Penelitian
Published: 04/12/2013
Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1999 telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan politik dan administrasi keuangan daerah secara mandiri. Dengan mempertimbangkan kebutuhan untuk mengarusutamakan isu-isu gender dalam kebijakan lokal, pemerintah Indonesia telah menerbitkan peraturan perundang-undangan, termasuk menyertakan pentingnya pengarusutamaan gender dalam GBHN 1999.
Penelitian ini merupakan upaya awal untuk mengevaluasi implementasi kebijakan pengarusutamaan gender dalam peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Penelitian terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat di 10 kota atau kabupaten di Jawa, Sumatra, Bali, dan Nusa Tenggara akan dilakukan dalam dua tahap: tahap pertama adalah kebijakan kualitatif peraturan lokal menggunakan metodologi penelitian feminis, sedangkan fase kedua adalah evaluasi dampak peraturan lokal kepada masyarakat melalui wawancara mendalam (in-depth interviews). Fase pertama sudah diselesaikan dan fase kedua sedang dirancang berdasarkan hasil penelitian fase pertama.
Memulai dan Berbagi Pengalaman Penelitian Feminis: Fase Pertama Penelitian
Fase pertama penelitian WRI adalah studi tekstual Peraturan Daerah (Perda) yang dikumpulkan dari sepuluh daerah berbeda. Ini merupakan langkah awal untuk melihat bagaimana ranah publik dan peran politik perempuan dipahami, direpresentasikan, dan diatur dalam konteks otonomi daerah. Penting melihat apakah peraturan daerah berubah setelah berlakunya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dengan pemberlakuan UU Nomor 7 tahun 1984 dan Keputusan Presiden Nomor 9 tahun 2000 pada tingkat nasional. Studi tekstual dibutuhkan untuk memahami asumsi politik yang mendasari pembuatan kebijakan di tingkat daerah.
WRI telah memilih sembilan kabupaten dan kota serta satu provinsi sebagai lokasi pemerintahan dengan kriteria sebagai berikut: (1) lokasi-lokasi tersebut merefleksikan perbedaan daerah-daerah Jawa dan non-Jawa karena perbedaan perkembangan dan konteks budaya yang berhubungan dengan perkembangan ekonomi yang tidak setara dalam kedua daerah; (2) daerah-daerah yang cenderung menghidupkan kembali nilai-nilai Islami seperti di Jawa Barat (Sukabumi dan Tasikmalaya), Sumatra Barat (Solok), Nusa Tenggara Barat (Mataram) dan Nanggroe Aceh Darussalam, serta daerah-daerah non-muslim seperti Bali (Gianyar) dan Nusa Tenggara Timur (Kupang); (3) daeah-daerah konflik seperti Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh), dan Kalimantan (Samarinda dan Kutai Barat).
Pentingnya penelitian ini adalah, pertama, untuk memperkaya hasil penelitian terkait kedudukan perempuan dalam peraturan daerah di berbagai daerah dengan menggunakan metodologi feminis. Kedua, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pemetaan kebutuhan praktis dan strategis dalam mendukung keterlibatan perempuan dalam politik lokal untuk berkontribusi lebih lanjut pada proses demokratisasi yang sensitif gender.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan perspektif feminis dalam analisis tekstualnya. Peraturan daerah yang telah dikumpulkan selama masa penelitian dibaca dan dianalisis dari perspektif feminis untuk meneliti asumsi netral gender dalam peraturan-peraturan tersebut. Kajian tekstual dalam pendekatan teori kritis menyediakan alat-alat yang dibutuhkan untuk menganalisis penggunaan bahasa oleh pemerintah untuk mengidentifikasi permainan kuasa dari strukturnya, termasuk inklusi dan eksklusi kepentingan dan isu-isu kelompok-kelompok yang kurang berkuasa dari kelompok-kelompok dominan yang termasuk di dalamnya. Dalam paradigma feminis, fokusnya adalah pada penyertaan dan pengecualian kepentingan para perempuan oleh pemerintahan yang patriarkal.
Fase pertama penelitian WRI dilakukan melalui kerja sama erat dengan peneliti lokal di setiap daerah. Dimulai dengan pelatihan penelitian feminis, para peneliti lokal dilibatkan dalam perencanaan, analisis, dan proses pelaporan penelitian. Serangkaian kegiatan dengan peneliti lokal merupakan upaya untuk berbagi pengetahuan dalam penelitian feminis dan memfasilitasi kepentingan peneliti lokal untuk mengembangkan metode ini dalam kawasan masing-masing.
Hasil Penelitian Tahap Pertama
Hasil dari penelitian tahap pertama kami menunjukkan bahwa beberapa daerah seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Gianyar telah mengidentifikasi adanya diskriminasi berbasis gender dalam kawasan masing-masing. Kajian lebih lanjut mengenai bagaimana setiap daerah bereaksi kepada diskriminasi melalui peraturan daerah menjadi fokus dalam fase pertama ini. Kajian tekstual dari peraturan daerah dilakukan untuk mengetahui: (1) bagaimana daerah-daerah mengatur keterlibatan perempuan dalam pembuatan kebijakan daerah melalui institusi politik, dan (2) bagaimana perempuan direpresentasikan dalam peraturan lokal yang menentukan jenis peraturan yang dibuat berdasarkan asumsi representasi mereka.
Peraturan yang Diam: Perempuan dalam Politik Lokal
Meskipun daerah-daerah seperti Nanggroe Aceh Darussalam dan Gianyar telah mengakui adanya permasalahan ketidakadilan gender dan diskriminasi, serta merespon dengan merumuskan seperangkat kebijakan untuk diberlakukan, tidak ada UU yang dibuat secara spesifik untuk mendukung partisipasi perempuan dalam pembuatan kebijakan lokal. Persentase perempuan di badan legislatif di lokasi penelitian berkisar antara 0-12 persen, jauh dari persyaratan 30 persen yang direkomendasikan oleh UU Pemilu tahun 1999.
Interpretasi Islam juga memiliki peran yang signifikan dalam membatasi akses perempuan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan di tingkat lokal. Meskipun isi Perda sendiri netral gender, namun konteks budaya dalam pengimplementasiannya menghalangi partisipasi perempuan. Sebagai contoh, di Tasikmalaya, lima perempuan ditunjuk sebagai Camat namun keputusan tersebut ditentang oleh DPRD. Alasan penolakan tersebut didasari argumen bahwa Islam lebih mengutamakan pemimpin laki-laki dibanding pemimpin perempuan. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa pernyataan eksplisit yang mendorong partisipasi perempuan dalam politik sangat krusial untuk menegaskan posisi pemerintah lokal dalam menyikapi isu diskriminasi berbasis gender. Peraturan yang netral gender memperlama diamnya penegakan aturan serta menyisakan kesempatan terjadinya kembali praktik-praktik diskriminatif berdasarkan representasi stereotipikal tentang perempuan. Perbaikan pada peraturan terkait representasi perempuan dibutuhkan untuk dapat memproduksi produk-produk legal yang dapat mengakhiri diskriminasi pada perempuan.
Peran Apa?: Representasi Perempuan di Perda
Secara tradisional, peran perempuan telah selalu dialokasikan pada peran domestik, sehingga dibatasi pada praktik sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Meskipun perempuan juga telah aktif dalam ekonomi lokal, peraturan lokal yang sekarang tidak mengakui kegiatan mereka tersebut maupun menyediakan jasa dan perlindungan yang tepat dan cukup. Permasalahan tersebut menunjukkan bahwa interpretasi dan pendefinisian dari peran perempuan berada dalam situasi kritis, dengan kemungkinan untuk diinterpretasi ulang, namun selalu dengan risiko kembali pada interpretasi konservatif yang memberikan perempuan kesempatan yang lebih sedikit untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan-kegiatan publik, terutama partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik. Kebijakan-kebijakan lokal baru yang terkait perempuan dan dibuat di bawah otonomi daerah berfokus pada menyediakan pelatihan dan mendukung perlengkapan untuk melatih perempuan di kegiatan kerumahtanggaan seperti memasak, menjahit, dan kesejahteraan keluarga. Hal ini bukan berarti bahwa pengetahuan dalam kegiatan rumah tangga kurang penting dibandingkan kegiatan di ranah publik; ada isu-isu krusial dalam ranah rumah tangga dan sebagai ibu seperti peran reproduksi perempuan, termasuk peraturan untuk mendukung perempuan mengambil peran dalam kegiatan publik untuk meyakinkan bahwa peraturan daerah mengakomodasi berbagai dimensi peran perempuan dalam hidup serta menyediakan jasa-jasa dan perlindungan yang dibutuhkan. Ringkasan hasil penelitian WRI terkait representasi perempuan dalam Perda dirangkum sebagai berikut:
a. Jilbab dan Ranah Publik untuk Perempuan
Kewajiban untuk mengenakan jilbab untuk perempuan atau pemisahan ranah publik diimplementasikan sebagai karakteristik khas dalam pengimplementasian visi Islami atau hukum syariah, seperti lecenderungan di daerah Tasikmalaya dan Aceh. Penampilan perempuan di publik diatur dengan standar baru yang diklaim dijustifikasi oleh Hukum Syariah. Undang-undang baru dibuat, terutama mengenai bagaimana perempuan harus berpakaian dan bagaimana kepantasan pakaian perempuan didefinisikan ulang, sehingga menjadi dasar dari serangan-serangan fisik terhadap perempuan yang dianggap tidak menaati norma baru tersebut. Fesyen dan penampilan perempuan di muka publik digunakan sebagai indikator superfisial untuk identitas Islam di kawasan.
Perempuan juga tidak diperkenankan berada di tempat publik setelah jam malam sebagaimana diatur dalam Raperda Solok berdasarkan asumsi bahwa perempuan yang berada di luar rumah pada malam hari adalah perempuan yang tidak bermoral. Rencana tersebut memicu protes dari aktivis-aktivis perempuan di Solok.
Daerah-daerah yang mengimplementasikan nilai Islami seperti Tasikmalaya dan NAD juga mempromosikan pemisahan tempat umum berdasarkan gender. Untuk tempat-tempat seperti kolam renang umum di mana keberadaan perempuan dianggap tidak pantas, perempuan dan laki-laki harus dipisah. Peraturan ini menunjukkan kecenderungan kepada pemisahan lebih lanjut berdasarkan gender dalam kehidupan publik, yang berarti semakin menjauh dari tujuan untuk mengintegrasikan isu-isu perempuan dalam politik daerah dan kebijakan publik.
b. Alokasi Anggaran
Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah, pemerintah lokal mendapatkan kewenangan fiskal. Daerah-daerah dengan sumber dana yang minimum berusaha mengumpulkan berbagai pajak untuk memenuhi persyaratan target pendapatan daerah. Pajak dikenakan pada barang atau jasa yang kebanyakan menarget konsumen perempuan atau menggunakan pekerja perempuan seperti pedagang pasar (Tasikmanalaya) atau salon kecantikan, hotel, dan restoran (Sukabumi). Di Kupang, pemerintah kota memutuskan untuk mendirikan kompleks lokalisasi legal untuk para pekerja seks untuk meningkatkan pendapatan kota.
Upaya untuk mengatur sektor fiskal dalam jangka panjang akan berkontribusi pada kesejahteraan daerah, meskipun perencanaan yang bijaksana dalam alokasi anggaran juga penting untuk memastikan bahwa masyarakat akan mendapatkan kembali apa yang telah mereka kontribusikan melalui jasa-jasa pemerintah lokal. Penelitian tahap pertama telah menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk program yang diperuntukkan perempuan secara umum sangat rendah, berkisar mulai kurang dari 1 persen hingga hampir 3 persen untuk anggaran pembangunan daerah. Alokasi tersebut juga digabungkan dengan program-program untuk anak-anak dan remaja, serta untuk kesehatan dan kesejahteraan sosial; menguatkan representasi stereotipikal perempuan sebagai pengurus rumah tangga di dalam keluarga dan masyarakat. Alokasi anggaran lain untuk kegiatan-kegiatan perempuan diperuntukkan program-program pelatihan mengenai kesejahteraan keluarga, memasak, atau kelas menjahit. Meskipun beberapa daerah telah mengidentifikasi masalah diskriminasi terhadap perempuan di ranah publik, tidak ada alokasi dana yang spesifik bagi program-program untuk menghapus diskriminasi kepada perempuan seperti beasiswa khusus bagi perempuan untuk bersekolah di sekolah negeri atau pelatihan mengenai kepemimpinan atau kewirausahaan untuk mengakomodasi dimensi-dimensi lain dari peran perempuan di ranah publik selain peran domestik mereka.
c. Hak Reproduksi
Kebutuhan mendesak perempuan untuk mendapatkan kesehatan reproduksi yang lebih baik juga kurang mendapat perhatian terlepas dari fakta bahwa hampir setiap daerah memiliki tingkat kematian ibu yang tinggi. Perempuan dianggap sebagai konsumen produk kontrasepsi yang dipasarkan melalui program keluarga berencana tanpa pertimbangan yang cukup mengenai kualitas kesehatan reproduksi perempuan.
Program-program rehabilitasi pemerintah daerah NAD untuk para penyintas konflik bersenjata, mayoritas terdiri dari perempuan dan anak-anak, juga telah gagal menjawab permasalahan spesifik kekerasan berbasis gender. Kasus-kasus penyiksaan dan pemerkosaan kepada perempuan tidak dianggap membutuhkan jenis perawatan khusus untuk menyikapi kesehatan reproduksi mereka.
d. Pekerja Perempuan
Kota Mataram, contohnya, menerapkan pajak jasa pada lembaga pekerja migran dan pajak untuk izin keamanan tempat kerja. Mataram adalah salah satu sumber pekerja migran Indonesia, dan daerah tersebut telah mendapatkan pendapatan signifikan dari tenaga kerja Indonesia. Namun, hampir tidak ada alokasi anggaran atau undang-undang untuk melindungi hak tenaga kerja dari Mataram.
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas, peran perempuan di ranah publik selain peran sebagai ibu dan pengurus rumah tangga di keluarga dan masyarakat tidak diakui. Ketidakterlibatan perempuan dalam pembuatan keputusan dalam mengeksplor sumber daya alam di Kutai Barat telah mengakibatkan hilangnya sumber pendapatan perempuan dan memaksa perempuan bekerja sebagai penambang. Di Kutai Barat seorang perempuan bahkan tewas karena berusaha menyelamatkan ladang yang dikelolanya sendiri dari api.
Perempuan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan ditempatkan dalam posisi eksekutor dan bukan pengambil keputusan karena peran stereotipikal mereka dalam ranah domestik. Perempuan hampir selalu menduduki posisi seperti sekretaris (berurusan dengan pengarsipan dan korespondensi), kasir atau urusan logistik (umumnya makanan dan minuman).
Realita bahwa perempuan pun menjadi pencari nafkah tidak diakui dan akibatnya hak-hak perempuan untuk mendapatkan tunjangan dan keuntungan sebagaimana pria tidak dipenuhi. Di Gianyar, suami dari pekerja perempuan tidak berhak menerima tunjangan atau pesangon apabila pekerja tersebut sakit atau meninggal dunia.
Setelah penelitian tahap pertama terselesaikan, WRI mengidentifikasi bahwa keterlibatan perempuan yang minim dalam proses pengambilan keputusan berkontribusi kepada fakta bahwa kebijakan dan peraturan daerah selama ini tidak responsif terhadap isu-isu gender. Tindakan afirmasi diperlukan untuk memberikan ruang pada wacana perempuan dalam pembuatan kebijakan, meskipun WRI mengakui bahwa tindakan afirmasi bukan hanya mengenai jumlah perempuan yang terlibat tetapi juga bagaimana mencerminkan pluralitas peran perempuan di setiap daerah. Pengembangan kapasitas untuk para pengambil keputusan di tingkat lokal (baik laki-laki maupun perempuan) juga dibutuhkan untuk membuat isu-isu gender terlihat oleh para pembuat kebijakan serta menegaskan pentingnya keterlibatan perempuan dalam peraturan dan kebijakan tingkat lokal.***