2014 / Liputan Media / Media
Published: 17/01/2014
Kamis, 16 Januari 2014 | 15:49 WIB
Dalam perjuangan kemerdekaan nasional yang panjang dan juga berdarah-darah melawan kolonialisme dan imperialisme hingga Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 45, tidak ada yang meragukan bahwa kaum perempuan pun terlibat; tak hanya di garis belakang tetapi juga di garis depan. Bung Karno, Presiden pertama RI mengungkapkan dalam Sarinah, Kewajiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia, yang merupakan kumpulan tulisan selama kursus kader wanita di Jogjakarta bahwa Negara Republik Indonesia adalah juga Negara Persatuan Nasional antara lelaki dan perempuan. Di dalam Negara Republik Indonesia itulah perempuan dan lelaki yang sama-sama menjadi Warga Negara bersama-sama berjuang untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Dengan begitu lelaki dan perempuan sama-sama menikmati kebahagiaan dan kemakmuran dalam Negara Republik Indonesia.
Akan tetapi setelah hampir 69 tahun Proklamasi Kemerdekaan 45 itu, kaum perempuan Indonesia masih ternistakan baik dalam bentuk pemerkosaan, pelecehan seksual, mengalami diskriminasi maupun menjadi bagian terbesar dari Rakyat Indonesia yang miskin. Usaha-usaha untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender terus diupayakan sampai kini seperti mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 2009-2014 untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender disingkat RUU KKG.
“RUU KKG sudah saatnya dituntaskan pembahasannya oleh DPR RI karena keberadaannya merupakan pengejawantahan dari mandat pemenuhan hak konstitusional warga Negara, terutama perempuan yang dijamin oleh Konstitusi,” kata Ratna Batara Munti mewakili Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan – JKP3 dalam konfrensi pers sesudah Seminar Publik yang membahas Representasi Politik Perempuan: RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender di Jakarta (16/1).
Menurut Ratna, dengan kembali tertundanya pembahasan RUU ini tentu akan menyebabkan upaya mewujudkan komitmen Negara dalam menciptakan kondisi yang setara bagi perempuan dan lelaki dalam mengakses manfaat pembangunan menjadi makin tertunda. Penundaan ini tentu akan berimplikasi juga terhadap makin lambatnya upaya Negara untuk mewujudkan kesejahteraan warga Negara melalui penghapusan diskriminasi atas dasar jenis kelamin. Penundaan ini juga membuat DPR RI hingga awal tahun 2014 belum menghasilkan satu pun produk legislasi yang berpihak pada kepentingan perempuan.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Direktur Center for Election Political Party Fisip UI, CEPP FISIP UI, Chusnul Mariyah menyatakan Partai Politik yang ingin menang pemilu seharusnya memanggil separoh pemilih yaitu kaum perempuan dengan mendukung RUU KKG ini. Itulah transaksi politik yang jelas untuk melindungi warga Negara perempuan.
“Ada 342 Perda yang mendiskriminasi perempuan. Satu Perda rata-rata menghabiskan biaya paling kecil 400 sampai 600 juta rupiah. Biaya yang besar itu juga dibayar oleh kaum perempuan. Ironisnya dipakai untuk mendiskriminasi kaum perempuan,” tambah Chusnul Mariyah.
Langkah-langkah untuk mendesakkan RUU ini pun sudah disusun. Frisca Anindhita dari Women Research Institute, WRI, menjelaskan akan mengundang atau mendatangi Partai-Partai Politik atau Pimpinan Internal Partai. Bila perlu, “Turun ke jalan,” tegasnya.
Link berita: Segera Sahkan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender!