Angka Kematian Ibu / Current Project / Perempuan & Kesehatan

Published: 06/03/2012

Perempuan selalu menjadi mata rantai yang paling lemah dari rantai kemiskinan. Kemiskinan telah menyebabkan perempuan mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses atas hak-hak mereka, terutama dalam hal ini adalah pelayanan kesehatan yang memadai bagi perempuan. Setelah lebih dari 10 tahun belum ada penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) yang signifikan menuju target AKI 115 di tahun 2015.

 

Persoalan kesehatan perempuan tidak bisa dilepaskan dari masalah kebijakan, ketersediaan infrastruktur, layanan kesehatan dasar yang terjangkau dan dapat diakses dengan baik. Hasil penelitian Women Research Institute (WRI) di tujuh wilayah di Indonesia (2009) memperlihatkan masih banyak kendala yang dihadapi perempuan miskin khususnya di wilayah terpencil untuk mengakses berbagai fasilitas publik. Selain kemiskinan, kurangnya informasi, pengetahuan dan tidak meratanya ketersediaan tenaga kesehatan seperti dokter maupun bidan menjadi persoalan sulitnya perempuan mengakses fasilitas kesehatan. Berdasarkan catatan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) jumlah bidan di desa terus menyusut dari 62.812 bidan pada tahun 2000, menjadi 39.906 bidan pada tahun 2003. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000, mencatat sekitar 80 persen penduduk Indonesia bermukim di 69.061 desa dan saat ini tercatat 22.906 desa tidak memiliki bidan desa. (Ringkasan eksekutif SMERU Research Institute “Strategi Akselerasi Pencapaian Target MDGs 2015”)

 

Program “Satu Desa, Satu Bidan dan Satu Polindes” bisa menjadi komitmen bersama dan bisa diwujudkan. Program ini juga diharapkan mempercepat penurunan angka kematian ibu dan anak/bayi. Oleh karenanya diperlukan upaya sinergisitas dalam mengatasi permasalahan kesehatan reproduksi di Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Lombok Tengah dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat.

 

Untuk menunjang program tersebut diperlukan pemetaan permasalahan kesehatan reproduksi sampai di tingkat desa, minimal kecamatan. Penelitian mengenai permasalahan angka kematian ibu dan persoalan sosial budaya yang ada juga menjadi perhatian. Diperlukan pemetaan jumlah provider kesehatan reproduksi, bagaimana sebarannya, jenis layanan yang disediakan dan tarif yang berlaku. Selanjutnya data dari penelitian dan database yang ada bisa menjadi langkah untuk aksi bersama dalam rangka meningkatkan kualitas hidup perempuan yang didukung baik oleh organisasi masyarakat maupun pemerintah daerah

 

Tujuan Program

  1. Tersedianya data yang berkaitan dengan advokasi kesehatan reproduksi

  2. Pengarusutamaan kesehatan reproduksi dalam kebijakan dan anggaran daerah

  3. Terbentuknya forum multipihak tingkat kabupaten untuk bisa mengawal kebijakan terkait kesehatan reproduksi

  4. Adanya dua desa yang responsif pada kesehatan reproduksi, dengan penanda:

  • Adanya training gender budgeting dan kesehatan reproduksi.

  • Adanya praktek Musyawaran Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) sektoral kesehatan.

  • Adanya diskusi tematik reguler.

  • Kampanye Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), Inisiasi Menyusu Dini (IMD), alat kontrasepsi, dll.

  • Adanya kebijakan desa yang mengatur Satu Desa dan Satu Bidan.

 

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut WRI melakukan program kesehatan reproduksi di Kabupaten Gunungkidul-DIY dan Kabupaten Lombok Tengah-NTB. Seperti melakukan kegiatan seperti menginisiasi kebijakan pemerintah, mengawal implementasi kebijakan dan peningkatan kapasitas pengetahuan masyarakat baik pemerintah daerah maupun masyarakat desa terhadap isu kesehatan reproduksi dan seksualitas.

 

Kabupaten Gunungkidul-DIY dan Kabupaten Lombok Tengah-NTB merupakan wilayah dimana masih ada fakta adanya angka kematian ibu yang dilatarbelakangi kemiskinan. Situasi inilah yang menjadi alasan pemilihan dua wilayah pilot project ini.

 

Kabupaten Gunungkidul

Forum Group Discussion (FGD)

FGD ini merupakan forum assesment permasalahan kesehatan reproduksi di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Gunungkidul bersama dengan anggota DPRD dan beberapa stakeholder terkait. Pertemuan dihadiri kurang lebih 30 orang dari berbagai instansi dan lembaga masyarakat terkait. Pertemuan ini dalam rangka mencari permasalahan dan kebutuhan masyarakat Gunungkidul berkait dengan kesehatan reproduksi. Beberapa hal yang muncul dalam pertemuan ini antara lain:

  1. Kurangnya pengetahuan masyarakat dan kurangnya sosialisasi dari tenaga kesehatan berkenaan dengan pemakaian alat kontrasepsi, kebijakan yang belum sensitif terhadap persoalan kesehatan reproduksi.

  2. Minimnya informasi dan pelayanan yang belum memadai.

  3. Pendidikan seks yang masih minim.

  4. Infrastruktur: Gunungkidul terdiri dari 144 desa namun hanya mempunyai 128 tenaga bidan.

  5. Mulai bertambahnya kasus HIV/AIDS

  6. Angka kematian ibu yang meningkat setiap tahun

  7. Adanya kasus perkosaan dan KDRT

  8. Kesehatan reproduksi belum masuk dalam pendidikan di sekolah

  9. Kurangnya kualitas hidup perempuan

  10. Kurangnya dokter spesialis atau tenaga ahli di rumah sakit daerah

 

Diskusi Terbatas dengan kelompok masyarakat

Pertemuan ini dihadiri perwakilan masyarakat berjumlah 23 orang. Berasal dari organisasi rakyat di Gunungkidul, Jaringan Kerja Perempuan Gunungkidul, kelompok remaja dari Gunungkidul dan kelompok perempuan perwakilan dari beberapa desa. Pertemuan dengan masyarakat ini juga masih dalam rangka menemukan kebutuhan warga dan menyesuaikan program dengan kebutuhan masyarakat di tingkat desa. Beberapa persoalan yang muncul di tingkat kabupaten juga ada di tingkat desa. Pemahaman pengetahuan masyarakat tentang isu ini pun masih terbatas pada alat kontrasepsi dan kehamilan.

 

Diskusi Warga di Desa

Pertemuan ini difokuskan untuk peningkatan pengetahuan masyarakat dan asistensi untuk pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Selain itu, juga diadakan training gender budget agar warga desa kritis terhadap proses perencanaan anggaran desa agar lebih responsif gender.

 

Pertemuan dengan Bupati Gunungkidul

Pertemuan ini dalam rangka melakukan lobby dan pendekatan kepada kepala daerah agar kebijakan kepala daerah bisa selaras dengan tujuan WRI dan program WRI di wilayah ini bisa didukung oleh pemerintah daerah. Pertemuan ini dimaksudkan untuk mendorong keluarnya kebijakan publik yang berpihak pada perempuan miskin dalam hal kesehatan reproduksi. Kebijakan publik berupa Peraturan Bupati yang mengawal kebijakan desa siaga aktif. Di dalam peraturan bupati tersebut yang menyertai petunjuk teknis (juknis) desa siaga aktif, WRI telah berhasil mengupayakan komitmen pemerintah daerah untuk menempatkan bidan domisili di tiap desa. Perkembangan terakhir dari Gunungkidul, telah disahkan peraturan bupati mengenai desa siaga yang didalamnya ada usulan WRI mengenai bidan domisili.

 

Kabupaten Lombok Tengah

Forum Group Discussion (FGD)

Pertemuan ini merupakan pertemuan untuk menggali permasalahan mengenai kesehatan reproduksi. FGD dihadiri oleh perwakilan eksekutif (Bappeda, Dikes), legislatif, NGO, kelompok masyarakat sipil, praktisi kesehatan (bidan, dukun beranak, dokter) dan anggota masyarakat. Forum ini terselenggara dengan bekerjasama dengan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Lombok Tengah. Dalam pertemuan ini, diketahui bahwa Lombok Tengah telah mencanangkan AKI NO yang artinya tidak ada kematian ibu akibat persalinan dan mempunyai kebijakan jaminan persalinan gratis yang telah tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda). Yang dibutuhkan ke depan adalah pengawalan terhadap kebijakan tersebut, mengingat tidak semua warga tersosialisasi dengan baik. Selain itu WRI juga mendorong stakeholder terkait seperti Dinas Kesehatan Lombok Tengah untuk ikut memantau pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah mengenai persalinan gratis hingga tingkat desa.

 

Awal tahun 2012 ini, program di Lombok Tengah diawali dengan refleksi awal tahun. Kegiatan ini bertujuan untuk berbagi pengalaman kerja dan capaiannya dalam upaya penurunan AKI di Kabupaten Lombok Tengah. Untuk itu diperlukan komitmen, rumusan konsep dan program bersama untuk mendorong percepatan upaya penurunan AKI melalui kebijakan yang pro rakyat dan pro gender. Capaian dari pertemuan dan tindak lanjut adalah adanya strategi dan pembagian kerja di tingkat kabupaten antara pemerintah, legislatif dan masyarakat sipil untuk gerakan bersama pencapaian penurunan AKI di Lombok Tengah.***