal-hal terkait perempuan harus diperjuangkan oleh Nurul Arifin sebagai Anggota Panja RUU Pemilu karena jika di Panja hilang, maka di Tim Perumus (Timus) hilang dan tidak dapat dikembalikan. Kalau sudah sampai di Paripurna, tidak akan bisa ditambah, yang ada cuma bisa dikurang.
Ganjar Pranowo (Anggota Panja RUU Pemilu, Fraksi PDIP – Komisi II DPR):
Kondisi di Panja RUU Pemilu sebenarnya hanya mengulang bahasan sebelum-sebelumnya, keanehan RUU ini adalah DPR yang mengusulkan dan Pemerintah yang mengusulkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
Di DPR angka Parliamentary Treshold 2,5% datang tanpa ada yang bertanggung jawab siapa yang mengeluarkan usul (hanya karena usulan awal 2 dan 3% maka dipilih titik tengahnya 2,5%.
Yang sering dibahas adalah mengenai Parliamentary Treshold, Dapil, penghitungan suara, dan yang sering dikatakan “sudahlah nanti diselesaikan oleh dewa-dewa”. Dan Panja sering disibukkan membahas hal-hal teknis dalam Pemilu. Saya sering diingatkan agar jangan ada intervensi dan konsultasi dengan pihak luar dalam pembahasan Panja.
Penyusunan Peraturan Penyelenggara Pemilu: 3 bulan
Daftar pemilih: 7 bulan
Daftar peserta pemilu: 5 bulan
Pencalonan caleg: 3 bulan
Kampanye: 12 bulan
Pembahasan Panja masih pada hal-hal teknis, belum pada pembahasan isu krusial pasal-pasal UU Pemilu. Jika menggunakan cara terbuka maka tidak bisa menggunakan sistem tahun 2009. Jika terbuka, maka harus menggunakan sistem peradilan di pengadilan tinggi yang penting mudah, murah dan cepat.
Kalau ditanya ke anggota DPR/DPRD, apa yang disiapkan untuk pemilu selanjutnya, mereka cuma menjawab uang yang disiapkan, tinggal menentukan dibagikan kepada siapa. Kalau terbuka kasih ke rakyat, kalau tertutup kasih ke partai. Tidak peduli nomor urut berapa.
Usulan dari aktivis perempuan meminta agar jenis kelamin nomor 1 dan nomor 2 berjenis kelamin beda, yang lain kaget karena bingung mencari calon perempuannya kemana?
Ada yang berpendapat bahwa kalau pembagian suara sesuai dengan suara terbanyak, buat apa nomor urut? Tetap saja dibutuhkan karena pemilih cenderung memilih nomor 1 atau nomor 2 dalam pemilu. Hal yang aneh dalam Pemilu 2009 adalah sistem penghitungan suara ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yang seharusnya bukan kuasa MK menentukan hal tersebut. Prediksi saya, kalau ada tawaran nomor 1 dan nomor 2 maka akan sulit, tapi mari kita diskusikan tentang cara pembagian suara, apakah nomor urut atau suara terbanyak?
Sebenarnya sekaranglah saatnya para caleg menentukan ke partai mana mereka akan mendaftar, kalau mau pindah partai, sekarang saatnya. Bahan update daftar pemilih data digunakan data pemilu terakhir dari Departemen Dalam Negeri (Depdagri).
Ganjar Pranowo (Anggota Panja RUU Pemilu, Fraksi PDIP – Komisi II DPR):
Karena sekarang datanya dari pemerintah (Depdagri), mau tidak mau menggunakan data tersebut dan hari ini sudah siap. Maka hari ini sampai pada kesimpulan bahwa KPU mau pakai data yang mana? – disebabkan setiap hari banyak update data: yang 17 tahun bertambah, yang menikah bertambah – jadi sebenarnya time table enam bulan masih bisa diubah sesuai dengan data kepunyaan daftar pemilih KPU.
Diana Anwar (Partai Demokrat):
Menarik yang disampaikan Pak Ganjar Pranowo dan Mba Nurul Arifin. Tapi saya kurang sepakat Pak Ganjar Pranowo tentang sulitnya mencari caleg perempuan – terkait nomor 1 dan nomor 2 berjenis kelamin beda.
Berkali-kali saya sampaikan di Baleg bahwa ketakutan partai untuk mencari caleg perempuan tidak perlu dikhawatirkan.
Zulmiar Yanri (Partai Demokrat):
Menggunakan e-KTP untuk menentukan daftar pemilih harus kita ikuti. Kasus Tanah Merah adalah tugas DPR sebagai pengawas dalam Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan, yaitu dengan memperjuangkan mereka masuk ke dalam daftar pemilih. Karena hal ini pasti akan terjadi di banyak wilayah. Bukan dengan tidak menggunakan e-KTP.
Syafrida (Partai Amanat Nasional):
Masukan Mba Chusnul bahwa jangan hanya melihat 77 Dapil tetapi juga 2057 untuk DPRD. Kita harus memperjuangkan: mana yang lebih menguntungkan, terbuka atau tertutup. Saya sepakat sistem 3-10 karena menguntungkan perempuan. Kita ingin semua fraksi ikut berjuang di partainya agar mau memperjuangkan perempuan.
Ryan Megah Mandalawaty (Partai Demokrat):
Berdasarkan Jurnal Afirmasi hlm.85-88, saya kira tidak ada warna dalam memperjuangkan perempuan dalam parlemen. (Misal: PKB menang di Jatim dan PDIP di Jateng). Partai Demokrat bisa menang karena izin dari Allah, partai Demokrat tidak akan menang jika ada warna-warna tersebut. Dan terbukti Demokrat menang. Etika, bagaimana kita menjadi caleg dan membawa misi, tergantung dari peraturan yang ada.
Mestariyani Habie (Partai Gerindra – Komisi II DPR):
Mengenai kuota 30% kita harus memperjuangkan agar tetap ada dalam UU. Jika menggunakan sistem nomor urut, maka UU harus menjamin nomor 1 dan nomor 2 beda jenis kelamin. Jika menggunakan sistem suara terbanyak, UU harus menjamin bahwa parpol harus memasangkan 50% caleg di setiap Dapil dan partai harus mendorong keterlibatan perempuan. DPR harus mengatur kursi perempuan (dengan konsep resource sheet), misalnya: 156 kursi DPR harus perempuan dan dua kursi di dapil untuk perempuan.
Adjeng Ratna Suminar (Partai Demokrat – Komisi I DPR):
Mengenai sanksi saya setuju dengan Ibu Chusnul dengan memanfaatkan insentif mengingat dari pemilu sebelumnya bahwa penerapan sanksi tidak tegas. Biasanya waktu penyusunan daftar nama caleg perempuan, kenyataannya hanya akan ditertawakan dalam rapat jika mencalonkan daftar nama caleg perempuan di nomor 1 atau nomor 2.
Wiwin Burhani (Partai Demokrat):
Mengenai kuota 30%, sejatinya penduduk Indonesia 50% perempuan dan banyak kasus menyedihkan terkait perempuan sebagai korban. Seharusnya kuota 30% adalah mutlak. Karena Insyaallah perempuan akan amanah dan selalu ingat Tuhan.
Ati
Berkaitan dengan Sanksi, banyak partai yang menang dan punya banyak kursi dalam caleg padahal partai tersebut melanggar UU, mengenai kuota 30%. Jadi seandainya ada sanksi harus diterapkan secara tegas.
Chusnul Mar’iyah (Women Research Institute):
Peta Politik di Panja tentang nomor urut 1 dan 2 sampai saat ini belum dibahas, maka tugas kita mendekati Panja. Kalau di voting masih menang terbuka. Bagi perempuan, suara terbanyak sangat merugikan perempuan. Saya tidak setuju dengan suara terbanyak karena 50% pemilih hanya memilih partai. Sistem Pemilu di Rwanda yang menggunakan Triple Bullet yang menghasilkan 50% lebih parlemen adalah perempuan dan perjuangannya pasti akan sulit.
Mengenai Pemilih, dapat berkoordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), dia yang memegang database penduduk Indonesia. Waktu itu saya mengumpulkan database penduduk meniru Australia. Perbedaan dengan e-KTP terletak pada Kartu Keluarga (KK) dimana e-KTP menggunakan ilmu demografi yaitu penduduk akan punya KTP kalau sudah enam bulan menetap di sana.
- Jangan sampai pasal mengenai nomor 1 dan nomor 2 beda jenis kelamin hilang.
- Jangan sampai pasal mengenai nomor 1-3 hilang (sekurang-kurangnya berisi 1 caleg perempuan).
Ganjar Pranowo (Anggota Panja RUU Pemilu, Fraksi PDIP – Komisi II DPR):
Ketentuan komposisi perempuan yang sudah ada tidak akan berubah. Justru yang ada akan diusahakan berubah, misalnya nomor 1 dan nomor 2 beda jenis kelamin.
Di ruang rapat Panja, sama seperti biasa, sebagian besar tidak tertarik membahas isu perempuan. Faktanya di lapangan, yang kuat yang menang. Menurut saya, sistem nomor urut dan suara terbanyak bukan jadi masalah untuk caleg. Karena kalau ditanya ke caleg siapa musuh kalian? Jawabannya teman saya sendiri.
Kemungkinan Dapil akan nambah jadi 90 Dapil. Dan PDIP meng-update caleg perempuan untuk siap ngomong dan meyakinkan perempuan untuk duduk di parlemen.
Pasal 214 tidak pernah dibahas. Harusnya di tahun 2009, putusan MK direvisi dan Pemilu ditunda, tapi kenyataannya tidak. Kualitas filter partai-partai mana yang saat melakukan pencalegan, menyiapkan pengetahuan kader tentang politik? DPR bertugas mengawasi perundang-undangan dan memastikan rakyat memiliki hak pilih.
Chusnul Mar’iyah (Women Research Institute):
Sebaiknya boleh menggunakan data Depdagri dan dimutakhirkan dengan data KPU karena KPU punya data pemilih tambahan. Daerah memang memiliki data penduduk, maka kita akan memperjuangkan agar jangan menggunakan data Depdagri saja, tapi akan mengkompilasi dengan data daerah. Buat pasal peralihan untuk mengusulkan agar KPU memiliki kewenangan dalam penentuan daftar pemilih. Di Indonesia ada lima lembaga yang mempunyai data penduduk dengan perbedaan yang signifikan yaitu KPU, Depdagri, BPS dan pelaksana SUSENAS).
Masukan saya, untuk sistem pemilu harus ada turunan:
- Jika dipilih sistem terbuka, apa turunannnya dan apa turunan untuk sistem tertutup
- Nomor urut 1 dan 2 harus dipersiapkan
SESI 2
Dibuka oleh Edriana Noerdin (WRI). Pada sesi kedua ini membahas bagaimana Departemen Perempuan di Partai Politik untuk membuat strategi dalam mempersiapkan caleg perempuan sebelum duduk di kursi parlemen.
Edriana Noerdin (Women Research Institute):
Sebenarnya apa yang dihadapi oleh perempuan dalam politik di depan? Apa kekuatan dan kelemahan yang kita miliki untuk Pemilu 2014. Jangan sampai perjuangan di UU berhasil tapi parpol sendiri belum siap dengan daftar caleg perempuan.
Walaupun di ruangan ini kita berasal dari latar belakang partai berbeda, diharapkan kita mampu memperjuangkan tujuan yang sama yaitu keterlibatan perempuan dalam parlemen. Jangan sampai kualitas perempuan ditanyakan, tapi laki-laki tidak.
Sekarang ada PKS, Hanura, Gerindra, Demokrat. Sekarang masukan Ibu Andi Timo tentang upaya-upaya apa yang digunakan Demokrat untuk menjaring kader perempuannya.
Andi Timo Pangerang (Partai Demokrat – Ketua KPP-RI):
Kalau kita menginginkan nomor 1 dan nomor 2 beda jenis kelamin, maka kita harus mempersiapkan kader perempuan. Oleh karenanya Departemen Pemberdayaan Perempaun Partai, mulai sekarang lebih tekun mencari kader dengan mengedepankan sisterhood.
Kalau ada kasus, saya mengajak si A untuk masuk Demokrat tapi ternyata dia misalnya sudah di PKS, maka kami mencari perempuan lain. Yang terpenting perempuan bisa masuk dalam parpol, apapun partainya.
Kita merencanakan pendidikan dan pelatihan untuk kader perempuan. Dengan beberapa media seperti website dan majalah untuk mencari kader perempuan. Bukan persaingan, tapi mengedepankan sisterhood.
Banyak orang bilang cari kader yang potensial, sebenarnya kita hanya perlu mencari kader perempuan, siapapun. Masalah potensi dan lain sebagainya kita bahas kemudian, tugas partai untuk memberikan pendidikan dan pelatihan. Kalau memang nomor 1 dan nomor 2 beda jenis kelamin disepakati maka kita harus mempersiapkan minimal 50% caleg perempuan.
Sitaresmi S. Soekanto (Partai Keadilan Sejahtera):
Perempuan sebenarnya banyak aktif di partai, tapi lebih ke bidang pendidikan, dakwah, pengurus DPC, dan kegiatan sosial, mereka justru menghindari politik. Malah ada caleg perempuan yang minta diturunkan nomor urutnya karena khawatir terpilih. Mereka biasanya punya alasan proporsional agama (perempuan harus tawadhu, tidak bersaing, dll).
Hasil wawancara dengan organisasi di Turki Menunjukkan bahwa perempuan dan pemuda adalah motor penggerak kemenangan pertama. Masalah perempuan ada dua: Perempuan harus diberi peluang dan perempuan harus percaya diri.
Edriana Noerdin (Women Research Institute):
Menarik penjelasan Ibu Sita mengenai perempuan di PKS. Tapi kenapa perempuan PKS merasa harus tawadhu tapi laki-laki boleh.
Sitaresmi S. Soekanto (Partai Keadilan Sejahtera):
Sebenarnya masalahnya ada di culture. Perempuan mempercayakan pada laki-laki. Saya juga menekankan supaya perempuan lebih open minded, kalau pihak luar memfasilitasi, kenapa kita harus tidak siap?
Mardeti (Perwakilan Ibu Sumintari, Partai Hanura):
Hanura mempersiapkan strategi kesiapan perempuan di DPR, DPRD, dan DPD. Perempuan Hanura sudah membentuk organisasi cabang Hanura di seluruh Indonesia, dipimpin Ibu Rahma yang menjadi ketua di DPP nya. Waktu itu dijadikan Ex-officio bahwa pemimpin perempuan di partai akan diprioritaskan masuk dalam daftar caleg.
Setelah meyakinkan teman-teman perempuan, ternyata kader perempuan Hanura punya kendala budaya dan uang. Caleg perempuan tahun 2009 yang optimis mengeluarkan banyak uang ternyata tidak menang, mereka jadi kapok tidak mau jadi caleg lagi.
Edriana Noerdin (Women Research Institute):
Sebenarnya masalah uang menjadi kendala laki-laki dan perempuan, hanya saja laki-laki bisa menjadi mesin uang sedangkan perempuan tidak.
Agus Wanti (TA Gerindra, sekaligus perwakilan Solidaritas Perempuan)
Seharusnya jika pemerintah mau mendukung kebijakan perempuan dalam politik, seharusnya ada dukungan uang untuk pendanaan pendidikan politik untuk perempuan. Sebenarnya banyak potensi yang dimiliki perempuan untuk memobilisir suara, misalnya pengajian perempuan, dan organisasi perempuan lain yang banyak berkembang di masyarakat.
Edriana Noerdin (Women Research Institute):
Menghubungkan dengan usul sanksi dari Mba Chusnul bahwa pemberian insentif akan ditambah jika parpol mematuhi kuota 30%. Kalau bisa insentif tersebut digunakan untuk pemberdayaan perempuan di partai tersebut.
Siti Amaliyah (Partai Amanat Nasional):
Kalau di PAN sudah punya organisasi sayap perempuan. Tetapi di lapangan kendalanya perempuan kurang kreatif, misalnya mencari pasar suara. Caleg perempuan hanya mengandalkan majelis taklim. Padahal jika satu majelis taklim didatangi tiga caleg, akan menimbulkan kebingungan bagi pemilih. Bukan berarti mengabaikan yang ada tapi harus lebih kreatif mencari pasar suara.
Kendala kedua, adalah masalah kepercayaan antar perempuan masih kurang. Di manapun, bukan hanya Negara berkembang, perempuan memang kurang mendapatkan kepercayaan masyarakat termasuk perempuan lainnya. Menurut saya hal ini disebabkan karena budaya (perempuan hanya untuk ngurus anak) dan menilai banyak keterbatasan perempuan.
Edriana Noerdin (Women Research Institute):
Benar ya pendapat bahwa majelis taklim adalah pasar yang sexy untuk dituju menjadi pasar politik. WRI kebetulan juga melakukan penelitian kesehatan, kami menemukan organisasi perempuan seperti ada Posyandu, kenapa parpol ga ke Posyandu ya?
Siti Amaliyah (Partai Amanat Nasional):
Kalau majlis taklim kan ada ketuanya dan ada istilah sami’na wa’atho’na, kalau posyandu tidak.
Reni Marlinawati (Partai Persatuan Pembangunan):
Kendala utama PPP adalah mayoritas yang berkuasa di PPP adalah laki-laki yang sering meng-second layer-kan perempuan.
Sejak dulu basis masa PPP adalah pesantren dan alim ulama. Di pesantren lebih mudah memegang Nyai daripada Kyai karena biasanya perempuan itu lebih setia dan bisa dipegang kata-katanya. Mungkin ini yang menyebabkan kenapa majelis taklim jadi pasar yang sexy untuk didatangi.
Tapi komitmen perempuan sudah dibuktikan, dari seluruh partai yang memiliki pengurus perempuan sebanyak 30,5% adalah PPP. Mencari perempuan sampai 30% bukan hanya urusan caleg, tetapi juga upaya 30% yang jadi aleg nya.
Ryan Megah Mandalawaty (Partai Demokrat):
Betul sekali bahwa perjuangan kita di partai masih panjang. Bukan hanya selesai sampai di sini saja. Sehingga perempuan tidak hanya mampu berbicara tapi mampu melakukan sesuatu untuk negara. Selain itu, strategi pemenangan perempuan dalam pemilu juga perlu diperhatikan dan diperbaiki.
Wiwin Burhani (Partai Demokrat):
Pengalaman saya bahwa ibu-ibu majelis taklim cerdas juga. Bahwa ibu-ibu majelis taklim tidak hanya mengundang satu caleg saja.
Edriana Noerdin (Women Research Institute):
Banyak kendala yang ditemukan oleh caleg perempuan. Baik, kembali ke tujuan awal kita untuk memenuhi kuota perempuan minimal 30% yang dapat merekatkan kita sebagai perempuan.
Untuk mencari solusi, kita bisa menggunakan UU Pemilu sebagai jaminan untuk perempuan mendapatkan hak nya dalam parlemen. Di akhir sesi pertama tadi Pak Ganjar Pranowo juga sudah berkomitmen untuk memberikan kabar perkembangan di Panja.
Sekarang, apa sih yang bisa kita lakukan bersama untuk meningkatkan kekuatan perempuan dalam parlemen. Kita perlu tahu bahwa ternyata perempuan punya teman untuk berbincang apa saja dan kapan saja. Mungkin ada saran-saran kebersamaan perempuan ini akan dibawa kemana?
Andi Timo Pangerang (Partai Demokrat – Ketua KPP-RI):
Pertama kita akan membuat Milis. Kedua untuk yang hadir kalau bisa mencari tahu contact person perempuan-perempuan yang ada di partai lain. Ketiga, updating data dengan menjaga komunikasi untuk mengetahui kegiatan kita selanjutnya. Misalnya kita bisa menggunakan BB Group sebagai sarana menjaga komunikasi.
Edriana Noerdin (Women Research Institute):
Mungkin dengan banyak sarana di atas akan memudahkan kita bertemu dan berkumpul selain dalam forum seperti ini. Katanya pertemanan perempuan lebih khas, bisa kita ketemu pagi-pagi, ngobrol-ngobrol informal untuk berbagi informasi dan berbagi pengalaman untuk sesama perempuan. Cita-cita perempuan ini sangat mulia semoga dimudahkan untuk ke depannya.
Reni Marlinawati (Partai Persatuan Pembangunan):
Upaya kita harus terus meningkatkan kader perempuan karena pengurus partai perempuan 30% bukan hanya di pusat tapi sampai ke propinsi dan kabupaten. Mungkin untuk meningkatkannya bisa dengan meningkatkan perempuan dalam Lajnah, Badan pemenangan pemilu PPP yang bertugas memilih caleg yang masuk dalam daftar, misalnya kalau ketuanya laki-laki maka wakilnya adalah perempuan.
Bentuk inisiasi dan advokasi bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan politik dengan menyelipkan di agenda pendidikan sesuai kultur masyarakat. Misalnya untuk wilayah perempuan nelayan, kita memberikan pendidikan kelautan dan menyelipkan pendidikan politik untuk perempuan.
Komunikasi di antara kita juga harus dijaga agar koordinasi ke depannya lebih baik. Sejujurnya saya lebih merasa bebas berbicara di sini ketimbang di fraksi atau di partai mengingat banyak tekanan-tekanan dari laki-laki di forum lain. Kalau di fraksi hanya membahas masalah-masalah teknis, sedangkan masalah substansi akan di bawa ke tataran ketua partai (yang dominannya laki-laki).
Mardeti (Perwakilan Ibu Sumintari, Partai Hanura):
Supaya usaha kita bisa dinikmati perempuan di masa depan, janganlah kita menjadi perempuan yang terkungkung dalam partai. Bagaimana nasib perempuan non partai? Karena pengalaman saya sebagai dosen, kebanyakan mahasiswa yang saya ajar kebanyakan perempuan. Ternyata hal ini tidak sejalan dengan banyaknya keterlibatan perempuan dalam politik (apalagi partai politik). Bagaimana kalau WRI (yang bersifat netral) memberikan pendidikan politik untuk perempuan. Karena kalau partai yang memberikan mungkin akan terlalu banyak muatan politik partainya.
Edriana Noerdin (WRI):
Terimakasih untuk masukannya. Bagaimana tanggapan Bu Reni dan Bu Chusnul untuk memberikan kurikulum jika kami membuat pendidikan kurikulum?
Sitaresmi S. Soekanto (Partai Keadilan Sejahtera):
PKS saat ini ada tim 20 (di dalamnya ada satu perempuan di departemen perempuannya) yang bertugas menentukan caleg-caleg yang akan masuk dalam daftar calon. Saya usul kalau bisa masa penentuan caleg lebih banyak, karena menyangkut strategi partai dalam menentukan caleg dan dapilnya.
Edriana Noerdin (Women Research Institute):
PKS ini sangat unik, ketika kami mengadakan voter education di seluruh propinsi di Indonesia, perwakilan perempuan PKS selalu ada bahkan sampai Papua, kami sempat menaruh harapan banyak caleg perempuan yang maju dan duduk di kursi DPR. Tapi kenyataannya ternyata tidak linear, perempuan PKS tetap sedikit yang duduk dalam Perlemen.
Siti Amaliyah (Partai Amanat Nasional):
Perempuan bagaimanapun punya beban ganda, sebagai ibu rumah tangga pendidik untuk anak-anaknya. Kuota 30% ternyata kadang menjadi cemoohan di masyarakat karena perempuan jarang mau meningkatkan kapasitasnya sebelum masuk dalam politik, kebanyakan mereka hanya memenuhi kuota saja tanpa memandang diri untuk belajar lebih banyak.
Edriana Noerdin (Women Research Institute):
Kelucuan di masyarakat, perempuan sering ditanyakan kualitasnya, sedangkan laki-laki tidak. Padahal di UU hanya bilang lulus SMA.
Baiklah, hasil pertemuan kali ini akan kita realisasikan bersama upaya untuk meningkatkan kapasitas dan keterlibatan perempuan dalam parlemen.
Reni Marlinawati (Partai Persatuan Pembangunan):
Kalau masalah 30% caleg bisa kita capai, tapi masalah kendala dana untuk menjadikan perempuan aleg. Karena kebanyakan perempuan di DPR adalah anak pejabat, artis, dan perempuan-perempuan yang cukup banyak dukungan dana. Itu bukan hal muluk tapi realitas yang harus kita hadapi.
Andi Timo Pangerang (Partai Demokrat – Ketua KPP-RI):
Perempuan harus punya strategi, perempuan harus ada di dapil yang parpol punya basis masa di sana.
Reni Suwarso (Fisip Universitas Indonesia):
Menanggapi ibu Andi Timo, untuk sistem pemilu ada empat komponen. Ketika ibu bicara dapil maka itu merupakan salah satu komponen. Sehingga perempuan untuk masuk dalam parlemen bukan hanya 30% lagi. Mengenai fund raising, dll, itu adalah masalah lama.
Pada tahun 1999 UU sudah menentukan Dapil. Itu salah. Dapil tidak bisa ditentukan di awal karena harusnya menghitung penduduk dulu. Ketika perempuan mau berjuang, ada banyak cara, misalnya: jalur hukum dalam UU.
Jangan lupa tujuan kita bukan keterwakilan perempuan dalam parlemen, tetapi meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik di Indonesia. Kalau ternyata perempuan sudah 30% dalam parlemen, so what? Apakah dijamin kesehatan reproduksi dan pendidikan perempuan akan meningkat?
Edriana Noerdin (Women Research Institute):
Oke, terimakasih semua masukannya. Kita akan tentukan rencana ke depannya selanjutnya. Hasilnya akan kita tuliskan dan kita kirimkan ke Ibu Andi untuk disebarkan ke semua yang hadir tadi.***