Peningkatan Kapasitas / Workshop
Published: 30/01/2014
Renewing Commitments to Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR)
Pada 21-25 Januari 2014 telah berlangsung workshop Asia Pacific Conference on Reproductive and Sexual Health and Rights (APCRSHR) yang ke-tujuh di Manila. Tema yang diangkat tahun ini adalah “Examining Achievements, Good Practices and Challenges: Towards a Strategic Positioning of SRHR for all” dengan pembicara dari berbagai negara, salah satunya Indonesia. Kegiatan ini diadakan di Philippines International Convention Center (PICC) di Manila, Filipina. Seorang peneliti WRI mendapatkan kesempatan untuk menjadi pembicara di acara ini.
Asia Pacific Conference on Reproductive and Sexual Health and Rights (APCRSHR) adalah kegiatan dua tahunan yang diadakan untuk merespon status dari International Conference on Population and Development (ICPD) Plan of Action (POA), Millenium Development Goals (MDGs) mengenai Hak dan Kesehatan Reproduksi dan Seksual. Kegiatan ini telah dilakukan selama enam kali sejak tahun 2001 hingga 2011 dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan aktor-aktor pembangunan yang berasal dari kelompok yang beragam.
Salah satu peneliti WRI, Frisca Anindhita, terpilih menjadi salah satu pembicara pada hari ke-tiga parallel session APCRSHR dengan tema “Renewing Commitment to SRHR”. Sesi paralel ini menampilkan tiga pembicara, dua dari Indonesia yaitu Fasli Jalal dan Frisca Anindhita, dan satu pembicara dari Malaysia, Tey Nai Peng. Sesi ini mendiskusikan bagaimana rencana aksi yang dilakukan terhadap SRHR dalam mengatasi tantangan-tantangan yang ada. Sesi ini dibuka oleh Juan Antonio Perez III sebagai Chair dan didampingi oleh Sono Aibe sebagai Co-chair.
Prof. Fasli Jalal, MD. Ph.D, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, memulai presentasinya dengan menampilkan keberhasilan program Keluarga Berencana mulai dari tahun 1970-an hingga 1990-an akhir, dengan penurunan angka fertilitas yang signifikan dan peningkatan angka penggunaan kontrasepsi. Namun tantangan yang dihadapi saat ini adalah penggunaan alat kontrasepsi yang mengalami stagnasi. Namun sejak tahun 2007 respon kebijakan telah diambil untuk mengembangkan kapasitas sumberdaya di BKKBN baik di tingkat pusat, maupun provinsi, serta melibatkan peran serta sektor swasta di dalamnya.
Serupa dengan yang terjadi di Malaysia, Tey Nai Peng dari University of Malaya memaparkan adanya faktor kebijakan, hambatan institusi dan struktural, perubahan sosial dan perspektif individu dalam penggunaan kontrasepsi. Ia merekomendasikan untuk mendorong pemenuhan SRHR untuk perempuan, mengatasi masalah fertilitas kaum remaja, mengurangi aborsi yang terinduksi dan mengatasi kematian ibu.
Frisca Anindhita, memaparkan pentingnya merespon dan memberikan rekomendasi terhadap laporan dari Post 2015 Development Framework yang diluncurkan oleh High Level Panel Meeting of Eminent Persons (HLPEP) berdasarkan situasi yang ada di Indonesia, terutama pada goal terkait gender dan kesehatan perempuan. Post-2015 Development Agenda seharusnya melibatkan tidak hanya perempuan, tetapi juga kelompok-kelompok difabel, LGBT, youth, dan kelompok rentan lainnya.