2015 / Liputan Media / Media
Published: 30/03/2015
Sumber: Kompas Cetak, 26 Maret 2015
JAKARTA, KOMPAS — Sejak tahun 2014, pembiayaan dan pelayanan kesehatan ibu hamil, melahirkan, dan selama masa nifas dijamin program Jaminan Kesehatan Nasional. Namun, masih banyak perempuan miskin tak bisa memanfaatkannya akibat keterbatasan informasi, tenaga kesehatan, hingga sistem rujukan yang terlalu birokratis.
“Terbatasnya informasi JKN membuat jaminan pembiayaan tak bisa dimanfaatkan optimal,” kata Direktur Penelitian Women Research Institute (WRI) Edriana Noerdin di Jakarta, Rabu (25/3). Simpulan itu hasil penelitian WRI terhadap perempuan dan bidan yang mengakses layanan kebidanan di Jakarta Timur dan Kota Bandung, November 2014-Februari 2015.
Kondisi itu mengancam upaya Indonesia segera menurunkan jumlah kematian ibu melahirkan. Tahun 2012, 359 orang ibu meninggal di Indonesia dari setiap 100.000 kelahiran hidup. Jumlah itu termasuk tertinggi di Asia.
Kematian ibu melahirkan masih jadi persoalan pelik sejak Indonesia merdeka. Pertambahan jumlah tenaga kesehatan dan ketersediaan jaminan pembiayaan ternyata tak serta-merta menurunkan jumlah kematin ibu.
“Banyak persoalan kesehatan yang penanganan hulunya ada di kementerian lain,” kata Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek.
Kematian ibu melahirkan merupakan rentetan masalah sejak calon ibu masih remaja. Kurang gizi kronik dan anemia sejak remaja mempertinggi risiko kehamilan, persalinan, serta rendahnya kualitas kesehatan dan kecerdasan anak yang dilahirkan.
“Terus meningkatnya pernikahan remaja turut mendorong meningkatnya jumlah kematian ibu saat melahirkan,” tambahnya. Terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak dan terlalu rapat meningkatkan risiko kehamilan.
Pemanfaatan JKN
Edriana menambahkan, beragam informasi JKN tak sampai ke masyarakat, mulai jenis dan cakupan layanan, sistem rujukan, hingga ketentuan kegawatdaruratan. Belum lagi penentuan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang lokasinya jauh dari tempat tinggal peserta.
Berbagai persoalan yang merumitkan peserta JKN itu membuat banyak perempuan miskin penerima bantuan iuran justru memilih layanan bidan praktik mandiri. Padahal, bidan itu tidak ikut jejaring FKTP yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sehingga mereka harus mengeluarkan biaya lagi.
Selain informasi untuk peserta, informasi bagi bidan juga tidak cukup. Informasi itu di antaranya tata cara kerja sama, serta hak dan kewajiban bidan di jejaring.
Akibatnya, hanya 4,25 persen bidan praktik mandiri yang sudah bekerja sama dalam jejaring FKTP. Kondisi itu ironis karena 87,8 persen ibu hamil memeriksakan kehamilannya pada bidan dan 68,6 persen persalinan mereka dibantu bidan.
Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan, meski menjadi garda terdepan mengatasi kematian ibu, kesejahteraan bidan kurang terperhatikan. Banyak bidan masih bergelut dengan ketidakpastian menjadi bidan tidak tetap meski sembilan tahun dikontrak pemerintah.
Selain itu, melonjaknya minat masyarakat menggunakan layanan JKN belum diikuti peningkatan fasilitas dan tenaga kesehatan. Akibatnya, antrean panjang terjadi tak hanya saat pendaftaran peserta, tetapi juga saat hendak mengakses layanan hingga untuk dapat tindakan medik.
Data Kemkes, rendahnya rasio bidan terhadap penduduk justru ada di Jawa. Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur merupakan provinsi penyumbang jumlah kematian ibu terbesar.
Tahun 2015, BPJS menargetkan peningkatan peserta BPJS Pekerja Penerima Upah sebanyak 29 juta peserta dari 33,9 juta. Untuk mengimbangi itu, BPJS akan meningkatkan jumlah jejaring mitra rumah sakit hingga 1.700 RS. (MZW/B11).