2014 / Liputan Media / Media
Published: 31/03/2014
“Partisipasi Perempuan dalam Pemilu Harus Ditingkatkan”
“Pemilu 2014, Saatnya Perempuan Pilih perempuan”
“Ayo Pilih Caleg Perempuan!”
“Perempuan dan Pemilu”
Berbagai judul dan slogan yang mendukung partisipasi perempuan, merebak menjelang Pemilu 9 April 2014. Tak hanya tulisan di media massa, blog ataupun riset-riset, seminar dan pelatihan untuk menggenjot partisipasi kaum hawa pun gencar diluncurkan.
Mengapa Perempuan?
Berbagai kalangan menilai, eksistensi sosok perempuan dalam parlemen sangat diperlukan, yakni untuk mewakili suara kaumnya hingga mengangkat isu kesetaraan gender.
Ya. Saat ini masih banyak isu perempuan dan anak yang masih belum terselesaikan. Misalkan saja kasus tingginya angka kematian ibu melahirkan di Indonesia yang disebabkan pernikahan usia dini, terlalu banyak anak atau tidak tersedianya akses pengetahuan tentang kesehatan ibu hamil dan melahirkan.
Belum lagi masalah perempuan lainnya, seperti tidak memiliki hak untuk memutuskan sesuatu, diskriminasi di dunia kerja, dan lainnya. Selama ini kebijakan parlemen juga dinilai terlalu rumit dan tidak menjangkau kebutuhan dasar perempuan.
Meutia Fadila, direktur Studi Gender di Universitas Medan dan konsultan untuk Kementrian Pemberdayaan Perempuan mengakui pentingnya keterwakilan perempuan dalam jabatan publik. Menurutnya, legislator perempuan dapat berdampak langsung terhadap kebutuhan perempuan dan anak-anak melalui proses legislatif.
Sementara Dosen politik UI Chusnul Mar’iyah menuturkan, sosok perempuan dibutuhkan dalam setiap pengambilan keputusan. ”Karena seluruh kebijakan negara berurusan dengan perempuan, seperti hak reproduksi dan relasi perempuan dan laki-laki,” ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, sejumlah kebijakan saat ini masih diskriminatif terhadap perempuan. Lihat saja 300 lebih peraturan daerah (Perda) yang masih melakukan pembedaan gender. Aturan ini kebanyakan ada di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Barat.
Demi mengatasi masalah diskriminasi dalam budaya patriarki, agenda perempuan dalam politik harus digenjot, untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya prinsip-prinsip demokrasi yang menjamin kesetaraan, hak asasi manusia dan penegakan hukum.
Di sisi lain, IRI (International Republican Institute) organisasi nirlaba yang didanai Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat dan mendedikasikan untuk kemajuan demokrasi di seluruh dunia, memilih untuk fokus pada partisipasi perempuan dalam politik.
Alasannya, tidak ada negara yang bisa mengembangkan kesejahteraan rakyatnya ketika setengah dari penduduknya masih ‘terbelakang’.
Kaum perempuan di negara berkrmbang banyak yang masih dikategorikan ‘terbelakang’ karena posisinya yang termarjinalisasi.
Sementara itu, berdasarkan riset dan bukti empiris seluruh dunia, ada efek positif, ketika keterwakilan politik serta kepemimpinan perempuan di suatu masyarakat meningkat.
Efek positif tersebut misalnya penurunan angka korupsi, penguatan ekonomi, kesetaraan bagi yang terpinggirkan serta keamanan dan perdamaian.
Barometer Global Corruption Transparency International secara konsisten juga mengklaim temuannya yang menunjukkan bahwa perempuan lebih kecil kemungkinannya untuk membayar suap dan cenderung memaafkan korupsi.
Adapun studi Bank Dunia menunjukkan bahwa peningkatan 8% dalam jumlah perempuan yang duduk di parlemen akan menurunkan 20% tingkat korupsi di negara itu.
Peneliti Women Research Institute, Frisca Anindhita menilai besarnya harapan publik pada caleg perempuan ini sangat wajar. Dalam survei yang dilakukan pada September 2013, lebih dari 40 % responden mengaku rasa keterwakilan terhadap anggota DPR-RI perempuan masih kurang. Survei dilakukan pada 1.200 responden di 33 provinsi dengan margin error 2,8%.
Dari total responden, sebanyak 58 % responden setuju bahwa semakin banyak perempuan di parlemen, akan mempercepat keadilan perempuan dan laki-laki. Mereka terdiri dari 32 % perempuan dan 26 % laki-laki.
“Menurut para responden, keberadaan lebih banyak perempuan di Senayan, memberi harapan lebih besar terhadap perjuangan isu-isu yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat,” ujar Frisca dalam diskusi tentang keterwakilan perempuan, Selasa, 25 Maret 2014.
Kuota 30%
Untuk menjembatani masalah tersebut, UU Penyelenggara Pemilu nomor 15/2011 telah mengatur keterwakilan 30% perempuan dalam posisi penyelenggara pemilu.
Namun, riset terbaru dari Pusat kajian politik (Puskapol) Fisip Universitas Indonesia mencatat masih rendahnya partisipasi perempuan.
Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama peraturan atau regulasinya, dimana UU Penyelenggara Pemilu belum diperkuat dalam peraturan pelaksana rekrutmen/seleksi, sehingga penafsiran dan pelaksanaannya masih bermasalah.
Lalu, masalah hambatan kultural yang masih membatasai partisipasi perempuan di ranah publik, termasuk juga menghambat perempuan untuk masuk dalam proses rekrutmen dan seleksi anggota panitia pelaksanan pemilu di berbagai tingkat.
Ketiga disebabkan faktor geografis kepulauan dan pegunungan, yang merupakan tantangan tersendiri yang menyulitkan akses perempuan untuk terlibat secara maksimal. Terakhir adalah minimnya pengetahuan kepemiluan oleh kaum perempuan, baik tentang proses informasi teknis rekrutmen/seleksi dan informasi teknis kepemiluan.
Meski ada peningkatan, namun pertumbuhan partisipasi perempuan masih sangat jauh ketimbang laki-laki.
Berdasarkan catatan Kementerian PP dan PA, angka keterwakilan perempuan pada Pemilu 1999 mencapai 9%. Jumlah ini naik menjadi 11,09 % pada pemilu 2004. Pada pemilu 2009 kembali naik menjadi 17,86%.
Tak hanya di DPR, di DPD jumlah senator perempuan mencapai 27% dan di MPR 20%.
Alat ukur lainnya untuk menilai kemajuan capaian perempuan adalah Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), dengan tiga variabel, yakni tenaga profesional, keterwakilan perempuan di parlemen, dan angkatan kerja.
Meski ada peningkatan capaian perempuan dalam tiga variabel tersebut, dari 59,7% pada 2005 menjadi 70,07% pada 2012. Namun, hal ini sangat jauh dibandingkan dengan peningkatan jumlah laki-laki.
Frisca Anindhita menilai, kurangnya keterwakilan perempuan di Senayan berkontribusi menyebabkan masih besarnya ketertinggalan perempuan di masyarakat. Banyak kebijakan yang dibuat tak responsif terhadap gender. Akibatnya, dalam banyak bidang akses yang diterima perempuan masih tertinggal dibanding laki-laki.
“Semakin banyak perempuan yang masuk Senayan, tentu peluang lahirnya kebijakan yang dberpihak pada kesetaraan gender semakin luas,” katanya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar mengatakan, meskipun budaya Indonesia masih menganggap politik adalah ranah kaum adam, perempuan sebenarnya punya kemampuan untuk meredakan konflik, karena bisa bicara dengan hati.
“Kehadiran perempuan di legislatif mungkin bisa membuat ‘wajah’ politik yang dianggap maskulin dan keras jadi lebih lembut.”
Terkait hal tersebut, keberadaan caleg perempuan sebaiknya tidak hanya sebagai pelengkap aturan semata, melainkan memiliki tujuan untuk perjuangan gender.
Keterwakilan perempuan sebesar 30% jangan dimaknai secara simbolik untuk memenuhi kuota, melainkan ditandai secara substansial. Sehingga, masuknya caleg perempuan dalam daftar memang memenuhi kualitas untuk duduk di DPR.
Karena itu, sangat disarankan parpol tidak menjadikan caleg perempuan yang berlatar belakang artis hanya sebagai penarik suara, tetapi benar-benar ingin memberi kesempatan perempuan untuk tampil di panggung politik.
Suara Pemilih Perempuan
Selain membicarakan tentang partisipasi dalam legislatif, para perempuan juga dituntut kontribusinya dalam memilih. Suara perempuan dalam pesta demokrasi sangat menentukan lahirnya seorang pemimpin. Masalahnya, pemilih perempuan saat ini masih rentan dimobilisasi dan dipengaruhi dalam pemilu.
”Suara perempuan potensial, tapi paling rentan dalam pemilu,” ujar pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti.
Menurut Ikrar, kaum perempuan bisa dimobilisasi baik oleh suami dan organisasi yang digelutinya. Terlebih, tingkat pendidikan masih lebih rendah dibanding laki-laki. Dampaknya, independensi perempuan dalam menentukan politik masih kurang.
Selain itu, perempuan dalam menentukan pilihan masih menggunakan perasaan dibanding logikanya. Kondisi tersebut berdampak pada mudah dipengaruhi oleh pencitraan yang baik dari kandidat politik. Padahal, belum tentu kandidat itu mempunyai integritas yang baik.
Oleh karena itu, para perempuan harus mempunyai visi baru dalam menentukan pilihan.
Putusan tersebut tidak lagi didasarkan pada fisik tapi bagaimana orang itu jujur, berani mengambil risiko dan tidak mementingkan diri dan keluarganya. Dari fakta tersebut, menunjukkan perlunya edukasi politik bagi para perempuan.
Sementara para pemilih perempuan harus meningkatkan kesadaran, bahwa dengan memilih caleg perempuan, maka para caleg itu akan memberikan kesempatan lewat kebijakan yang berpihak pada kaumnya.
Perubahan hanya akan terjadi ketika perempuan berada dalam sistem, dan perempuan hanya akan berada dalam sistem jika mereka unjuk diri.
Oleh karena itu wahai Perempuan, tunjukkan suaramu!
Tautan berita dapat diakses di sini.