Current Project / Kesehatan Reproduksi / Perempuan & Kesehatan
Published: 03/06/2013
Sejak tahun 2000, Indonesia telah membuat beberapa kemajuan dalam mengidentifikasi kebutuhan kesehatan reproduksi remaja dan dalam mendefinisikan pilihan kebijakan. Pemerintah telah menyadari kebutuhan akan pendidikan seks dan kesehatan reprodusi yang lebih baik di sekolah-sekolah, terutama mengingat pertumbuhan epidemi infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS di negeri ini. Namun, karena adanya sensitivitas politik seputar masalah Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), dialog kebijakan belum diterjemahkan ke dalam program konkrit untuk melayani kebutuhan reproduksi remaja. Isu kebijakan yang mendesak termasuk kebutuhan untuk meninjau UU Kesehatan, UU No 36/2009 dan merevisinya untuk memastikan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan bahwa larangan pelayanan keluarga berencana bagi kaum muda lajang harus diangkat. Pelayanan kesehatan reproduksi bagi anak muda lajang harus disediakan dan ditawarkan dalam lingkungan yang ramah dan rahasia sehingga mereka yang membutuhkan dapat mengakses layanan tanpa stigma.
UU Kesehatan mengatur berbagai masalah kesehatan, seperti prinsip-prinsip dan tujuan kesehatan, hak dan kewajiban setiap orang akan perawatan kesehatan, tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan perawatan kesehatan, tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan sumber daya supaya sektor kesehatan bisa memberikan pelayanan kesehatan yang paling dimunginkan bagi masyarakat, dan sebagainya. Tetapi hukum bertentangan sendiri di dalamnya. Di satu sisi, jika kehidupan seorang perempuan hamil terancam, aborsi di bawah prosedur medis tertentu diperlukan. Di sisi lain, prosedur medis tersebut dianggap telah melanggar norma-norma hukum. Jadi, jika dihadapkan dengan kehamilan pranikah, remaja perempuan sering beralih ke aborsi yang tidak aman dan mempertaruhkan hidup mereka di tangan asisten yang tidak profesional dan dukun. Selain itu, UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang memberikan wewenang kepada perempuan berusia 16 tahun dan laki-laki berusia 19 tahun untuk menikah, juga harus ditinjau ulang.
Meskipun lebih dari satu di antara lima orang Indonesia adalah mereka yang berusia antara 15 – 24 tahun, kebijakan Indonesia dan agenda program telah mengabaikan remaja. Oleh karena itu, remaja dan pemuda Indonesia tetap kurang siap untuk menghadapi tantangan kesehatan reproduksi dan tanggung jawab yang akan mereka hadapi ketika mereka memasuki tahun reproduksi mereka.
Pencapaian WRI di masa Lampau
WRI telah menunjukkan prestasinya dalam program percontohan di Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Lombok Tengah yang didukung oleh Ford Foundation. WRI melakukan proyek percontohan di Gunungkidul dan Lombok Tengah mengenai pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi bagi para pembuat kebijakan dan perempuan pedesaan dan gadis remaja sejak November 2010. Gunungkidul dipilih karena tingginya insiden kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan perempuan usia 11-19 tahun, yang menggiring mereka pada praktek aborsi yang tidak aman. Menurut data dari Klinik Adiwarga, pada 2010 terdapat 366 kasus aborsi yang tidak aman di Gunungkidul. Lombok Tengah dipilih karena pada 2011, menurut Dinas Kesehatan Kabupaten, terdapat1.891 kelahiran oleh remaja perempuan usia 14-19 tahun. Berikut adalah beberapa temuan penting yang perlu disebutkan dan dianggap sebagai prestasi WRI.
-
WRI telah mengembangkan database mengenai partisipasi perempuan di dua kabupaten percontohan pada kebutuhan akan kesehatan seksual dan reproduksi, terutama pada kebutuhan kesehatan ibu; kondisi kesehatan seksual dan reproduksi serta fasilitasnya bagi perempuan dan gadis remaja, termasuk data mengenai kesehatan ibu dan alokasi anggaran, profil perempuan miskin, remaja perempuan dan keluarga mereka, dan daftar perempuan dan gadis remaja miskin dan terpinggirkan di daerah proyek percontohan.
-
Setelah difasilitasi selama satu tahun, di awal 2012 Forum Komunitas didirikan di dua desa di Gunungkidul, yaitu di Desa Karangawen dan Desa Kanigoro. WRI memberikan pelatihan mengenai hak-hak reproduksi dan analisis anggaran bagi anggota Forum Komunitas, yang terdiri dari para pengambil keputusan di tingkat desa, bidan desa, perawat desa, dan perempuan dan remaja perempuan dan laki-laki yang memanfaatkan pelayanan kesehatan. Forum Komunitas telah berhasil melibatkan remaja dalam perencanaan program untuk melayani kebutuhan kesehatan reproduksi mereka.
-
Kegiatan Forum Masyarakat telah memicu pembentukan Kelompok Inti di Gunungkidul yang siap untuk memulai pembentukan Forum Pemuda di Tingkat Kabupaten. WRI berencana untuk memfasilitasi Forum Pemuda untuk mendidik pembuat publik dan kebijakan di tingkat kabupaten tentang kebutuhan reproduksi remaja. Di masa mendatang, replikasi praktek-praktek terbaik di dua desa ke desa-desa lainnya di Gunungkidul akan difasilitasi oleh Forum Pemuda.
-
Sejak 2011 dua Forum Komunitas telah terbentuk di dua desa, yaitu Desa Menemeng dan Desa Montongsapah. Sama seperti di Gunungkidul, WRI memberikan pelatihan dalam hak-hak reproduksi dan analisis anggaran kepada anggota Forum Komunitas. Forum Komunitas telah menjadi kendaraan bagi perempuan dan remaja untuk menginformasikan Dinas Kesehatan Kabupaten mengenai masalah pelayanan kesehatan reproduksi.
-
Karena hambatan politik dan budaya yang dihadapi partisipasi perempuan dan remaja dalam perencanaan dan penganggaran, tidak mengherankan jika penyebaran pembuatan kebijakan, perencanaan dan penganggaran belum mampu mempromosikan perubahan kebijakan yang signifikan dan realokasi anggaran untuk pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi remaja dan perempuan. Diharapkan Forum Komunitas dan Forum Pemuda akan membutuhkan satu atau dua tahun untuk mengamankan dana dari anggaran daerah di tingkat kabupaten dan desa untuk membiayai program pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan dan remaja yang telah mereka rencanakan.
-
Karya-karya WRI dalam dua proyek percontohan di Lombok Tengah dan Gunungkidul telah didokumentasikan oleh WRI dalam bentuk film dokumenter yang dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk pendidikan masyarakat tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi remaja dan alat advokasi terhadap pembuat keputusan serta mendidik anggota masyarakat lainnya.
Program WRI di masa lampau menunjukkan bahwa meskipun tingkat partisipasi perempuan dan remaja dalam proses perencanaan pembangunan di empat desa masih rendah dibandingkan dengan laki-laki, terdapat tren peningkatan partisipasi perempuan, khususnya remaja, dalam pembuatan kebijakan, perencanaan dan proses penganggaran dan kehadiran dan kontribusi intelektual mereka telah diakui oleh pemerintah, baik di tingkat desa dan kabupaten. Langkah berikutnya adalah akan terus memfasilitasi Forum Komunitas dan Forum Pemuda dan, untuk kasus Gunungkidul, melakukan advokasi anggaran di tingkat desa dan kabupaten.
Identifikasi Masalah
Beberapa perhatian utama dari kesehatan reproduksi di Indonesia adalah rasio kematian ibu yang tetap tinggi, yaitu 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup (Survei Kesehatan dan Demografi Indonesia 2007)1. Kebutuhan yang belum terpenuhi untuk layanan keluarga berencana adalah 9 persen, termasuk 4,7 persen untuk membatasi jumlah anggota keluarga dan 4,3 persen untuk jarak kelahiran. Diperkirakan bahwa jumlah perempuan yang membutuhkan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi akan meningkat dari 64 juta pada tahun 2009 menjadi 68 juta pada tahun 2015, di mana 42 persen (29 juta) penduduk akan terdiri dari perempuan yang belum menikah yang dilarang oleh UU Kesehatan untuk mengakses layanan keluarga berencana pemerintah2. Terdapat sekitar 65 juta orang muda berusia 10 sampai 24 tahun, yang mewakili 28 persen populasi, yang membutuhkan perhatian khusus dalam hal kesehatan reproduksi dan perawatan kesehatan.
Survei dan penelitian terbaru menegaskan bahwa pengetahuan umum tentang keluarga berencana masih rendah. Empat puluh lima persen dari perempuan empat puluh delapan persen dari pria berusia antara 15 hingga 24 tahun yakin bahwa tidak ada risiko kehamilan setelah melakukan hanya satu kali hubungan seksual kilat3. Pengetahuan yang tidak memadai telah menyebabkan banyak kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan remaja, di mana gadis-gadis di bawah usia 19 tahun mencapai 10% dari jumlah kasus aborsi pada saat kelahiran sedangkan perempuan yang tidak menikah sebanyak 33%4. Persentase perempuan di bawah 19 tahun yang melakukan aborsi tidak aman diperkirakan akan lebih tinggi dan terutama akan lebih umum terjadi di daerah pedesaan5. Lebih dari itu, remaja dan orang muda sendiri tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, perencanaan, dan pelaksanaan serta pemantauan kebijakan dan dalam program terkait kesehatan reproduksi mereka sendiri.
Hasil pengalaman WRI sebelumnya dalam melakukan proyek percontohan di Lombok Tengah dan Gunungkidul menunjukkan prevalensi pernikahan di bawah umur dan kehamilan yang tidak diinginkan. Sebagai ilustrasi di Gunungkidul, pernikahan di bawah umur yang terdaftar di Kantor Agama Kabupaten pada tahun 2010 adalah 80 dan meningkat menjadi 145 pada tahun 20116. Usia dari pasangan muda berkisar antara 16 – 21 tahun. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di Gunungkidul, diketahui bahwa jumlah kehamilan yang tidak diinginkan di Gunungkidul adalah 366 kasus pada tahun 2010 dan sekitar 31,96% di antaranya melibatkan remaja berusia 11 – 19 tahun7.
Remaja jarang dilibatkan dalam pekerjaan pembuatan keputusan publik. Namun, mereka adalah generasi penerus yang memiliki potensi untuk meningkatkan kesehatan seksual dan reproduksi mereka serta kondisi hak mereka. Oleh karena itu, sangat penting untuk mendidik remaja, pejabat daerah dan DPRD dengan alat advokasi yang menggunakan perspektif gender dalam rangka mempromosikan kebijakan dan alokasi anggaran yang responsif gender di tingkat daerah.
Karena percontohan di Gunungkidul dan Tengah Kabupaten Lombok lebih berhubungan dengan remaja pedesaan, WRI ingin mengusulkan sebuah program untuk merepliasi praktek terbaik dari pemberdayaan remaja pedesaan melalui hak seksual dan reproduksi dan anggaran pelatihan advokasi dan fasilitasi pembentukan Forum Masyarakat dan Forum Pemuda ke Jakarta dan Bandung (Jawa Barat) selama periode 1 Juni 2013 – 31 Mei 2015.
Adalah penting untuk melibatkan pemuda dan remaja baik di pedesaan dan perkotaan dalam pengambilan keputusan publik dan penganggaran dalam isu-isu hak dan kesehatan seksual dan reproduksi untuk memungkinkan mereka berpartisipasi lebih baik dalam setiap aras perencanaan di tingkat lokal untuk menyampaikan kebutuhan dan kepentingan reproduksi mereka dengan rasa percaya diri kepada pejabat daerah dan DPRD. WRI akan melibatkan mereka dalam lokakarya dan pelatihan tentang bagaimana menerapkan anggaran gender bersama pemangku kepentingan lainnya, seperti pejabat daerah dan DPRD. Dengan demikian, diharapkan bahwa keterlibatan perempuan muda dan remaja ini akan membuka akses bagi mereka untuk menyalurkan kebutuhan dan kepentingan mereka kepada para pengambil keputusan di tingkat lokal.
1 Estimasi PBB menyebutkan bahwa rasio kematian ibu tahun 2008 di Indonesia adalah 240 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Diambil dari WHO (2010), Trends in Maternal Mortality: 1990 to 2008, Estimates Developed by WHO, UNICEF, UNFPA, and The World Bank.
2 Terrance Hull and Henry Mosley, Revitalization of Family Planning in Indonesia. GOI and UNFPA, Jakarta, February, 2009. http://www.itp-bkkbn.org/pulin/004_population_data_information.html
3 BPS-Statistics Indonesia and Macro International (2008), and, the Indonesia Young Adult Reproductive Health Survey (2007).
4 The Age Specific Fertility Rate (ASFR) untuk perempuan usia 15-19 tahun adalah 35 kelahiran per 1.000 perempuan usia 15-19tahun, dan untuk perempuan usia 20-24 tahun adalah 106 kelahiran per 1,000 perempuan usia 20-24 tahun (Hull and Hartanto ,2009, Fertility Estimates of Indonesia for Provinces: Adjusting Under-recording of Women in 2002-3,dan the 2007 IDHS, BPS dan UNFPA, Indonesia.
5 Sedgh G and Ball H, Abortion in Indonesia, In Brief, New York: Guttmacher Institute, 2008, No. 2.
6 Data dari Kantor Departemen Agama Kabupaten Gunungkidul, 2012.
7 Data dari Klinik Adhiwarga, Kehamilan Tidak Dikehendaki di Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010
Artikel terkait:
Seminar Hak Pendidikan Seks & Kesehatan Reproduksi Remaja, Jakarta, 18 Desember 2013
Seminar Hak Pendidikan Seks & Kesehatan Reproduksi Remaja, Bandung, 14 November 2013