Published: 30/11/2016

 

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang telah menjadi bencana tahunan selama dua dekade terakhir membawa dampak masif yang berkepanjangan bagi masyarakat. Berdasarkan catatan Komnas HAM, kejadian asap karhutla pada tahun 2015 telah merenggut sedikitnya 23 nyawa. Sejalan dengan hal tersebut, Kementerian Sosial (2015) mencatat 23 orang meninggal, termasuk diantaranya anak-anak dan bayi, dan diperkirakan tidak kurang dari 500.000 orang menderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA). Bencana kabut asap terutama berdampak kepada kelompok rentan seperti perempuan hamil, ibu dengan bayi dan balita, anak-anak, dan lansia. Hal ini turut divalidasi oleh penelitian Women Research Institute (WRI) pada tahun 2016 mengenai dampak kabut asap pada sektor kesehatan, lingkungan, ekonomi, hingga pendidikan.

 

Kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan berdampak secara serius bagi kesehatan kelompok rentan, sebagaimana tergambarkan dalam kisah Ramadhan Luthfi Aerli, seorang anak laki-laki berumur 9 tahun, yang meninggal saat bencana kabut asap terjadi. Penyebab kematian Luthfi hanya dijelaskan sebagai gagal pernapasan yang dipicu oleh banyaknya gumpalan “awan” di paru-parunya. Pihak rumah sakit tidak menyimpulkan bahwa kematian Luthfi adalah diakibatkan oleh dampak kabut asap, sedangkan gagal pernapasan sendiri sangat berkorelasi erat dengan kualitas udara yang dihirup. Hasil pengukuran ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) sejak Agustus hingga Oktober 2015 menunjukkan bahwa udara di Kota Pekanbaru sudah tercemar, dengan jumlah 25 hari tidak sehat, 5 hari sangat tidak sehat, dan 26 hari sangat berbahaya, sedangkan hanya 15 hari yang dinyatakan kondisi udaranya baik.[1]

Posko pengungsian bagi kelompok rentan juga sulit untuk diakses karena minimnya sosialisasi dan sejumlah prosedur yang dianggap menyulitkan, seperti surat rekomendasi dari kelurahan dan surat keterangan tidak mampu. Selain itu, ketimpangan relasi gender antara suami dan istri juga menjadi penyebab banyaknya perempuan hamil maupun ibu dengan bayi dan balita yang tidak dapat mengakses posko tersebut.

Salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pengakses posko adalah adanya surat izin dari keluarga, dalam hal ini surat izin dari suami bagi istrinya. Banyak laki-laki enggan mengizinkan istri mereka mengungsi karena kekhawatiran tidak akan ada yang mengurus diri mereka dan anak-anak lain yang ditinggalkan di rumah. Sangat disayangkan bahwa dalam kondisi bencana, perempuan hamil dan ibu dengan bayi dan balita, sebagai kelompok rentan, tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan tindakan pengamanan kesehatan yang terbaik bagi diri mereka.

Ditinjau dari aspek lingkungan, asap dari hasil pembakaran hutan dan lahan telah berkontribusi pada meningkatnya emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer secara signifikan. Pada bulan Oktober 2015 emisi per hari kebakaran hutan di Indonesia melebihi emisi perekonomian Amerika Serikat, atau lebih dari 15,95 juta ton emisi CO2 per hari. Ditambah lagi sebagian besar kebakaran hutan di Indonesia terjadi di lahan gambut yang lebih sulit untuk dipadamkan Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai satu dari empat negara dengan emisi gas terbesar di dunia (World Resource Institute, 2015). Hal ini adalah fakta menyedihkan dari sebuah negara dengan kawasan hutan gambut tropis terluas di dunia yang seharusnya menjadi bank karbon dunia.

Kabut asap juga berdampak pada sektor pendidikan. Murid-murid sekolah di Riau seringkali terkendala dalam mengikuti proses belajar mengajar sebab sekolah diliburkan selama berbulan-bulan tanpa alternatif mekanisme pemberian pelajaran pengganti jam sekolah yang efektif. Akibatnya, banyak siswa yang tidak lulus dalam ujian akhir nasional. Misalnya saja di SMA Negeri 13 Rumbai, hanya tiga siswa yang dapat lulus Ujian Nasional (UN) tanpa perlu melakukan remidial. Sebelumnya SMA Negeri 13 berada di peringkat 9 provinsi, namun saat ini peringkat sekolah merosot dan berada di bawah peringkat 15 akibat sedikitnya jumlah siswa yang lulus pada ujian nasional (Women Research Institute, 2016).

Selain itu, kabut asap juga menyebabkan kerugian pada perekonomian daerah. Kerugian pada sektor pertanian di Provinsi Riau mencapai 66,4 triliun rupiah, sementara kerugian pada sektor perdagangan mencapai 4,008 triliun rupiah (World Bank, 2015). Kerugian ini juga meliputi sektor pertanian dan perdagangan skala kecil (UMKM) yang dilakukan oleh masyarakat.

Persoalan kabut asap kian sulit sebab kebijakan tata kelola bencana di Indonesia masih lemah pada tataran implementasi. Kebijakan yang ada belum berpihak kepada korban, khususnya pada korban perempuan. Hal ini menggambarkan ketidaksiapan pemerintah dalam menganggulangi kabut asap, meskipun bencana kabut asap telah menjadi bencana rutin tahunan di Indonesia. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) bahkan menyebut kondisi ini tergolong sebagai pelanggaran hak hidup dan hak atas kesehatan.  Pemerintah sudah sepatutnya berupaya untuk menangani bencana kabut asap agar tidak terus berulang demi memenuhi hak masyarakat akan lingkungan hidup yang sehat dan hak atas kesehatan.

Untuk itu, dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Women Research Institute (WRI), atas dukungan Climate and Land Use Alliance (CLUA), bersama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional mendorong upaya advokasi bersama dengan menyelenggarakan forum publik yang bertujuan untuk mengedukasi publik, termasuk perempuan, mengenai penanggulangan kabut asap di Provinsi Riau, sebagai salah satu provinsi yang terkena dampak parah kabut asap.

 


[1] Diolah dari hasil pengukuran ISPU harian Laboratorium Udara Kota Pekanbaru Januari-Desember 2015