Jurnal / Publikasi
Published: 28/10/2011
Artikel-artikel dalam Jurnal AFIRMASI merangkum kondisi serta posisi kiprah perempuan di ranah politik di Indonesia, yang dalam hal ini secara khusus adalah bidang politik formal. Istilah tindak afirmasi (affirmative action) misalnya, walau sudah dipakai hingga pada aras kebijakan nasional berupa kuota 30 persen perempuan (UU Pemilu 2003) sebagai salah satu kesuksesan aksi politik gerakan perempuan, ternyata masih menjadi kaidah yang cukup sulit bagi partai politik untuk menerjemahkannya ke dalam peraturan pada institusinya sendiri.
Pemikiran serupa juga menjadi obsesi seorang praktisi parlemen, Lena Maryana Mukti, yang tak henti bergiat agar partai politik berkehendak serta bertindak politik menempatkan perempuan-perempuan terbaik dalam posisi kunci pada kepengurusan partai dan wakilnya di parlemen.
Tulisan mengenai Sistem Kuota dan Zipper System oleh Aisah Putri Budiatri menjadi fokus jurnal ini karena memperkenalkan sejumlah pengertian dasar yang relevan untuk mengkaji kiprah perempuan di politik. Mengapa tindak afirmasi diperlukan sebagai upaya percepatan peningkatan jumlah perempuan anggota legislatif dalam proses pencalonannya? Bagaimana penerapan sistem kuota pada bangunan sistem perekrutan calon oleh partai politik? Apakah sistem kuota memadai untuk dapat mendorong partai politik sungguh-sungguh menempatkan perempuan-perempuan calon pada nomor urut kecil sehingga memperbesar kemungkinan mereka memperoleh kursi legislatif? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang memicu penelusuran tentang sistem kuota, pemahaman dasarnya, contoh-contoh penerapannya serta sisi kekuatan maupun kelemahannya.
Selain Fokus, ada dua tulisan lain di bagian Esai yang berkaitan dengan sistem ketimpangan relasi gender dalam arena politik. Chusnul Mar’iyah melengkapi ulasan kuota dengan membandingkan pengalaman DPR RI dengan lembaga parlemen Argentina. Sedangkan Kevin Evans mengupas secara jeli kelemahan sistem kuota dalam daftar calon dengan cara membandingkannya dengan sistem yang dipakai dalam pencalonan anggota DPR yang tidak menggunakan mekanisme khusus untuk meningkatkan jumlah perempuan yang dipilih atau dicalonkan. Sementara tulisan Esai lainnya adalah tentang Minahasa yang ditulis oleh Erni Agustini berusaha untuk menunjukkan bahwa secara budaya perempuan Minahasa sudah terbiasa berperan di ruang publik.
Sistem kuota 30 persen perempuan pada hakikatnya memberi kesempatan khusus kepada perempuan untuk memasuki dunia politik, merujuk pada konsep ketimpangan sosial budaya antara perempuan dan laki-laki sebagai subyek politik, yang terbukti nyata oleh rendahnya representasi atau keterwakilan kepentingan dalam kehidupan politik. Ketimpangan yang berdampak pada lebarnya jenjang titik berangkat untuk berpartisipasi memperjuangkan kepentingan di arena politik ditanggapi dengan tindakan afirmasi. Tindakan afirmatif merupakan intervensi struktural yang harus dilakukan sebagai tindakan darurat untuk memperbaiki ketimpangan yang ada dalam waktu yang cepat. Oleh karena itu penerapannya biasanya diikuti dengan penetapan jangka waktu dan pemantauan untuk melihat kemajuan yang dicapai. Jika titik awal yang relatif sama antara subyek-subyek politik perempuan dan laki-laki telah tercapai, maka ketentuan itu harus dicabut. Kuota 30 persen sebagai ketentuan struktural untuk mekanisme peningkatan keberadaan perempuan di arena politik hanya akan bekerja efektif apabila diikuti dengan penggarapan sosial budayanya mempersiapkan perempuan untuk dapat mengisi peluang yang telah dibuka.
Perempuan dalam budaya patriarki pada umumnya dikonstruksikan secara sosial dan politik untuk menyandang peran, mengemban karakter serta berperilaku pada “ruang gerak” yang dinamai ranah privat (pribadi). Kadarnya memang bervariasi dari yang ekstrim eksklusi hingga yang lebih moderat serta yang lebih cair berfusi. Walaupun kadarnya berbeda-beda, namun semuanya tetap bersifat menghambat dalam arti tidak membiasakan perempuan untuk mampu berkiprah pada ranah publik. Ada semacam hadangan sosial-politik yang membuat perempuan harus menggandakan modal dan daya yang harus dikeluarkan lebih berat dan pelik dibandingkan dengan laki-laki saat memasuki dunia politik. Hal ini banyak ditunjukkan oleh angka, persentase, tabel maupun isi petikan, persepsi dan pengalaman-pengalaman langsung kaum perempuan yang tersaji pada tulisan-tulisan di jurnal ini.
Berbagai tulisan yang dihimpun dalam bagian Telaah menyajikan variasi dan keunikan konteks sosial budaya lokal, masing-masing di Aceh, Pontianak, Mataram dan Surakarta serta pengaruhnya pada perwujudan kompetensi kaum perempuan di bidang legislatif. Aris Arif Mundayat dan Siany Indria Liestyasari memaparkan pengalaman empirik perempuan calon anggota legislatif yang benar-benar menunggu izin suami untuk memutuskan pencalonan dirinya. Jika izin tidak diperoleh, maka “tidak maju” adalah pilihan yang diambil. Hal ini bersifat mutlak, tidak berani dilanggar. Apapun aturan formal yang mendukungnya.
Aisah Putri Budiatri mengurai Pontianak melalui cerita perempuan kader partai politik, yang menurut pimpinan partainya (laki-laki) dinilai jauh lebih setia, aktif dan handal dalam modal sosialnya sehingga berfungsi jauh lebih menguntungkan untuk penjaringan konstituen partai daripada kader laki-laki. Tetapi “jabatan fungsional” tersebut masih jauh panggang dari api dengan jabatan strukturalnya pada kepengurusan partai. Dampaknya jauh hingga ke peluang pencantuman nama pada daftar calon legislatif yang diusulkan partai. Erni Agustini menuliskan pengalaman Aceh dalam penyelenggaraan Pemilu 2009 yang mencatat lahirnya partai politik perempuan Aceh, Partai Aliansi Rakyat Aceh Peduli Perempuan (PARA). PARA tidak lolos verifikasi peserta Pemilu 2009. Tulisan ini berusaha menelusuri penyebabnya serta kemungkinan permasalahan gendernya.
Telaah Ika Wahyu Priaryani menyajikan pengalaman perempuan aktivis di Mataram yang cukup banyak jumlahnya sebanding dengan banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat yang tumbuh subur sejak era 80-an yang lebih terserap daya dan energi untuk mengurusi persoalan-persoalan sosial politik yang korbannya perempuan seperti buruh migran, Angka Kematian Ibu (AKI) tinggi serta kemiskinan pada umumnya, sehingga peluang-peluang kegiatan politik yang melatih merebut kekuasaan acapkali terlewatkan. Kegiatan mereka jelas berdimensi politik, tetapi dalam batasan konvensional lingkup politik, tidak termasuk wilayah kerja partai politik formal. Disanalah terlihat jelas bahwa terminologi dan lingkup politik sangat bias gender, dan didominasi otoritas pemaknaan patriarkal.
Dengan lensa gender jugalah budaya maskulinisme diteropong. Tulisan “Tampilan Perempuan Calon Anggota Legislatif: Ratifikasi Budaya Maskulinisme” yang menganalisis isi tampilan kampanye perempuan calon anggota legislatif mengajak pembaca untuk meneropong bahwa gender tidak hanya menegakkan rambu-rambu perilaku tertentu, namun juga mengatur struktur dan pelembagaan manajemen sosial masyarakat. Tidak hanya partai politik, namun juga organisasi dan lembaga pada umumnya, hingga negara, termasuk di dalamnya pengaturan dan penatakelolaannya, berbudaya maskulin.
Apabila para penggiat kepentingan perempuan berupaya menghapuskan diskriminasi, dengan sasaran khusus anggota parlemen penentu kebijakan, hanya dengan nyemplung atau terjun mengikuti arus utama politik, maka mereka tidak akan memperoleh medan aksi yang sebenarnya cukup luas, yang terbuka bagi perjuangan-perjuangan feminis ditengah-tengah banyak pertarungan politik melawan semua bentuk dominasi. Pengetahuan pun perlu revolusi. ***
Jurnal Afirmasi Vol. 1
Penulis: Aisah Putri Budiatri, Aris Arif Mundayat, Chusnul Mar’iyah, Edriana Noerdin, Erni Agustini, Ika Wahyu Priaryani, Kevin Evans, Myra Diarsi, Sita Aripurnami dan Siany Indria L.
Redaksi: Edriana Noerdin, Myra Diarsi, Sekar Pireno KS dan Sita Aripurnami
Penerbit: Women Research Institute, 2011
Tebal: iv +155 halaman
ISSN: 2089-0281
Harga: Rp. 75.000,-