Siaran Pers
Published: 22/09/2015
Era keterbukaan politik saat ini, gerakan perempuan semakin meluas, baik dari sisi wilayah kerja, persebaran geografisnya, serta makin beragamnya bidang kerja dan bahkan pendefinisian persoalan gender. Keberagaman dan keluasan bidang garapan ini juga menuntut kemampuan dan kemauan dari organisasi perempuan untuk membangun dan mengembangkan jaringan kerja, demi mengatasi kekurangan yang harus diakui masih sangat banyak, baik dari segi pemahaman persoalan perempuan, pemahaman relasi kuasa, kemampuan pengembangan strategi kerja, pendanaan, maupun dari segi kaderisasi kepemimpinannya.
Pandangan tentang ‘kepemimpinan’ sangatlah beragam, dan keragaman tersebut terkondisikan oleh masing-masing pengalaman subyektif setiap individu dalam hidupnya dan proses sosial yang membentuknya. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan proses sosial yang berakar pada pengalaman seseorang dalam pengorganisasian. Organisasi merupakan ranah yang penting bagi perempuan untuk mengkonstruksikan diri melalui proses belajar menjadi pemimpin. Keterlibatan perempuan dalam organisasi bukan saja memperoleh pengalaman mengorganisasi diri, namun juga memperoleh dan menanamkan nilai-nilai ideal mengenai pemimpin dan kepemimpinannya.
Kepemimpinan perempuan pada dasarnya tidak dapat dilihat hanya dalam konteks yang sempit. Meski kepemimpinan perempuan secara struktural pada sektor publik belum terjadi secara meluas, namun kita dapat melihat bahwa proses transformasi sosial telah mampu mendorong munculnya pemimpin dalam gerakan perempuan di tingkat akar rumput. Kepemimpinan perempuan mampu mempengaruhi dan mendorong terjadinya sebuah perubahan di masyarakat walau sering tidak terlihat.
Peran perempuan semakin menguat, meskipun kesetaraan gender secara substansi masih belum tercapai karena masih banyaknya tantangan yang dihadapi oleh perempuan, baik di ranah publik maupun ranah privat (keluarga). Pengaruh kepemimpinan dan upaya untuk menghadirkan relasi yang lebih setara di ranah privat masih memerlukan kerja yang lebih keras agar dampaknya sama terlihat dengan pemberdayaan perempuan di ranah publik. Dengan demikian peran kepemimpinan perempuan, perlu dipahami dalam konteks yang luas melibatkan berbagai pihak dalam proses transformasi tersebut, sehingga agenda-agenda dan bentuk-bentuk kuasa yang dijalankan dapat dipahami secara kontekstual.
Banyak hadirnya pemimpin perempuan di berbagai daerah, merupakan keberhasilan organisasi perempuan mendorong para perempuan untuk berpartisipasi memperjuangkan keadilan bagi lingkungannya. Seperti yang dilakukan Kelompok Perempuan Tani Pegunungan Kendeng yang melawan penambangan dan pendirian pabrik semen di Rembang. Kelompok perempuan ini menuntut keadilan atas ancaman hilangnya sumber air warga yang ditimbulkan akibat penambangan dan pendirian pabrik dan dampak negatif lainnya yang berakibat langsung terhadap masyarakat sekitar.
Menguatnya pengorganisasian perempuan juga terlihat di Provinsi Riau, para perempuan terlibat menjadi inisiator dalam penyelesaian masalah-masalah konsesi hutan. Seperti di Desa Sungai Berbari, Kabupaten Siak, perempuan melakukan aksi demonstrasi memblokade jalanan karena perusahaan tidak menjalankan kewajibannya untuk menyiram jalanan yang berdebu dan rusak akibat dilalui kendaraan berat perusahaan. Hal ini mengganggu kesehatan masyarakat yang mengakibatkan banyak masyarakat terkena infeksi saluran pernafasan (ISPA). Dan masih banyak lagi upaya perempuan di Provinsi Riau dalam melawan pembakaran hutan yang menimbulkan asap yang sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat maupun dalam aktivitas umum lainnya.
Selain itu, pemimpin perempuan yang hadir di berbagai daerah, terdapat Yosepha Alomang, seorang perempuan dari Papua yang berjuang membela masyarakat di sekitar perusahaan pertambangan asing di daerahnya. Juga Sisilia Mbimbus dari Nusa Tenggara Timur, seorang ibu rumah tangga yang berhasil memberdayakan warga desanya dengan membuat instalasi air bersih sehingga membuat anak-anak dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Ia berani mendobrak tradisi perempuan yang tidak diperkenankan ikut campur dalam urusan dusun. Ada juga Asnaini yang berasal dari Aceh, Asnaini merupakan Kepala Desa perempuan pertama di Tanah Gayo, dia terbilang sukses memperjuangkan hak-hak warganya, khususnya kaum perempuan. Dia pernah dianugerahi Perempuan Aceh Award, 2012. Tokoh perempuan lainnya adalah Aleta Baun, motor penggerak masyarakat di Pegunungan Molo, Nusa Tenggara Timur yang juga menentang perusahaan pertambangan di daerahnya.
Selain perempuan-perempuan tersebut juga beberapa organisasi perempuan di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, yaitu Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Jaringan Perempuan Usaha Kecil (JARPUK), dan Perkumpulan Panca Karsa Mataram menyediakan pelayanan terpadu itsbat nikah dengan melakukan pendampingan masyarakat untuk melakukan itsbat nikah hingga keluarnya akta nikah. Isbat nikah ini sangat penting bagi perempuan karena memberikan kepastian hukum terhadap status perkawinan, status anak, itsbat nikah juga memberikan kepastian hukum terhadap status harta perkawinan. Dan di bidang ekonomi teman-teman Serikat Perempuan Independen di Deli Serdang, Serdang Bedagai dan Labuhan Batu yang merupakan bagian dari Hapsari melakukan pemberdayaan perempuan dengan mengadakan koperasi dan Credit Union (CU), mereka juga mengembangkan produk-produk yang berbasis pada sumberdaya yang tersedia di desa dan mereka juga membuat sabun cuci piring untuk dijual.
Ironisnya, hadirnya pemimpin-pemimpin perempuan ini tidak dibarengi dengan kebijakan yang lebih melindungi perempuan, terbukti banyak sekali lahir peraturan daerah (Perda) yang justru sangat merugikan perempuan. Berdasarkan data Komnas Perempuan 2015 terdapat 365 Perda yang tidak berpihak kepada perempuan. Perda ini dinilai mendiskriminasi perempuan, karena sangat membatasi gerak perempuan, mengungkung kebebasan perempuan dalam mengembangkan dirinya. Seperti Perda yang mengatur cara berpakaian, batas waktu untuk pulang bagi perempuan, dan masih banyak lagi. Seperti halnya Perda yang baru-baru ini diterbitkan oleh Bupati Purwakarta yaitu Perda yang melarang anak di bawah 17 tahun pacaran, dan sanksi kawin paksa bagi yang kedapatan pacaran di atas pukul 21.00.
Di lain pihak kebijakan yang diperjuangkan kelompok perempuan untuk melindungi perempuan dengan mendewasakan usia minimal perempuan untuk menikah pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ternyata oleh Mahkamah Konstitusi tidak dikabulkan. DPR-RI sendiri sebagai lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan untuk melahirkan kebijakan (undang-undang) belum dapat memprioritaskan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perlindungan perempuan. Perjuangan kelompok perempuan untuk mendorong masuknya Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) juga belum mendapat prioritas untuk dibahas oleh DPR-RI.
Disinilah perjuangan perempuan diuji, dukungan kebijakan dan pendanaan bagi peningkatan keadilan dan kesetaraan gender serta pengembangan organisasi dan kepemimpinan perempuan sangat dibutuhkan. Bagaimana kepemimpinan perempuan dapat diwujudkan kalau merujuk pada data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang menunjukkan jumlah keterwakilan perempuan dalam Pilkada serentak 2015 sangat minim. Jumlah total calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dari perempuan hanya sebanyak 116 calon atau 7,32 persen dari jumlah keseluruhan 1584 calon di Pilkada. Kenyataan ini menunjukkan harapan terhadap menguatnya kepemimpinan perempuan masih sulit tercapai.
Berbagai upaya untuk mendorong peran dan keterwakilan perempuan melalui penerapan kuota minimal 30 persen bagi perempuan di parlemen juga mengalami kegagalan pada Pemilu 2014. Tidak ada satu pun partai politik yang memenuhi kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 persen di parlemen. Data Komisi Pemilihan Umum menunjukkan keterpilihan perempuan di parlemen pada periode 2014-2019 mengalami penurunan dari 18,2 persen atau 103 kursi pada 2009 menjadi 17,3 persen atau 97 kursi pada 2014. Padahal, calon legislatif perempuan yang masuk dalam daftar pemilih mengalami peningkatan dari 33,6 persen pada 2009 menjadi 37 persen pada 2014. Bahkan ada tujuh provinsi yang tidak memiliki keterwakilan perempuan di parlemen, seperti Aceh, Papua Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, dan Bangka Belitung.
Rendahnya jumlah keterwakilan perempuan di parlemen bisa jadi karena pada kenyataannya tidak terlalu banyak perempuan yang terjun ke dunia politik karena faktor kultur yang belum membuka ruang luas bagi keterlibatan perempuan di politik juga adanya keterbatasan modal sosial, politik dan finansial bagi perempuan. Hal ini menyulitkan perempuan dalam keikutsertaannya di ranah politik formal. Padahal, keterwakilan perempuan dalam politik formal dibutuhkan untuk menguatkan perjuangan akan adanya kebijakan yang lebih memperhatikan kebutuhan dan kepentingan perempuan. Karena Keberadaan perempuan di parlemen diharapkan dapat memberi nilai yang berarti untuk kehidupan perempuan.
Dalam rangka mengangkat pengalaman kepemimpinan perempuan dalam menghadapi dinamika dan tantangan di era keterbukaan politik, pada hari ini 17 September 2015, Women Research Institute atas dukungan Hivos mengadakan Seminar Publik “Menguatnya Kepemimpinan Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik” dan Peluncuran Panduan Pelatihan “Kepemimpinan Perempuan.”
Jakarta, 17 September 2015
Women Research Institute
Download:
Press Release Seminar WRI Kepemimpinan Perempuan_17 September 2015.pdf