2014 / Liputan Media / Media

Published: 10/11/2014

Sumber: beritakotaonline.com

Jakarta, Beritakota Online-Women Research Institute (WRI) merupakan lembaga penelitian yang fokus pada persoalan perempuan berkepentingan untuk terlibat mengajukan permohonan perubahan aturan mengenai batas minimal usia perkawinan bagi anak perempuan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan Pasal 7 ayat (1) mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”. Frasa tersebut merupakan pembenaran terjadinya perkawinan anak. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28B ayat (2) yang berbunyi “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi”.

Frasa tersebut menghambat kerja-kerja advokasi WRI terkait isu perempuan dan kesehatan, termasuk hak-hak kesehatan reproduksi perempuan. Hal ini didasari oleh fakta sosial betapa beresikonya praktik pernikahan dini usia di bawah 18 (delapan belas) tahun di banyak daerah di Indonesia. Dalam penelitian di Kabupaten Gunungkidul, WRI masih menemukan praktik pernikahan dini, bahkan semakin meningkat jumlahnya. Berdasarkan data yang tercatat di Pengadilan Agama Kabupaten Gunungkidul menunjukkan peningkatan jumlah permohonan Dispensasi Menikah dari tahun 2009 sampai 2011, yakni 90 permohonan meningkat menjadi 145. Bahkan mencapai angka 173 pada tahun 2012. Permohonan tersebut berasal dari calon pengantin berusia 14 hingga 19 tahun.

Organ reproduksi anak perempuan belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan, sehingga dapat terjadi komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan pada organ reproduksi yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Remaja perempuan rentan mengalami kematian pada saat proses kehamilan maupun ketika bersalin. Data Dinas Kesehatan tahun 2009-2011 menunjukkan terjadi peningkatan Angka Kematian Ibu (AKI) di Gunungkidul, dari 7 kasus pada 2009 menjadi 14 kasus pada 2011. Penyebab kematian ibu terbesar di Gunungkidul adalah akibat perdarahan. Bahkan di tahun 2011 ditemukan telah terjadi kematian ibu usia 16 tahun akibat perdarahan setelah aborsi tidak aman.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Gunungkidul menunjukkan Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD) mencapai 366 kasus pada tahun 2010 dan sekitar 31.96 persen diantaranya dialami oleh remaja usia antara 11 – 19 tahun (Klinik Adhiwarga, Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa di usia remaja mereka telah aktif secara seksual. Sementara belum ada fasilitas kesehatan reproduksi yang pelayanannya ramah pada remaja. Tidak sedikit petugas kesehatan yang men-stigma dan memojokkan posisi serta kondisi remaja perempuan yang mengalami KTD, sekalipun mereka mengetahui bahwa ini telah menjadi faktor penyumbang tingginya AKI di Indonesia.

Selain dampak pada kesehatan, pernikahan dini juga berdampak pada hilangnya kesempatan mengenyam pendidikan formal karena dipaksa mengemban tanggungjawab baru sebagai istri dan calon ibu. Harapan yang besar dari suami, keluarga dan masyarakat akan tugas-tugas remaja perempuan setelah menikah dini dan hamil berdampak pada ketidaksiapan secara psikologis remaja perempuan.

Secara psikologis, ibu yang mengandung di usia dini mengalami trauma berkepanjangan dan juga mengalami krisis percaya diri. Remaja perempuan dibawah 18 tahun juga belum siap untuk berperan sebagai istri dan sebagai ibu, dengan demikian pernikahan dini menyebabkan imbas negatif terhadap kesejahtraan psikologis serta perkembangan kepribadian mereka. Sebagai konsekuensi lanjutan dari ketidaksiapan para calon ibu muda tersebut, anak-anak yang dilahirkan berpotensi mengalami kekerasan dan keterlantaran. Siklus tersebut berpotensi besar mengarah kepada terulangnya siklus kemiskinan yang berdampak lebih parah pada perempuan.

Ketidaksetaraan gender merupakan konsekuensi dalam pernikahan dini. Dominasi pasangan laki-laki seringkali menyebabkan remaja perempuan rentan mengalami KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Remaja yang masih belia usianya cenderung untuk tidak melakukan perlawanan pada saat terjadi KDRT, sebagai akibatnya mereka pun tidak mendapatkan pemenuhan rasa aman baik di bidang sosial maupun finansial.

Berdasarkan data dan fakta lapangan tersebut, jelaslah terdapat alasan-alasan yang kuat adanya pelanggaran hak-hak konstitutional anak khususnya anak perempuan Indonesia. Hal ini menjadi perhatian WRI dalam melakukan advokasi isu kesehatan reproduksi perempuan dan remaja. Oleh karena itu, WRI sebagai PIHAK TERKAIT dalam perkara 30/PUU-XII/2014 dimana Yayasan Kesehatan Perempuan sebagai PEMOHON, mendorong Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk mengubah materi muatan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga menjadi “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun”.

Editor: Andi A Effendy