Peningkatan Kapasitas / Training
Published: 02/11/2010
Sebagai lembaga penelitian yang memperjuangkan terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil gender, Women Research Institute (WRI) ingin mendorong dan menguatkan kapasitas para peneliti untuk memiliki kemampuan meneliti dengan pengetahuan dan keterampilan yang terus berkembang. Dengan demikian komunitas penelitian semakin menguat dan mampu mengembangkan sektor pengetahuan di berbagai daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, WRI melakukan rangkaian kegiatan peningkatan kapasitas dalam pengembangan sektor pengetahuan berupa ‘Training Metodologi Feminis untuk Pengembangan Pengetahuan’ pada 27 sampai 29 Oktober 2010 di Jakarta. Kegitan ini sebagai lanjutan dari program peningkatan kapasitas sebelumnya yaitu ‘Training Analisis Gender’. Metodologi Feminis menjadi begitu penting karena dapat membantu dan memberikan kerangka kerja bagi kita yang sedang bekerja dan menaruh perhatian pada persoalan perempuan. Metode ini mengingatkan kita perlu menghargai keanekaragaman pandangan dan pendapat dan tidak ada kebenaran mutlak terhadap segala sesuatu. Cara pandang ini mengkritisi metode yang selama ini dianut dan digunakan, terutama penelitian sosial ataupun penulisan ilmiah, yang percaya bahwa kuantitas dapat merujuk kepada adanya kebenaran sosial. Metode ini juga mengajak kita untuk melihat, mendengar dan selalu bertanya serta melakukan interaksi baik dengan orang lain maupun diri sendiri untuk menghadirkan sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik bagi perempuan dan masyarakat.
Tujuan
Meningkatkan pemahaman peneliti terhadap cara-cara mengenali teori feminis dan pilihan-pilihan metodologinya yang berkaitan dengan persoalan perempuan dan sektor pengetahuan lainnya.
Mengembangkan jaringan forum belajar metodologi di kalangan peneliti.
Capaian
-
Peserta dapat memahami metodologi penelitian feminis, termasuk sumber dan filosofi landasan teori maupun praxisnya.
-
Peserta meningkatkan kapasitasnya sebagai peneliti dengan meraih sumber-sumber acuan dan rujukan baru tentang penelitian feminis.
-
Peserta mampu mengkaji perkembangan teori praxis feminis, termasuk menyelaraskan diri dengan etika feminis.
-
Peserta mampu membiasakan diri mengelola suatu penelitian dengan keterampilan manajemen yang memadai.
Peserta
Diskusi akan diikuti oleh 20 orang peserta terdiri dari peneliti yang berasal dari perwakilan lembaga jaringan WRI di 6 wilayah yaitu: Surakarta, Manado, Kupang, Mataram, Padang, Makassar serta representasi lembaga di Jakarta yang fokus kegiatannya adalah penelitian serta staf peneliti WRI.
Fasilitator: Myra Diarsi, Aris Arif Mundayat
Narasumber: Widjajanti Isdijoso Suharyo (Deputy Director SMERU Research Institute), Ida Ruwaida (Ketua Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP Universitas Indonesia), Theodora J. Erlijna (Institute Sejarah Sosial Indonesia)
Proses
Pelatihan yang dilakukan oleh WRI mengenai penggunaan metode feminis dalam penelitian sosial merupakan hal baru bagi peserta yang terdiri dari 20 orang. Pelatihan ini merupakan pendalaman dan klarifikasi beberapa hal konseptual maupun teknis sembari merefleksikan metode penelitian yang telah mereka lakukan. Sedangkan bagi peneliti baru pelatihan berfungsi sekaligus untuk mengenal dan memahami secara utuh agar kemudian dapat menggunakannya.
Sebelum masuk sesi pertama, peserta mengisi lembar pre-test untuk assessment mengetahui pengetahuan peserta sebelum pelatihan. Pertanyaan di dalam pre-test ada lima, secara umum mengenai perspektif feminis, gunanya dalam penelitian, lingkup metodologi feminis dan perencanaan penelitian. Selain itu pertanyaan mengenai relasi gender, perspektif feminis, dan metode penelitian feminis. Jawaban diberikan secara terbuka sebagaimana peserta mampu menjelaskannya.
Bagi kebanyakan peserta, istilah maupun terminologi baru sebatas dikenal dan belum terlalu dipahami, namun yang menggembirakan mereka mencoba mengaitkan metode penelitian dengan kepentingan perempuan maupun kebutuhan perkembangan pengetahuan penelitian. Harus dicatat bahwa peserta dari lembaga penelitian umum yang sebelumnya sama sekali belum terpapar, dan baru sebatas mendengar saja, perspektif feminis belum diketahui. Demikian pula instrumen dasar kajian feminis, sebut saja misalnya relasi gender. Keragaman tingkat pengetahuan ini penting bagi WRI agar mampu menyampaikan pelatihan sesuai dengan kebutuhan peserta dan sejalan dengan ‘method of knowing’. Bagi peserta yang setidaknya telah pernah menggunakan perspektif feminis dalam pengetahuan penelitiannya, mengisi pre-test menjadi refreshment untuk apa yang telah menjadi pengetahuan dan semacam pancingan untuk menelusur lebih mendalam.
Peserta pelatihan berasal dari berbagai lembaga non pemerintah yang memiliki kegiatan penelitian untuk advokasi maupun penelitian untuk perubahan sosial. Pengetahuan mereka tentang metodologi penelitian sebelum mengikuti pelatihan tersebut adalah metode yang bersifat genderless. Meskipun demikian peserta mengetahui bahwa relasi gender dalam dunia sosial budaya merupakan fenomena yang dibentuk oleh faktor sosial budaya itu sendiri dari generasi ke generasi yang lain. Ini artinya peserta pada saat sebelum mengetahui tentang metode penelitian feminis, menyangka bahwa metode penelitian itu tidak perlu sensitif gender. Akibatnya ketika hal itu diterapkan pada penelitian maka efek dari adanya problem relasi gender tetap terbawa dan mempengaruhi hasil penelitian.
Pelatihan metode penelitian feminis WRI mengungkapkan kepada peserta bahwa ‘method of knowing’ memiliki pijakan yang sangat berbeda dengan metode penelitian umum (positivis) yang tidak memperhatikan aspek relasi gender yang mengkondisikan kaum perempuan mengembangkan perilaku yang khas dalam kehidupan sosialnya. Untuk memahami fenomena sosial tersebut peserta diajak untuk mengetahui sejarah perkembangan pemikiran feminis, dan bagaimana pemikiran tersebut secara signifikan mempengaruhi landasan berfikir ilmu sosial yang berperspektif feminis. Hal tersebut kemudian bertujuan untuk memahami fenomena sosial budaya yang dipraktekkan oleh perempuan tidaklah terlepas dari konstelasi struktural yang terkondisikan oleh dominasi budaya kaum laki-laki. Oleh karena itu perlu pendekatan yang secara spesifik mampu mengupas suara dan tindakan perempuan guna membongkar bagaimana kondisi sosial budaya yang ada telah memposisikan kaum perempuan sebagai subjected subjects dari budaya yang terdominasi laki-laki.
Pemahaman tersebut di atas kemudian disampaikan pada peserta pelatihan melalui metode yang interaktif sifatnya. Peserta berdiskusi aktif setelah materi pokok mengenai metode penelitian feminis disampaikan kepada peserta oleh masing-masing pemateri. Pelatihan ini menghadirkan empat orang pelatih yang memiliki pengalaman dalam menggunakan metode penelitian feminis, memiliki pengalaman dalam mengelola penelitian, dan berpengalaman dalam menganalisis fenomena sosial yang menggunakan perspektif feminis baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Diskusi aktif yang berkembang dalam pelatihan menunjukkan antusiasme peserta untuk mengetahui tentang metode penelitian feminis dan bagaimana mempraktekannya dalam penelitian lapangan. Peserta juga memperoleh pengetahuan tentang pengelolaan penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti yang melibatkan banyak orang secara kelembagaan.
Selain diskusi aktif, peserta juga diajak untuk ikut aktif dalam pembuatan rancangan penelitian. Dalam sesi ini, peserta diajak untuk memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah sosial, politik, budaya dan ekonomi yang dihadapi, dan dilakukan oleh perempuan. Kemudian diteruskan dengan meningkatkan kemampuan analisis dengan melakukan review literature guna memahami fenomena yang akan di kaji. Dalam hal ini strategi yang dikembangkan dalam pelatihan adalah melakukan pengelompokan peserta ke dalam sejumlah tema penelitian yang sesuai dengan minat peserta. Setelah dikelompokkan, pertama-tama peserta diajak untuk mampu menuliskan latar belakang suatu fenomena sosial kaum perempuan itu penting untuk diteliti; Bagaimana menulis sebuah review literatur dengan memahami asumsi dasar dari argumen yang ada dalam literatur guna memahami kelebihan dan kelemahan dari literatur tersebut; Bagaimana merumuskan pertanyaan kunci yang harus dijawab dalam penelitian, dan sekaligus menurunkan pertanyaan tersebut menjadi lebih operasional ke dalam pedoman wawancara maupun questioner; Bagaimana merumuskan strategi pengumpulan data yang bersperspektif feminis untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Pengalaman ini merupakan upaya untuk mengajak peserta agar memiliki pengalaman bagaimana menulis sebuah proposal penelitian yang menggunakan metode dan perspektif feminis.
Pada akhir pelatihan, peserta secara bersama-sama melakukan post-test. Bagi peserta, hal ini merupakan kesempatan untuk secara ringkas merangkum hal-hal penting yang dipelajarinya dalam pelatihan. Tatkala dibandingkan antara pre-test dan post-test, dengan jelas dapat dilihat perubahan dari tidak tahu istilah, teknik menjadi paham terminologi dan untuk apa menggunakannya. Dari yang sebatas kenal (hafal) definisi menjadi mempertimbangkan pentingnya prinsip kemajemukan sampai heterodoxa. Bagi WRI, post-test juga bermanfaat sebagai indikator bahwa pelatihan dijalankan sebagaimana tujuannya mengembangkan pengetahuan para peneliti. Selain itu juga mengevaluasi keseluruhan program pelatihan untuk perbaikan cara dan strategi pelatihan-pelatihan yang akan datang, sehingga kualitas pelatihan akan menjadi lebih baik. ***
Unduh: