Event / Seminar
Published: 11/03/2005
Otonomi daerah telah menciptakan ruang negosiasi yang membuat tata pemerintahan lokal menjadi lebih mungkin diakses oleh para pelakunya (stakeholders). Women Research Institute (WRI) melakukan dua tahap penelitian untuk melihat bagaimana dampak ruang negosiasi yang baru ini pada definisi peran gender dalam tata pemerintahan lokal. Peran gender ini, dalam pandangan kami, merupakan landasan bagi para pelaku dalam struktur tata pemerintahan lokal untuk merancang dan menerapkan berbagai agenda kebijakan. Penelitian kami pada tahap pertama menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintah lokal menggunakan definisi sesuai dengan yang dianjurkan oleh kebijakan pengarus-utamaan gender, akan tetapi tidak membuatnya menjadi program atau kebijakan konkret untuk menerapkan definisi gender yang baru ini. Karena itu dalam penelitian tahap kedua WRI membandingkan antara pengalaman perempuan dalam kehidupan sehari-hari dengan asumsi gender yang digunakan pemerintah daerah.
Data yang dikumpulkan selama penelitian tahap kedua ini menunjukkan bahwa pengalaman perempuan belum merupakan faktor penting yang menjadi bahan pertimbangan dalam pembuatan Peraturan Daerah. Perempuan belum mendapatkan manfaat layanan pemerintah secara optimal dan belum mendapatkan ruang yang cukup untuk menyatakan kebutuhan, gagasan mereka serta menujukkan potensi yang mereka miliki. Kekurangan ini, jika dibenahi, merupakan salah satu langkah penting untuk memperbaiki kualitas layanan pemerintahan lokal dan penerimaan manfaat oleh multi-pelaku, terutama perempuan, serta partisipasi mereka dalam penyelenggaraan tata pemerintahan lokal.
Tujuan Kegiatan
Diskusi ini bertujuan untuk menyebarluaskan hasil penelitian WRI, khususnya kepada organisasi rekan yang juga bergerak di bidang kajian gender, hak-hak perempuan dan kajian kebijakan. Diskusi dilakukan pada tanggal 9 Maret 2005 di Jakarta. Hasil penelitian WRI diharapkan bisa memberi tambahan informasi bagi para pekerja di bidang hak-hak perempuan dan kajian kebijakan.
Presentasi WRI
Dalam penelitian tahap kedua ini, WRI melihat beberapa permasalahan dalam tata pemerintahan daerah.
Kepemimpinan dan Partisipasi Perempuan dalam Struktur Politik Lokal
Permasalahan ini diangkat untuk melihat bagaimana praktik status perempuan sebagai warga negara dan bagian dari pelaku tata pemerintahan lokal. Secara nasional Indonesia membanggakan bahwa perempuan tidak pernah didiskriminasi hak politiknya sebagai warga negara dan telah mengikuti pemilihan umum sejak Indonesia merdeka. Akan tetapi jika dilihat lebih teliti, keterlibatan perempuan dalam politik baru mencakup haknya untuk memberikan suara atau diwakili dan bukan untuk mewakili. Jumlah pejabat perempuan dalam badan publik (legislatif dan eksekutif) sangat timpang dibandingkan jumlah pejabat laki-laki. Fakta ketimpangan jumlah pejabat publik laki-laki dan perempuan ini menunjukkan adanya ketimpangan kesempatan yang membatasi keterlibatan perempuan dalam ruang politik publik.
Argumentasi yang diajukan untuk menolak kenyataan bahwa perempuan hanya memiliki akses yang terbatas dalam ruang politik publik adalah bahwa tidak ada peraturan tertulis yang secara eksplisit menghambat partisipasi perempuan. Penelitian WRI menunjukkan bahwa meskipun pemerintah sudah menyertakan pertimbangan pengarus-utamaan gender dalam perencanaan pembangunannya, akan tetapi belum mengalokasikan cukup anggaran dan membuat cukup program untuk melaksanakan rencana ini. Usaha pemerintah untuk memperbaiki keadaan ini misalnya dengan mewajibkan 30% perwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif terhambat oleh kebiasaan diskriminatif terhadap perempuan yang berlaku dalam masyarakat. Kebiasaan yang diskriminatif ini menghalangi mayoritas perempuan untuk memperoleh pengetahuan tentang politik publik serta mendapatkan latihan yang cukup dalam pembuatan kebijakan publik. Kebiasaan ini berlaku sejak dalam keluarga hingga tingkat negara dan berbagai organisasi perempuan setempat berusaha menemukan cara untuk mengoreksi kebiasaan diskriminatif ini.
Kebijakan Publik dan Manfaatnya Bagi Perempuan
Partisipasi perempuan yang minim dalam tata pemerintahan lokal membuat kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan setempat belum mengakomodir kebutuhan perempuan. Masa perubahan struktur akibat Otonomi Daerah pun masih terus berlangsung sehingga para pembuat kebijakan lokal tidak bisa serta merta melaksanakan agenda barunya karena harus menunggu struktur yang baru. Perubahan ini membuat advokasi permasalahan perempuan di tingkat lokal mengalami kesulitan pada tahap identifikasi para pelaku yang berpotensi untuk turut bekerjasama dalam membuat dan melaksanakan agenda kebijakan baru yang lebih peka gender.
Meskipun demikian ada daerah yang telah berusaha menggunakan potensinya untuk menghasilkan peraturan daerah yang lebih peka gender. Salah satu contohnya adalah pembahasan yang terjadi di Kota Manado mengenai penerapan Perda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia terutama Perempuan dan Anak. Perda ini merupakan sebuah contoh kasus yang menarik untuk melihat bagaimana pemerintah daerah merespon kebutuhan gender dengan membuat kebijakan konkrit.
Pada umumnya kebijakan publik yang dibuat selama otonomi daerah diberlakukan, masih menggunakan asumsi gender Orde Baru yang menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Salah satu contoh yang paling jelas adalah bahwa pemerintah daerah tidak membuat peraturan yang berkaitan dengan kesehatan dan perlindungan pekerja perempuan, akan tetapi justru memasukkan perempuan yang bekerja malam hari sebagai target pemungutan retribusi.
Tujuan Penelitian
-
Melihat berbagai bentuk tindakan perempuan baik secara perorangan maupun berkelompok untuk mempengaruhi tata kelola daerahnya dalam masa otonomi daerah
-
Membandingkan tanggapan di tingkat lokal di 8 daerah terhadap bentuk-bentuk tindakan perempuan
-
Mengajukan rekomendasi berdasarkan hasil pengumpulan data analisa
Metode Penelitian
Wawancara dengan 10 kategori narasumber yang berbeda, laki-laki dan perempuan, yaitu badan eksekutif, legislatif, akademisi, NGO/ornop, ormas, akar rumput, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan pebisnis.
Penelitian Dokumen (Perda, buku, jurnal dan jenis publikasi lainnya)
-
Kritik terhadap Indikator Partisipasi Politik Perempuan dan Dikotomi Publik-Privat
-
Pemerintah membuka ruang partisipasi perempuan lebih luas dengan kuota 30%. Namun kuota ini hanya mengatur pencalonan perempuan dalam legislatif bukan pada hasil akhir komposisi dalam keanggotaan lembaga legislatif. Perempuan masih menghadapi banyak faktor yang menghambat untuk berpartisipasi, hal ini bersumber dari adanya pemahaman yang membedakan antara ruang privat dan publik, juga ideologi gender yang beroperasi dalam masyarakat. Hal ini pada akhirnya sangat berpengaruh pada perempuan dalam menentukan posisinya di ruang publik. Perempuan yang terlibat dalam ruang publik seringkali harus berperan ganda karena masih harus bertanggung jawab terhadap pekerjaan-pekerjaan domestik.
-
Nilai budaya, penafsiran agama yang kurang tepat seringkali menghambat partisipasi perempuan di ruang publik, hal ini nampak dalam peraturan di daerah. Contohnya di daerah Aceh yang menyebutkan secara jelas syarat pengangkatan seorang geucik yang harus mampu menjadi imam sholat.
Realitas Kepemimpinan di daerah penelitian WRI, ada 2 pendapat pro dan kontra:
-
Pendapat yang pro, didasarkan pada argumentasi bahwa pemimpin perempuan akan lebih peka terhadap permasalahan dan diharapkan mampu memperjuangkan kepentingan perempuan.
-
Pendapat yang kontra, didasarkan pada argumentasi:
-
Nilai-nilai agama yang ditafsirkan secara tekstual
-
Nilai budaya, dan pemahaman gender yang menghambat perempuan
-
Pemimpin perempuan tidak dengan sendirinya mampu memperjuangkan kepentingan perempuan.
Peran Perempuan dan Ruang Pengungkapan Kepentingannya
-
Perempuan dalam struktur pembuatan keputusan uraian tentang berbagai macam realitas peran yang dimainkan perempuan di daerah penelitian, berupa contoh kasus di kota Manado, kasus Bupati Kebumen, dan Bundo Kanduang di Solok.
-
Organisasi masyarakat sipil perempuan.
Uraian tentang perkembangan organisasi perempuan lokal sebagai kelanjutan dari gerakan demokratisasi pada tingkat nasional, setelah berakhirnya rezim pemerintahan orde baru tahun 1998. Pengaruh otonomi daerah secara signifikan tampak pada perubahan orientasi organisasi masyarakat sipil yang berafiliasi dengan pemerintah seperti PKK dan BKOW, misalnya di Manado. Ada organisasi yang berupaya menciptakan versi alternatif dari definisi dominan. Contoh: MISPI (Mitra Sejati Perempuan Indonesia-Aceh) yang membuat versi alternatif dari Qanun Syariah Islam NAD.
Ruang Komunal/Individual
Komunitas sebagai alternatif wadah untuk bertemu dan membicarakan persoalan sehari-hari tanpa harus mengubah kesibukan harian secara drastis. Contoh: peristiwa komunitas di Gianyar saat kesibukan adat.
Kegelisahan individual untuk menentang wacana yang berjalan di komunitas maupun keluarga diungkapkan oleh perempuan untuk menyebarkan diskursus alternatif di dalam keterbatasan ruang komunitas/keluarga dan sebagai langkah awal untuk menuju diskursus ruang publik.
WRI mengajukan penawaran alternatif sementara bagi partisipasi perempuan, yakni berupa politik koalisional, aliansi yang meluas dan melibatkan perempuan (bahkan mungkin melibatkan laki-laki) dari berbagai latar etnis, kelas dan ideologi untuk memajukan agenda bersama.
Pembahasan
Kebijakan Pelayanan Publik bagi Perempuan di Era Otonomi Daerah
Dalam 4 tahun ini kita hidup dalam era otonomi daerah, pertanyaannya apakah meningkatnya pelayanan publik ada hubungannya dengan otonomi daerah? Dalam konteks otonomi daerah ada 3 hal yang dapat diskusikan, sejauhmana otonomi daerah membuka peluang dalam peningkatan partisipasi pembuatan kebijakan di tingkat lokal. Sejauh ini ada anggapan atau asumsi yang kuat bahwa memang sejak munculnya UU No. 22 Tahun 1999, daerah dapat berupaya mengatur daerahnya secara mandiri, dapat lebih memikirkan kepentingan masyarakat daerahnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa di wilayah Jawa, sebagian Jawa, Sumatera ada peningkatan partisipasi dalam pembuatan kebijakan. Berkaitan dengan dinamika di tingkat lokal -ada NGO yang cukup hidup, ada peningkatan partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakannya. Tapi pada saat bersamaan di wilayah timur belum dijumpai peningkatan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan di tingkat lokal, bahkan sangat minim, contohnya di Beru belum ada skema kebijakan yang melibatkan masyarakat umum dalam pembuatan kebijakan publik.
Di Kalimantan Timur sudah ada upaya pelibatan publik sejak 2-3 tahun yang lalu, contohnya sosialisasi rancangan kebijakan melalui media setempat. Fenomena yang sama belum dapat ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur. Memang belum ada data yang spesifik kecuali kecenderungan yang bersifat umum. Pertanyaannya apakah pelibatan partisipasi publik akan meningkatkan peluang dalam pembuatan kebijakan publik yang lebih baik. Contohnya di Surabaya, masih minim kebijakan yang meningkatkan pelayanan publik, baru tahun keempat mulai nampak kebijakan yang meningkatkan pelayanan publik.
Ini nampak dalam konteks pemilihan pilkada, proses lokal mulai diambil alih oleh pemda, ada pembajakan proses demokratisasi dalam presos pemilihan pilkada, ada PP pedoman penyusunan anggota dewan, bagaimana menyeragamkan alat pemilihan bagi dewan di tingkat lokal yang realitanya berbeda baik dalam komposisi partainya, jumlahnya, juga kekuatan yang ada. PP No 25 Tahun 2004 tentang penyeragaman dewan -membuat dewan di masa depan lebih jinak -ada hubungannya dengan substansi dalam UU No 22 Tahun 1999: adanya kewajiban untuk berkonsultasi tentang kebijakan yang dibuat di tingkat daerah sebelum diketuk palu. Dampaknya adalah makin kecilnya peluang dewan untuk lebih memperhatikan kepentingan masyarakat daerahnya.
Sejauhmana sebenarnya pelayanan publik meningkat sejak kebijakan otonomi daerah dioperasikan tahun 2001. Temuan kebijakan peningkatan pelayanan publik-hanya justifikasi bahwa pemerintah lokal telah berpihak pada aspirasi dan kepentingan publik. Misalnya pelayanan satu atap dalam pelayanan publik. Ada yang bersifat formalitas saja, realitanya masih bertele-tele, masih panjang. Apakah memang ada peningkatan pelayanan publik bagi perempuan di era otonomi daerah. Di Kupang terlihat instansi yang bersifat pelayanan langsung pada masyarakat, misal kependudukan. Jumlah perempuan tinggi, sebaliknya di posisi lain perempuan rendah. Ini menunjukkan mainset birokrasi dalam memandang posisi perempuan. Karena itu dalam 5 tahun ke depan, peningkatan pelayanan publik masih akan menghadapi kendala yang cukup berat. Otonomi daerah makin menyempitkan peluang akomodasi perempuan dalam keterlibatannya dalam pembuatan kebijakan lokal.
Strategi Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) Melahirkan di Era Otonomi Daerah
AKI adalah kematian ibu yang terjadi dari masa hamil sampai 40 hari setelah dia melahirkan. AKI selama ini masih diabaikan oleh pemerintah, padahal ini adalah indikator apakah pemerintah punya perhatian pada kesehatan reproduksi perempuan. Sampai saat ini dari tahun ke tahun tidak ada penurunan angka yang signifikan pada angka AKI, karena belum ada program pemerintah yang jelas untuk menurunkannya. Program yang ada belum merinci bagaimana target dan bagaimana strategi mencapaiannya. 11,1% dari AKI akibat aborsi, maka strateginya adalah mengatasi kemiskinan, pendidikan yang rendah. Budaya juga berperan dalam mempengaruhi AKI ibu. Misal budaya makan: bapak dulu, anak baru ibu. Akibatnya ibu hanya dapat sisa, bahkan mungkin tidak kebagian, walaupun dia dalam keadaan hamil. Ada juga pengaruh nilai moral dan agama. Aborsi dianggap mengesahkan hubungan bebas, padahal aborsi juga dilakukan oleh pasangan yang menikah. Contohnya bagi Polwan tidak boleh punya anak 3 agar dapat mengikuti tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Antara peraturan dan data di lapangan tidak klop. Mestinya ada upaya untuk mengubah UU aborsi yang hanya boleh untuk alasan kesehatan, dan tidak memberikan peluang bagi siapapun untuk melakukan aborsi. Pada kasus pasangan dimana perempuan yang bekerja sedangkan yang laki-laki tidak, sementara ketentuan di tempat kerja melarang punya anak maka biasanya perempuan akan melakukan aborsi.
Di era otonomi daerah sebenarnya ada peluang untuk membuat peraturan yang lebih berpihak. Proses penggantian bupati yang cepat juga berpengaruh pada kesinambungan program yang telah ditetapkan guna menurunkan AKI, seringkali harus dikerjakan lagi dari awal. Faktor penyebab AKI di daerah satu dengan daerah lain tidak sama, baik secara pendidikan maupun tingkat ekonominya, moralitas, juga budayanya. Tidak bisa hanya berharap pada dinas kesehatan. Desentralisasi kesehatan belum termasuk kesehatan reproduksi, hanya kesehatan secara umum. Harapannya ada kerjasama antara LSM untuk mempengaruhi daerah agar mau mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada perempuan, khususnya pada kesehatan reproduksi perempuan.
UU No. 33 Tahun 1999, 7 ayatnya mengatur kesehatan reproduksi perempuan. Ada hak perempuan di dalamnya baik di tempat kerja, ada diskriminasi tentang upah, jarang ada perempuan diangkat sebagai pegawai tetap karena fungsi reproduksinya. Hal ini melanggar hak-hak asasi perempuan. Kita tidak bisa berharap pada pemerintah pusat, tapi justru harus dilakukan bersama-sama di daerah dan LSM-LSM yang ada. Agar di tahun 2015 target penurunan AKI bisa dicapai.
Dampak Otonomi Daerah terhadap Proses Demokratisasi di Indonesia, Sudahkah Melibatkan Partisipasi Perempuan?
Ada dua pandangan dalam menyikapi reformasi yang sedang berlangsung, ada perubahan fundamental. Di Indonesia ada yang menyebut demokrasinya sebagai demokrasi kaum penjahat. Dampak otonomi daerah, penting untuk dikaji melalui kajian atau penelitian empiris secara mendalam.
Melihat pelaporan penelitian WRI didapat kesimpulan ada perubahan tapi sedikit, masih ada diskriminasi terhadap perempuan. Ada 4 faktor yang mempengaruhi diskriminasi. Di banyak negara lain gelombang desentralisasi masih menghasilkan banyak masalah. Di Indonesia desentralisasi masih setengah hati, karena belum ada pelopor, pendorong bagi desentralisasi.
Nilai budaya (seperti kembali ke nagari), fundamental adat dan agama, warisan orde baru jadi faktor ke empat yang menghambat, dan menyebabkan diskriminasi pada perempuan. Perlu ada reformulasi ruang politik, agar perempuan bisa masuk dalam ruang politik. Bila perempuan tidak masuk dalam ruang politik maka harus ada ruang lain sebagai media untuk berpartisipasi dalam politik. Perlu adanya redefinisi peran negara -yang seharusnya harus melindungi mereka yang lemah.
Kesimpulan
-
Harus dilihat banyaknya AKI karena faktor kemiskinan dan juga faktor pendidikan. Kurangnya kesempatan bagi perempuan di segala lini.
-
Desentralisasi kesehatan belum termasuk kesehatan reproduksi, hanya kesehatan secara umum. Harapannya ada kerjasama antara LSM untuk mempengaruhi daerah agar mau mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada perempuan, khususnya pada kesehatan reproduksi perempuan.
-
Dari APBD kita dapat melihat konsistensi pemda dalam memperhatikan pelayanan publik. Pasal tentang konsultasi daerah sebelum penetapan kebijakan publik perlu disikapi secara cermat. Apa yang mesti dilakukan untuk meningkatkan pelayanan publik? Mengembalikan pada agenda demokratisasi publik.
-
Supaya UU No. 22 tidak membuat perempuan termarginalkan, perlu menampilkan profil perempuan/laki-laki di legislatif, profil APBD, ada kaitannya tidak dengan otonomi daerah. Semakin membaik atau sebaliknya.
-
Perlu ada reformulasi ruang politik, agar perempuan bisa masuk dalam ruang politik. Bila perempuan tidak masuk dalam ruang politik maka harus ada ruang lain sebagai media untuk berpartisipasi dalam politik.
-
Perlu adanya redefinisi peran negara -yang seharusnya harus melindungi mereka yang lemah (termasuk perempuan).
-
Ruang musyawarah di desa -mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik. Redefinisi politik, perempuan tidak perlu takut pada politik karena sebenarnya politik itu menyangkut hal yang luas.
-
Ruang publik tidak senantiasa positif, dipengaruhi oleh kelompok-kelompok yang berpengaruh dan berkuasa, serta kepentingan siapa yang paling berpengaruh. ***