Siaran Pers
Published: 06/12/2010
Satu Desa, Satu Polindes, Satu Bidan
Pada tahun 2010, Human Development Index (HDI) untuk Indonesia, seperti yang dipublikasikan oleh the United Nations Development Program (UNDP), meningkat dari 107 menjadi 111. Beberapa indikator utama HDI berhubungan dekat dengan kesehatan, termasuk Tingkat Harapan Hidup, Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Ibu (AKI). Tingginya AKI di Indonesia pada tahun 2009 menyebabkan menurunnya posisi HDI Indonesia.
Tingginya AKI mencerminkan tidak memadainya pelayanan kesehatan reproduksi untuk perempuan miskin yang sedang hamil dan sulitnya perempuan miskin untuk mengakses pelayanan kesehatan reproduksi. Apa yang sebaiknya dilakukan jika Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di kota, Puskesmas di wilayah kecamatan dan bidan yang tinggal di desa dianggap terlalu mahal dan terlalu jauh oleh perempuan miskin yang tinggal di daerah-daerah terpencil? Strategi yang diterapkan seharusnya membawa fasilitas kesehatan reproduksi mendekati rumah penduduk. Dan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan “Satu Desa, Satu Polindes, Satu Bidan” dan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk menerapkannya dalam mengatasi kurangnya ketersediaan pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan miskin yang sedang hamil. Kebijakan tersebut sebaiknya mewajibkan pemerintah menyediakan tempat untuk membangun Pondok Persalinan Desa (Polindes) dan tempat tersebut sebaiknya berada di tengah desa. Saat ini, karena masyarakat yang harus menyediakan tempat untuk Polindes, mereka memberikan tanah di daerah terpencil yang tidak layak untuk ditinggali. Kebijakan ini sebaiknya juga mengatur agar pemerintah menyediakan anggaran yang mencukupi untuk melengkapi Polindes dengan listrik, air bersih, sanitasi dan peralatan yang memadai untuk persalinan.
Kebijakan ini sebaiknya juga mengatur bahwa satu bidan harus tinggal di setiap Polindes agar bidan dapat diakses selama 24 jam sehari. Agar dapat menjadi pelopor yang efektif dalam menghentikan tingginya AKI di Indonesia, kebijakan “Satu Desa, Satu Polindes dan Satu Bidan” perlu didukung asuransi kesehatan umum yang mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Namun asuransi kesehatan umum sendiri sebaiknya tidak diperlakukan sebagai ujung tombak dalam mengurangi AKI.
Temuan penelitian Women Research Institute (WRI) tentang Akses dan Pemanfaatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi Perempuan Miskin di Tujuh Kabupaten/Kota di Indonesia (Lampung Utara, Lebak, Indramayu, Jembrana, Lombok Utara, Sumbawa Barat dan Surakarta), tahun 2007-2008 memperlihatkan bahwa meskipun mayoritas populasi dilindungi oleh asuransi kesehatan yang disediakan oleh pemerintah (Askeskin atau Jaminan Kesehatan Masyarakat/Jamkesmas) serta adanya Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), mereka tetap sulit mengakses pelayanan kesehatan karena jauhnya jarak menuju fasilitas kesehatan tersebut. Kondisi alam yang bergunung-gunung, jalan rusak dan kurangnya transportasi umum juga menjadi penyebab sulitnya mereka mengakses pelayanan kesehatan. Fasilitas kesehatan tersebut tidak dapat diakses oleh perempuan miskin karena mereka harus membayar ongkos transportasi yang relatif mahal karena biaya transportasi tidak tercakup di dalam asuransi kesehatan. Idealnya, semua perempuan miskin dilindungi oleh asuransi dan mereka dapat dengan mudah pergi ke Polindes di desa mereka masing-masing untuk mendapatkan pelayanan bersalin secara gratis.
Jamkesmas sendiri perlu diperbaiki agar menjadi fasilitas pendukung yang efektif untuk kebijakan “Satu Desa, Satu Polindes dan Satu Bidan”. Dulu, penyebaran informasi tentang Askeskin tidak efektif. WRI menemukan bahwa banyak masyarakat miskin yang tidak mengetahui apapun tentang Askeskin atau bagaimana cara mendapatkannya. Alasan-alasan mengapa banyak keluarga yang benar-benar miskin tidak tercatat sebagai peserta asuransi adalah karena, 1) Masyarakat miskin tidak memiliki akses untuk mendapatkan informasi tentang Askeskin; dan 2) Masyarakat miskin mengalami banyak kesulitan dalam mendapatkan kartu identitas karena kurangnya informasi, kurangnya sumber daya ekonomi atau karena mereka adalah penduduk baru di wilayah tersebut.
Masyarakat miskin memiliki posisi tawar yang rendah dibandingkan dengan mereka yang menggunakan wewenang dan koneksi keluarga untuk memaksa petugas yang berwenang memasukkan mereka sebagai peserta Askeskin. Seorang petugas Posyandu di Sangkrah mengakui bahwa seleksi peserta Askeskin yang dilakukan di kantor kecamatan tidak merujuk pada kriteria keluarga miskin seperti yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Koneksi keluarga dan alasan pribadi atau sosial justru menjadi kriteria seleksi sehingga penduduk yang tidak miskin juga mendapatkan kartu Askeskin.
Sistem pengembalian klaim Askeskin/Jamkesmas juga perlu diperbaiki. Saat ini, klaim untuk persalinan memerlukan waktu pemrosesan yang lama membuat bidan enggan memberikan pelayanan gratis untuk pasien Askeskin. Menurut peraturan, proses klaim seharusnya selesai dalam dua atau tiga minggu, namun, dalam prakteknya, membutuhkan waktu yang lama, bahkan sampai enam bulan. Kelambatan proses klaim ini mengganggu keuangan Puskesmas.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana mendorong kebijakan “Satu Desa, Satu Polindes dan Satu Bidan” berjalan efektif dengan dukungan alokasi anggaran yang memadai. Menurut Prof. Mahmoud Fathalla, hambatan utama untuk membuat kebijakan dan memberikan alokasi anggaran adalah para pembuat kebijakan, yang sebagian besar laki-laki, yang tidak memandang kehidupan perempuan miskin layak untuk diselamatkan. Realitas ketidaksetaraan gender yang mengakibatkan sulitnya mempromosikan kebijakan dan alokasi anggaran yang berbasis gender menjadi salah satu hambatan yang paling sulit dalam usaha untuk mengurangi AKI di Indonesia. Kebijakan “Satu Desa, Satu Polindes dan Satu Bidan” hanya akan berhasil menjadi pelopor pengurangan AKI secara drastis jika diikuti dengan pendidikan keadilan dan kesetaraan gender untuk para pembuat keputusan agar mereka memahami bahwa hidup perempuan juga layak diselamatkan sama seperti hidup laki-laki.
Keberhasilan mempengaruhi pembuat keputusan untuk mengeluarkan kebijakan dan mengalokasikan dana untuk kebijakan “Satu Desa, Satu Polindes dan Satu Bidan” sebaiknya juga disertai dengan pendidikan publik tentang keadilan dan kesetaraan gender. Temuan penelitian WRI mendokumentasikan banyaknya kasus perempuan miskin yang tidak memiliki wewenang atas tubuhnya sendiri dan bahwa keputusan tentang hidup dan matinya selama persalinan berada di tangan suami dan keluarganya. Bertahannya ketidaksetaraan gender di dalam masyarakat yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi daripada perempuan akan mengurangi efektivitas kebijakan “Satu Desa, Satu Polindes dan Satu Bidan” dalam menjangkau perempuan miskin yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Suami dan keluarga menganggap tidak ada gunanya membawa perempuan yang mengalami pendarahan dan komplikasi ke Polindes yang berada di bagian lain dari desa tersebut karena hidup perempuan tidak dianggap penting untuk diselamatkan.
Transformasi Jamkesmas menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) akan mendorong efektifnya implementasi kebijakan “Satu Desa, Satu Polindes dan Satu Bidan”. Jamkesnas digunakan untuk memenuhi mandat Pasal 5 Ayat 1 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan yang menegaskan: “Setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan akses atas sumber daya di bidang kesehatan”. Pasal 5 Ayat 2 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan menyatakan, “Setiap orang memiliki hak untuk menerima pelayanan kesehatan yang aman, berkualitas, dan terjangkau”. Ini berarti bahwa Pemerintah Indonesia memandang pelayanan kesehatan sebagai hak setiap warganegara. Setiap orang, apakah laki-laki atau perempuan, apakah mampu secara ekonomi atau dikategorikan sebagai masyarakat miskin, memiliki hak atas pelayanan kesehatan. Untuk memperkuat komitmen atas hak kesehatan ini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi atas Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada tahun 2006. Salah satu konsekuensinya adalah negara diharapkan menjamin pemenuhan hak atas kesehatan, termasuk fasilitas kesehatan yang terjangkau dan mekanisme penyelesaian hukum bagi pelanggar hak kesehatan tersebut. Tanggung jawab pemerintah untuk menjamin kesehatan masyarakat diperkuat dengan Pasal 20 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan yang menyatakan, “Pemerintah bertanggung jawab untuk menjamin kesehatan masyarakat melalui suatu sistem jaminan sosial nasional untuk kesehatan perorangan”. Peraturan ini mengindikasikan bahwa pemerintah harus membayar premi asuransi kesehatan untuk warganegara dengan mengimplementasikan program Asuransi Kesehatan Menyeluruh.
Menanggapi banyaknya usulan untuk mengevaluasi Jamkesmas, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengungkapkan perhatiannya pada sistem pengembalian asuransi kesehatan sebelumnya, misalnya proses pengembalian klaim. Untuk memastikan proses tersebut berjalan dengan mulus, Menteri Kesehatan mengkaji berbagai peraturan yang ada yang berkaitan dengan asuransi kesehatan. Lebih jauh lagi, Menteri Kesehatan menjelaskan bahwa sistem Jamkesmas memang kontradiktif dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Menteri sedang membuat draf pemetaan untuk program kesehatan nasional. Jamkesmas berangsur-angsur akan diubah menjadi asuransi nasional. Pada tahun 2014 diharapkan tercapai jaminan kesehatn semesta yang menjangkau seluruh penduduk. “Iuran orang miskin dibayar pemerintah, sedangkan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) dibayar pekerja dan pemberi kerja,” ujar Menteri Kesehatan.
Jamkesnas akan menjadi pemanis untuk membantu pelaksanaan kebijakan “Satu Desa, Satu Polindes dan Satu Bidan” berjalan dengan efektif. Kasus Jembrana menunjukkan bahwa akan muncul dampak yang bermanfaat bagi pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan jika pemerintah memiliki kemauan politik untuk memperkenalkan asuransi kesehatan yang melindungi seluruh penduduk. Hal yang membuat kasus Jembrana ini makin menarik adalah karena Jembrana dikategorikan sebagai kabupaten miskin dalam Indeks Kemiskinan yang dikeluarkan oleh SMERU Research Institute. Sumber daya yang terbatas tidak mengecilkan hati Pemerintah Daerah Jembrana untuk mengimplementasikan suatu kebijakan asuransi di tingkat kabupaten yang menyediakan pelayanan kesehatan gratis untuk seluruh penduduknya, termasuk perempuan miskin. Alokasi anggaran kesehatan per orang di Jembrana pada tahun 2007 sangat tinggi, yaitu Rp. 151.043 per orang, jauh lebih tinggi dari Kota Surakarta yang jauh lebih kuat secara finansial, namun hanya mengalokasikan Rp. 65.934 per orang. Tidak mengherankan bahwa AKI di Jembrana sangat rendah, yaitu 55/100.000 persalinan hidup yang jauh lebih rendah dari rata-rata nasional dan telah melampaui target MDGs untuk tahun 2015, yaitu 102/100.000 persalinan hidup.